"Ini Le, duite buat ongkos, hati-hati naik angkot ya," Ucap seorang ibu pada anaknya.
"Iya Mak'e, aku berangkat sekolah dulu ya." Jawab anak kecil berseragam merah putih.
Sudah seminggu SDN Bahagia berpindah lokasi dari tempat semula. Sekolah itu berpindah sejauh 3 KM ke lahan baru, lantaran bangunan sekolah lama sudah berpindah-tangan ke SDN Indah yang berada disebelah bangunan tersebut.Â
Usut punya usut bangunan SDN Bahagia kalah saing dengan SDN Indah sehingga pihak sekolah memutuskan untuk pindah ke tempat lain agar bisa berkembang lebih jauh.
Perpindahan sekolah tersebut tentunya berdampak bagi murid-muridnya ,yang tadinya hanya perlu berjalan kaki kini harus bersusah payah demi berangkat sekolah. Ada yang diantarkan oleh ayahnya, ada yang naik sepeda dan kelompok terakhir yaitu mereka yang naik angkot.
Tak terkecuali Ocin, si kecil yang masih duduk di kelas 3 SD. Sudah seminggu dia terus diantarkan oleh abangnya Acin Efendi, tapi sekarang dia harus berani berangkat sekolah sendiri. Dengan menggendong tas lusuh berisi buku-buku sekolah ia menyusuri gang-gang di kampungnya agar sampai di tepi jalan.
Ocin tampak tegang, bagaimanapun ini adalah pengalaman pertamanya naik angkot seorang diri. Dalam pikirannya angkot itu hanyalah mobil berwarna biru yang siap mengantarkan penumpangnya kemana saja. Bila ada yang naik, pak supir siap mengantarkan sampai ke tujuan begitu pikirnya. Tibalah dia di pinggir jalan, lamat-lamat ia perhatikan mobil yang melaju satu persatu.
Lima menit berlalu, Ocin bosan menunggu sampai suatu seketika ada mobil berwarna biru bertuliskan Ujung Harapan- Polres Kota dan mobil itu muncul dari arah sekolahnya.Â
"Mungkin, angkot ini bakal pergi ke arah sekolah deh," Gumam Ocin dalam hati. Tanpa banyak tanya Ocin kecil langsung naik angkot, dia duduk dipojokan dekat dengan kaca belakang mobil.
Angkot melaju berlawanan arah dengan sekolah, Ocin berpikir angkot ini akan menuju sekolahnya lewat jalan lain. Angkot akan berbalik di suatu tempat dan akan mengantarnya di depan gerbang sekolah.
Ocin sangat asyik sekali duduk di belakang, mudah baginya untuk melihat berbagai pemandangan di jalanan. Ocin juga sesekali memerhatikan penumpang yang keluar masuk angkot dan terkadang melihat jam kecil yang tertempel di pintu mobil, di situ tertera pukul 12.05 dan ia masih tampak tenang karena tau bahwa jam pelajaran dimulai pukul 13.00
"Mau ke mana dek?" Tiba-tiba wanita paruh baya disampingnya menegur .
"Mamamau ke sekolah," ucap Ocin gagap campur malu-malu.
"Owh, sekolah siang ya?" tanyanya lagi.
" Iya bu," jawab Ocin datar.
Angkot terus melaju dan kini jalanan memasuki area pasar, banyak penumpang yang silih berganti masuk dan keluar. Rata-rata penumpang ialah kaum ibu-ibu selebihnya anak sekolah dan beberapa pemuda.
Ocin terus memerhatikan jam digital di pintu angkot, dan sadar kalau dia sudah duduk di angkot selama setengah jam. Tapi tak ada tanda-tanda angkot mendekati sekolahnya, justru ia melihat jalanan yang asing baginya dan belum pernah ia lewati bersama ibunya maupun abangnya.
Dia mulai cemas dan tambah tegang, dalam benaknya hanya ada Bu Lilik, wali kelas yang terkenal galak dan tak pernah senyum.Â
Dia takut terlambat dan takut di hukum. Seperti dua minggu yang lalu Ocin lupa mengerjakan tugas matematika sehingga Bu lilik menyuruhnya berdiri kaki satu dan memegang telinga sambil menghadap lapangan, dan itu Ocin lakukan sampai jam pelajaran habis. Teman-teman pun tertawa melihat Ocin dihukum. Sungguh pengalaman yang menyedihkan baginya.
Di tengah kecemasan, dia tetap berbaik sangka kalau sekolah sudah dekat, diperhatikannya jalan apakah ini jalan yang pernah dia lalui ke sekolah apa bukan. Tapi hasilnya nihil, semua tempat dan bangunan yang dia lihat adalah pemandangan baru.
Jalanan sudah berganti beton dan pemandangan sawah dan rumah berganti menjadi jalan raya yang sibuk akan warganya. Gedung-gedung besar mulai terlihat menandakan angkot telah masuk wilayah perkotaan.
Ocin merasa dibicarakan oleh dua penumpang yang duduk dekat pintu. Seorang ibu muda bermata sayu yang berkebaya hijau dengan laki-laki berkacamata yang berkemeja kotak-kota. "Teh, itu anak kecil gak turun-turun dari tadi, kenapa ya? apa jangan-jangan anak hilang?! " tanya lelaki itu pada ibu muda.
"Kasihan ya, tapi bisa jadi rumahnya emang jauh bang," jawab ibu muda itu sesekali melihat Ocin. Â Â Â Â Â
Jam digital menunjukan pukul 13.00 rupanya Ocin sudah keringat dingin, sekarang dia membayangkan Bu lilik memegang penggaris besar panjang dan siap menghantamnya kapan saja lalu menyuruhnya untuk berdiri di depan kelas. Teman-temannya dengan muka menyebalkan juga akan bergembira dia dan tertawa.
Kali ini kecemasannya berubah, ia mulai cemas saat sopir angkot menatapnya dari cermin yang tergantung di atas dashboard. Tatapan pak sopir sangat tajam bahkan lebih tajam dari tatapan bapaknya saat dimarahi. Dengan begitu Ocin mulai enggan menatap kearah depan mobil dan membuang mukanya terus ke belakang.
Ocin terus menatap kaca mobil sepanjang jalan, ia melihat kantor kapolres Bekasi yang dia pikir tempat anak-anak hilang, setelah itu ia melewati gedung walikota Bekasi. Tampak indah dan megah bagi seorang anak kecil.Â
Lalu ada juga Mall yang sangat besar, dan ocin berpikir banyak permainan di dalamnya. Tapi sekali lagi kekagumannya kalah dengan rasa cemas yang timbul dari tadi.
Mobil angkot akhirnya sampai terminal, semua penumpang turun kecuali Ocin yang masih duduk dipojok mobil. Dia bergumam, "Apa aku turun di sini? tapi ini bukan sekolahku," dia tidak berani berbicara ke siapa pun bahkan melihat sopir, Ocin pun tak berani.
"Itu anak siapa di dalam mobil bang Njun?" Tanya sopir seorang lelaki dengan handuk di pundaknya. Si Ocin tampak ketakutan, dia ingin menangis tapi juga merasa malu.
"Gak tau tuh, dari tadi gak mau turun." Jawab sopir angkot itu dari balik kemudi. Lalu sang sopir menatapnya langsung tanpa pantulan cermin . Ocin memberanikan diri menatap balik dengan wajam kusam dan mata berkaca-kaca.
"Tong, mau ke mana lu? kok kagak turun-turun dari tadi sih?" Tanya sopir.
"Sekolah bang," jawab ocin dengan ketakutan.
"Apa?" tukas sopir dengan nada tinggi.
"Sekolah di sektor lima," jawabnya lagi setengah mati bercucuran keringat.
"Astagfirullah, itu mah di ujung tong, kenapa gak naik mobil ka arah sana aja biar cepat," Sergah sopir agak sebal namun juga iba. Ocin tak berani berkata apa-apa lagi selain menahan malu juga takut yang bercampur satu.
Merasa iba dan kasihan, sang sopir tak jadi menagih uang pada Ocin. Kini sopir angkot telah berganti kedudukan, Bang Njun yang bertubuh gempal digantikan oleh Pak Kibong yang agak kalem. Angkot pun berputar ke arah sebaliknya, Ocin menyadari kalau angkot akan mengantarkannya ke sekolah.
Dalam perjalanan putar balik ke arah sekolahnya, Ocin mulai berpikir "Nanti gimana ya, kalo ketemu bu lilik di kelas? Apakah Ocin harus jujur atau tidak? Kalau jujur nanti dihukum dan ditertawakan seisi kelas, sedangkan kalau bohong Ocin harus jawab apa ya?"
Ocin kecil yang malang jadi berpikir keras, dia termenung bagai mengerjakan soal matematika. Mencari celah agar terhindar dari hukuman dan juga ledekan. Dia memutuskan untuk berbohong dengan dua opsi; yang pertama terlambat karena menemani ibunya belanja di pasar induk, yang kedua terlambat karena membantu kerjaan orangtua .
Ocin akhirnya mengambil opsi yang kedua, setidaknya ia berharap agar bu lilik menghargai kedatangannya. Lalu dia berpikir lagi mencari alasan kedua jika bu guru bertanya tentang pekerjaannya.
"Hmmm, iya aku bakal ngomong kalo aku dagang peyek dulu sebelum sekolah," gumamnya sambil melihat deretan kerupuk peyek di toko cemilan dengan spanduk bertuliskan fajrul sembako.
Lambat laun angkot menyusuri jalan yang sama tapi berbalik arah, juga penumpang yang silih berganti naik turun di persimpangan nan tak terarah. Ocin sadar kalau jam mendekati pukul 14.00. Lama juga dia menunggu sambil berimajinasi menatap kaca, membayangkan dirinya terbang ke ufuk angkasa dan tak usah naik angkot lagi.
"Kiri bang," sergah Ocin. Dia menyerahkan uang dua ribu pada pak sopir. Angkot berhenti di gang menuju sekolahnya. Habislah perjalanan angkot yang memusingkan Ocin itu.
Ocin bersiap-siap beberapa langkah ke gerbang sekolah. Jantungnya berdegup kencang, nafasnya naik turun dan tangannya terkepal. Dia berusaha membela diri dengan segenap alasan yang sudah dipersiapkan.
Tiba-tiba Ocin terbelalak setibanya di depan gerbang sekolah. Tak ada satu pun orang di sekolah bahkan pak satpam juga tidak ada. Kelas-kelas nampak tertutup dan tak ada sorak sorai anak-anak belajar. Hening dan tak ada tanda-tanda kehidupan. Ocin bingung apa yang harus dia lakukan.
Setelah diam agak lama, dia mencoba menarik buku tulis dari dalam tasnya, dia perhatikan sampul buku itu yang ternyata kalender, "Duh mak, inikan tanggal merah," gumamnya lagi setelah tau kalau hari itu adalah hari kartini dan semua murid masuk pagi untuk upacara. Tidak ada belajar selain upacara hari itu.
"Huhuhuhuhuhuhuh.." (Ocin menangis)
"Malu bertanya sesat di jalan"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI