Mohon tunggu...
Ahmad J Yusri
Ahmad J Yusri Mohon Tunggu... Penerjemah - Mahasiswa Fisika UIN Malang

Mahasiswa Biofisika Succesfulness is only result from mature preparation

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Trip to Bromo, Pengalaman Pertamaku

4 Juli 2022   09:21 Diperbarui: 4 Juli 2022   09:29 2792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sampai juga di kaki gunung bromo (Dokpri)

by : Ahmad Jaelani Yusri

Ini adalah pengalaman pertamaku mengunjungi salah satu ikon jawa timur yang sangat terkenal seantero jagad yakni Taman Nasional Bromo Tengger. Setelah lama memendam keinginan, akhirnya aku berkesempatan untuk mengunjungi Bromo bersama kawan-kawan.

Awalnya aku hanya berseloroh saja pada temanku karena kebetulan hari ini sudah mulai masuk waktu liburan semester bagi mahasiswa. Temanku langsung  mengiyakan dan besoknya kami langsung menyusun rencana untuk kesana. Kami menyewa dua motor trail sehingga total ada empat orang dan semuanya belum pernah ke Bromo.

Kami mulai berangkat saat malam hari tepatnya pukul satu malam. Bertolak dari asrama kami yang berada di Malang kami melewati jalan kota kearah Pasuruan. Yap, kami pergi via pasuruan karena jalan disana lebih ramai penduduk daripada via Malang yang cenderung lebih beresiko karena melewati banyak hutan.

Di tengah dinginnya malam, motor trail melaju kencang tanpa kaca spion yang membuat kami tak sadar kala disalip mobil dari samping. Mobil-mobil seperti tak mau direndahkan oleh motor trail kami. 

Mendekati kebun binatang purwodadi, nampak rambu penunjuk arah Kanan -- Nongkojajar, Bromo. Dengan sigap kami langsung belok kanan. Awal mula jalan tersebut, pemandangan masih biasa-biasa saja. Pemukiman rumah, ruko-ruko berjajar tapi lambat laun jalan mulai menanjak. 

Aku duduk dibelakang berpegang gawai, mengandalkan google maps sebagai penunjuk jalan. Jalan makin ke atas mulai berkelok dan sepi. Sesekali hanya ada truk barang melintas lalu senyap dan hanya ada kami bak penguasa jalan.

Pukul 02.45 kami berhenti sejenak di Nongkojajar. Udara dingin mulai meruak, nafas mulai menguap bagai asap rokok. Untung saja aku sudah jaga-jaga dengan baju kaos lapis dua, ditambah baju hem kotak biru tebal lalu dilapis jaket model zipper valir. Meskipun begitu, angin dingin berusaha masuk melalui celana jeans yang mulai dingin.

Trip dilanjut terus kearah timur, kami mulai berjumpa dengan rombongan lain yang juga berhenti sejenak.  Dingin semakin dingin, hawa pegunungan sangat ketara sayangnnya karena ini malam jadi pemandangan tak terlihat sama sekali. 

Rumah-rumah mulai semakin jarang, tanjakan makin terjal. Aku mencengkeram pundak temanku yang menyetir, harap-harap tidak jatuh. Hingga sampailah kami di belokan maut yang tak pernah kami bayangkan. 

Suasana gelap, kami tak sadar jika itu tanjakan maut, Rafi temanku si driver mulai bersiap berbelok kekiri diikuti motor lain dari belakang. Saat berbelok kiri, keadaan menegang lantaran kami tak menyangka tanjakan securam itu. 

Sontak, Rafi kaget dan langsung menarik gas kuat-kuat hingga motorpun hampir jungkir balik alias jumping. Sadar dengan ketidakberesan ini, aku langsung loncat turun dari motor agar motor kembali ke posisi semula. Fyuhhhh, bikin panik.

Setelah kejadian itu, motor jadi susah dihidupkan. Usaha penuh pun dikeluarkan oleh Rafi agar motornya itu hidup. Lantaran kondisi jalan curam sekali. 

Rafi jalan duluan keatas dengan motornya untuk mengurangi beban. Begitupun kedua teman yang  lain sudah menyusul ke depan. Tinggalah aku sendiri di belakang.

Lagi-lagi aku panik karena aku mengira Rafi meninggalkanku sendiri. Mana suasana gelap, curam, dan banyak suara aneh, bulu kudukpun merinding. Aku meneriaki mereka agar jangan terlalu jauh. 

Sungguh jantungku 5 kali berdetak lebih cepat. Tak sempat aku menoleh ke kanan maupun kiri karena saking takutnya. Huh, akhirnya aku sampai juga diatas dengan kaki yang serasa mau patah dan keringatan. Dingin langsung hilang seketika karena over panic.

Trip terus berlanjut, jalan makin menggila. Sampailah kita di pos pertama, kami diberhentikan oleh seorang pemuda yang memberi saran, menanyakan tiket .

"Nanti terus ke depan, ada percabangan. Bisa belok kiri dan belok kanan. Kalau belok kiri lebih jauh dan melewati lima desa. Kalau ingin cepat bisa ngambil kanan dan lurus terus. " Ujar pemuda itu dengan sangat sopan.

Mendengar ucapan pemuda itu, kami akhirnya lewat jalan cepat. Kejanggalan akhirnya mulai nampak. Jalan berubah menjadi batu bata, lurus lagi jalan mengecil hingga menyisakan tanah. 

Aku turun lagi karena jalan menanjak keatas begitupun Ridho juga turun (salah satu temanku yang dibonceng).  Benar saja, ini adalah jalan setapak yang membelah perkebunan sayur mayur orang-orang tengger. Nampaknya tak ada yang lewat selain kami.

Masalah mulai muncul lagi. Motor yang dibawa Rafi mulai ngambek tak mau hidup, beberapa kali di engkol hidup lalu mati dan jalan lagi. Tak hanya motor, kontur jalanan yang berlubang dengan ceruk bekas motor trail lain juga menyusahkan kami. 

Lagi-lagi motor Rafi terjerembab. Aku bahkan sampai tertimpa. Satu tangan memegang senter hape, satu tangan mengangkat motor. Ahhhh susahnya hehehe.

Sambil menunggu kedua motor menyusuri jalanan ekstrim di depan. Aku jalan berdua dengan Ridho. Malam ini begitu mencekam pikirku, bisa-bisanya aku menuruti omongan pemuda tadi tapi aku lihat-lihat lagi google map rute memang seperti itu. Kami berdua dibelakang mencoba berpikir positif. Tak ingin menoleh terlalu jauh, hanya fokus kedepan sembari menyenter. Buliran sholawat terus keluar dari mulutku.

Akhirnya kami menemukan pertigaan dan jalan tak separah tadi. Aku pun mulai kembali naik motor. Dengan kehati-hatian kami terus menyusuri jalan di depan. Jika lengah sedikit saja, motor bisa tergelincir ke persawahan atau mungkin jurang. Kadang terdapat jalanan yang mengecoh yang bukannya jalan utama justru jalan ke kebun yang menjorok curam. 

Pelan tapi pasti aku terus meyakinkan kalau kita akan sampai. "10 menit lagi raf!, udah deket kok " aku coba menenangkan. Akhirnya dugaan kami benar. 

Kami keluar jalanan gila itu dan mulai masuk jalanan aspal yang dipenuhi mobil jeep yang berjejer masuk. Kami berhenti sejenak minum dan bersyukur bisa sampai di titik pos dingklik.

Pukul 04.30 waktu subuh. Jalanan sangat penuh oleh wisatawan. Tujuan kami adalah titik pananjakan yang berada paling atas. Awas dan hat-hati. Motor trail kami melewati deretan jeep juga manusia-manusia berjaket tebal. Cukup menyusahkan memang. 

Titik pertama adalah Bukit Cinta yang sudah penuh dengan pengunjung. Lalu menanjak lagi melewati titik kedua yaitu bukit kingkong atau bukit 

Kadaluh yang juga ramai oleh jeep yang silih berganti parkir. Tanjak terus kian tinggi, sampailah kita di titik tertinggi yaitu pananjakan 1 walaupun sempat dihalangi oleh pejalan kaki yang tak tau aturan.

Cuaca sangat berkabut dan gerimis. Kami segera masuk warung kopi untuk berteduh. Gorengan  hangat diserbu wisatawan yang datang. Ada yang seduh minuman ataupun mie. Berhubung sudah shubuh, aku berniat sholat. Sesuai dugaan, aku berwudhu dengan air kulkas. Dua detik sudah membuat tanganku memerah. Karenanya aku tak bisa berlama-lama, cukup mengusap anggota wajib. Saat sholat akupun tak melepas kaos kaki karena kedinginan.

Untuk menghemat, aku membawa serenceng kopi. Rencananya aku ingin seduh sendiri tapi termos yang kubawa airnya dingin. Mau tak mau aku minta diseduh ke penjaga warungnya. Sekaligus beli pop mie untuk mengganjal perut.

Pukul 06.00 cuaca masih tak bersahabat sedangkan matahari sudah setinggi galah. Kami keluar warung dan mulai ke point view. Aku berdecak kagum bromo sudah di depan mata. 

Tiba-tiba tak sesuai harapan. Kabut tebal menutupi pemandangan dan semua putih. Yahhh, jadi kami hanya bisa berfoto dengan latar putih dengan atribut ala pendaki serba tertutup. Walau tak dapat sunrise, kumpulan monyet yang sedang bergelantungan disamping point view sudah menjadi hiburan kami .

Kami memutuskan turun dari pananjakan dan singgah ke warung kopi di dekat pos dingklik. Rafi dan Bang Fawad (driver satunya lagi) yang tak kuat lagi akhirnya tumbang dan tidur. 

Sebenarnya aku juga ingin tidur sejenak tapi aku masih penasaran dengan view bromo dari atas. Dan benar, keinginanku diijabah oleh Allah. Kabut mulai hilang, panas mulai menyentuh kulitku. Aku dan Ridho langsung berinisiatif untuk naik ke tebing tanah disamping jalan.

Perlahan kabut mulai menipis (Dokpri)
Perlahan kabut mulai menipis (Dokpri)

Mataku mulai berkaca-kaca, inikah yang sering diceritakan Mak'e saat masih muda? Sebagai orang Probolinggo yang kerap membanggakan tempat tinggalnya?. Beliau beberapa kali mengunjungi tempat ini katanya. 

Segenap rasaku bertumpah, haru dan bahagia melihat dari atas. Gunung Bathok berwarna kuning keemasan diterpa matahari dan gunung Bromo dibelakangnya dan juga gunung widodaren dibelakangnya lagi dengan kabut masih ada tipis. Sungguh indah ciptaanmu Ya Rab, ucapku dalam hati. Sontak aku langsung mengajak Rafi  sudah terbangun untuk melihatnya juga.

Melihat Bang Fawad yang sudah siuman , kami sepakat untuk turun ke bawah alias ke padang pasir bromo. Dan sebelum itu kami harus melewati jalan maut lagi yakni turunan dengan kemiringan lebih dari 45 derajat. Sehingga semua kendaraan baik yang turun dan naik harus memakai gigi satu agar kuat. Turunan sangat terjal dan rasanya gunung bathok seperti menghampiri kami. Turunan gila bertepikan tebing batu dan jurang yang mengerikan.

Kengerianpun berakhir, kami sudah sampai si padang pasir. Trip dilanjutkan ke gunung bromo menyusuri pasir vulkanik yang cukup merepotkan. Ku genggam pasir vulkanik yang hitam, yang konon katanya menjadi sebab kesuburan tanah tanah di sekitarnya.

sampai juga di kaki gunung bromo (Dokpri)
sampai juga di kaki gunung bromo (Dokpri)

Sampai juga kami di Gunung Bromo dan disambut oleh Pura Poten yang legendaris. Kelihatannya pendek ya " pikirku. Tak banyak ambil waktu, aku mengajak yang lain untuk melihat kawah Bromo. Mulanya Bang Fawad nampak sangat lelah namun dia juga mau akhirnya. 

Sepanjang pendakian, banyak kuda lalu lalang membawa wisatawan yang tak kuat menanjak. Jika mau bisa membayar lima puluh ribu. Kami berhenti dua kali untuk menghimpun kekuatan (maklum karena belum menguasai medan dan kurang latihan fisik). 

Sebelum menaiki tangga ke kawah kami sempat berfoto berlatar gunung bathok yang indah. Dari atas sini, cuaca mulai panas dan bau belerang bercampur kotoran kuda menyeruak hehehe.

(Dokpri)
(Dokpri)

Sebanyak kurang lebih 220 anak tangga wajib dilalui jika ingin melihat kawah. Lagi-lagi aku ngos-ngosan. Payahnya diriku. Tapi aku penasaran tanpa pikir panjang aku terus keatas. Terlihat wisatawan luar negeri baik oarang kaukasoid maupun negro. Diatas kawah aku langsung minum sehabis-habisnya botol ditangan.

Dimulut kawah, para pengunjung mulai mengabadikan momen mereka. Tiba-tiba semua badanku gemetaran ngilu melihat kawah dan juga lereng bromo. Bahkan suara kawah bak deru pesawat cukup membuatku merinding. Apakah ini yang dinamakan neraka dunia pikirku ?. 

Rafi dan Bang Fawad malah terus berjalan ke depan sedangkan aku dan Ridho hanya berhenti di mulut kawah ngilu. Akhirnya aku turun duluan pelan-pelan. Tangga yang licin karena pasir menambah kengiluanku. Ngilu itu berakhir setelah melewati tangga. Tak paham kenapa aku bisa setakut itu.

Setelah menuruni lereng, kami lanjut menyusuri padang savana ke tempat awal kami turun untuk makan bakso disana. Aku mencoba membawa motor trail (pengalaman pertama), serasa sulit karena medannya itu berpasir. Beberapa kali motor yang kubawa tergelincir tapi seru hehehe.

Bakso disana harganya 15 ribu. Cukuplah untuk ukuran bakso malang yang banyak toppingnya. Karena rata-rata harga bakso ditempatku (Bogor) itu 15 ribu dan itu hanya ada bihun dan bakso. 

Sembari menunggu, di meja tempat kami duduk terdapat segembol bunga edelweis . "bunga abadi " ucap Rafi. Aku tak ada niat beli karena memang bingung, kalau beli taruh dimana dan buat siapa ucapku sambil tersenyum.

Waktu menunjukan siang hari. Kami lanjut ke pasir berbisik disamping Bromo. Hamparan pasir tanpa savana tanpa tumbuhan membentang. Kami sempat foto-foto ditempat itu. 

Mataku sangat dimanjakan oleh pemandangan disana. Patok-patok berjajar mengitari gunung sebagai pertanda jalan. Terlihat jeep-jeep ngebut kesana kemari tanpa takut terjerembab pasir. Tak seperti sepatuku yang mulai penuh dengan pasir.

(Dokpri)
(Dokpri)

Kami terus menyusuri jalan dan sadar kalau padang pasir bromo benar-benar luas. Sampailah kami ke area yang dipenuhi semak perdu yaitu bukit teletubbies. Karena merasa sudah capek kamipun memutuskan untuk pulang melalui jalur gubuk klakah Malang. Rasanya tenagaku terkuras habis saat mendaki bromo.

Tanjakan via Malang nampaknya tak securam  saat kami turun tapi jalannya agak sempit. Lambat tapi pasti kami sudah berada dipuncak . Komplek Bromo dan tetangganya pun sudah terlihat lagi oleh kami. In Sya Allah, aku akan kesini lagi ucapku dalam hati. 

Dari situ kami kembali turun lagi dan disambut oleh kabut tebal lagi. Rupanya memang cuaca hari ini gerimis di Malang dan sekitarnya. Jalan Glubuk Klakah ini tak seluas jalanan via pasuruan. Tapi dari segi kecuraman masih kalah dengan yang di pasuruan.

Kami mulai turun dari pegunungan tengger perlahan-lahan. Jalanan pun tak kalah seram dimana kanan kiri berupa jurang ataupun perkebunan dengan kemiringan lebih dari 45 derajat. 

Kok bisa orang sini menanam di bidang tanah semiring itu pikirku. Pemandangan silih berganti. Hutan ke perkebunan lalu hutan lagi kemudian perkebunan sayur lagi.

                Dari gubuk klakah turun ke poncokusumo, turun lagi ke tumpang dan berakhir ke tempat kami di Sukun Malang.

                Sekian cerita pengalamanku, sengaja kubuat untuk kenangan di kemudian hari   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun