Mohon tunggu...
Iman Kurniawan
Iman Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger & Jurnalis Warga

Pernah menjadi jurnalis di Surat Kabar Harian Radar Pat Petulai (FIN Group) di Kabupaten Rejang Lebong dari tahun 2010 sampai media tersebut resmi tutup pada tahun 2018. Saat ini mengais rezeki sebagai freelance writer dan blogger.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Batuk Akik, Bukan Fenomena Louhan

2 Maret 2015   15:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:17 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1425260601812376632

Banyak kalangan yang memandang sinis terhadap tingginya animo masyarakat Indonesia terhadap batu akik, sejak beberapa tahun terakhir ini. Mereka menganggap “demam” batu akik ini tidak akan bertahan lama, seperti pada saat “demam” ikan louhan dan bunga athrium gelombang cinta. Melalui tulisan ini, saya akan membantah pernyataan tersebut.

Padahal, harus diakui, akibat fenomena batu akik ini, banyak pengangguran yang terselamatkan karena terbukanya lapangan pekerjaan baru yang sangat menjanjikan. Perhatikan saja, hampir setiap sudut perkotaan dan pedesaan, terdengar suara mesin asah batu berdesing-desing. Apabila para pengrajin itu menerima upahan asah batu akik Rp 20.000 saja dan mampu mengasah 20 batu akik per harinya, maka dalam sehari pengrajin bisa mengumpulkan uang Rp 400.000. Jika konsisten 20 batu akik dalam sehari, artinya dalam sebulan dia sudah bisa meraup rupiah hingga Rp 12.000.000. Waw, fantastis bukan? Sedangkan, para pengrajin batu akik ini semula adalah seorang pengangguran, tukang ojek dan orang-orang yang berekonomi menengah ke bawah. Sekarang mereka sudah menjadi jutawan.

Munculnya penggemar bunga gelombang cinta dan louhan berbeda dengan mereka penggemar batu akik. Pengoleksi batu akik, sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Beberapa orang tua memiliki koleksi batu akik, yang biasanya diberikan turun-temurun. Hanya saja, sebelum “demam” batu akik  melanda negeri ini, mereka yang menggunakan batu akik identik dengan seorang dukun, apalagi kalau batu akinya besar-besar. Karena memang, batu akik yang dipakai dianggap memiliki khasiat dan godham-godham tertentu, bukan tergolong batu mulia.

Bagaimana dengan batu akik yang tergolong batuan mulia saat itu? Ada, tapi harganya sangat mahal, hingga puluhan juta rupiah. Karena, batuan mulia di Indonesia pada saat itu didominasi oleh batu-batuan dari luar negeri. Seperti, giok china, zamrud afrika, blue safir dan sebagainya. Sehingga, mereka yang mengoleksi batuan mulia ini hanya orang-orang tertentu yang memiliki rezeki berlebih. Sebab itulah, banyak orang yang tidak tertarik dengan batu akik.

Nah,  ternyata di Indonesia, Negara kita ini, dari Sabang hingga Merauke menyimpan beragam dan bermacam-macam jenis batuan mulia. Batuan dengan kualitasnya yang tidak kalah dengan batuan asal luar negeri itu. Di Aceh ada batu Solar, bahkan baru-baru ini ditemukan batu giok yang harganya mencapai miliaran rupiah, di Sumatera Barat ada Sungai Dareh, di Bengkulu ada Red Raflesia, di Jawa Barat ada Kalimaya di Maluku ada Bacan Doko dan hampir seluruh penjuru negeri menyimpan batuan mulia yang harganya lumayan mahal. Semakin hari, semakin banyak ditemukan batuan mulia. Beruntung, batuan mulia ini tidak diketahui oleh Kolonial Belanda. Sehingga hanya emas, minyak dan hasil tambang lainnya yang dieksploitasi dari negeri kita ini.

Karena ditemukan banyak batuan mulia di bumi pertiwi inilah, maka demam batu akik mulai melanda. Masyarakat beramai-ramai mengoleksi batu akik. Apalagi, hampir di setiap daerah pada hari-hari besar tertentu menggelar event kontes batu akik. Mereka, para penggemar batu akik ini akan menguji ke-eksotisan batu miliknya melalui kontes. Di Bengkulu, tempat tinggal saya saat, demam batu akik sendiri bermula ketika munculnya fenomena batu akik Red Raflesia yang sekarang sudah tersohor. Karena sudah beberapa kali menjuarai kontesi batuan mulia. Selain red raflesia, di sini juga ada batu orange raflesia, white raflesia, yellow raflesia, kecubung ulung dan sebagainya.

Saran saya kepada pemerintah, agar para pengrajin batuan akik tersebut harus dibina dengan serius, supaya bisa menghasilkan batu akik yang setara dengan para pengrajin professional. Di samping itu, harus ada pembinaan manajemen bisnis yang baik. Sehingga, para pengrajin tersebut, bisa mengelola keuangannya untuk mengembangkan bisnis yang lain, yang juga tidak kalah menjanjikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun