"Mau ke mana dek?" Tiba-tiba wanita paruh baya disampingnya menegur .
"Mamamau ke sekolah," ucap Ocin gagap campur malu-malu.
"Owh, sekolah siang ya?" tanyanya lagi.
" Iya bu," jawab Ocin datar.
Angkot terus melaju dan kini jalanan memasuki area pasar, banyak penumpang yang silih berganti masuk dan keluar. Rata-rata penumpang ialah kaum ibu-ibu selebihnya anak sekolah dan beberapa pemuda.
Ocin terus memerhatikan jam digital di pintu angkot, dan sadar kalau dia sudah duduk di angkot selama setengah jam. Tapi tak ada tanda-tanda angkot mendekati sekolahnya, justru ia melihat jalanan yang asing baginya dan belum pernah ia lewati bersama ibunya maupun abangnya.
Dia mulai cemas dan tambah tegang, dalam benaknya hanya ada Bu Lilik, wali kelas yang terkenal galak dan tak pernah senyum.Â
Dia takut terlambat dan takut di hukum. Seperti dua minggu yang lalu Ocin lupa mengerjakan tugas matematika sehingga Bu lilik menyuruhnya berdiri kaki satu dan memegang telinga sambil menghadap lapangan, dan itu Ocin lakukan sampai jam pelajaran habis. Teman-teman pun tertawa melihat Ocin dihukum. Sungguh pengalaman yang menyedihkan baginya.
Di tengah kecemasan, dia tetap berbaik sangka kalau sekolah sudah dekat, diperhatikannya jalan apakah ini jalan yang pernah dia lalui ke sekolah apa bukan. Tapi hasilnya nihil, semua tempat dan bangunan yang dia lihat adalah pemandangan baru.
Jalanan sudah berganti beton dan pemandangan sawah dan rumah berganti menjadi jalan raya yang sibuk akan warganya. Gedung-gedung besar mulai terlihat menandakan angkot telah masuk wilayah perkotaan.
Ocin merasa dibicarakan oleh dua penumpang yang duduk dekat pintu. Seorang ibu muda bermata sayu yang berkebaya hijau dengan laki-laki berkacamata yang berkemeja kotak-kota. "Teh, itu anak kecil gak turun-turun dari tadi, kenapa ya? apa jangan-jangan anak hilang?! " tanya lelaki itu pada ibu muda.