"Kasihan ya, tapi bisa jadi rumahnya emang jauh bang," jawab ibu muda itu sesekali melihat Ocin. Â Â Â Â Â
Jam digital menunjukan pukul 13.00 rupanya Ocin sudah keringat dingin, sekarang dia membayangkan Bu lilik memegang penggaris besar panjang dan siap menghantamnya kapan saja lalu menyuruhnya untuk berdiri di depan kelas. Teman-temannya dengan muka menyebalkan juga akan bergembira dia dan tertawa.
Kali ini kecemasannya berubah, ia mulai cemas saat sopir angkot menatapnya dari cermin yang tergantung di atas dashboard. Tatapan pak sopir sangat tajam bahkan lebih tajam dari tatapan bapaknya saat dimarahi. Dengan begitu Ocin mulai enggan menatap kearah depan mobil dan membuang mukanya terus ke belakang.
Ocin terus menatap kaca mobil sepanjang jalan, ia melihat kantor kapolres Bekasi yang dia pikir tempat anak-anak hilang, setelah itu ia melewati gedung walikota Bekasi. Tampak indah dan megah bagi seorang anak kecil.Â
Lalu ada juga Mall yang sangat besar, dan ocin berpikir banyak permainan di dalamnya. Tapi sekali lagi kekagumannya kalah dengan rasa cemas yang timbul dari tadi.
Mobil angkot akhirnya sampai terminal, semua penumpang turun kecuali Ocin yang masih duduk dipojok mobil. Dia bergumam, "Apa aku turun di sini? tapi ini bukan sekolahku," dia tidak berani berbicara ke siapa pun bahkan melihat sopir, Ocin pun tak berani.
"Itu anak siapa di dalam mobil bang Njun?" Tanya sopir seorang lelaki dengan handuk di pundaknya. Si Ocin tampak ketakutan, dia ingin menangis tapi juga merasa malu.
"Gak tau tuh, dari tadi gak mau turun." Jawab sopir angkot itu dari balik kemudi. Lalu sang sopir menatapnya langsung tanpa pantulan cermin . Ocin memberanikan diri menatap balik dengan wajam kusam dan mata berkaca-kaca.
"Tong, mau ke mana lu? kok kagak turun-turun dari tadi sih?" Tanya sopir.
"Sekolah bang," jawab ocin dengan ketakutan.
"Apa?" tukas sopir dengan nada tinggi.