Baru-baru ini di detiknews.com kita membaca seorang anak yang terpaksa menjadi buruh bangunan agar bisa membeli smartphone. Kemudian yang lebih menyayat hati, ada berita seorang bapak terpaksa mencuri smartphone agar anaknya bisa belajar daring -- Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Apa yang kita baca tersebut hanya yang tampak di permukaan saja, dan kebetulan terekspos oleh media. Mungkin masih banyak persoalan lain, mulai dari keluhan orang tua karena harus menjadi guru dadakan. Harus menyiapkan dana tambahan untuk membeli kuota internet dan itu saya yakin tak akan cukup dengan anggaran Rp 50 ribu sebulan. Apalagi kalau anaknya sampai 3 orang sekolah semua.
Berbagaimacam persoalan mulai muncul akibat belum ada solusi konkret dari Kemdikbud. Sehingga, pihak sekolah dan guru sering kali menjadi sasaran kemarahan orang tua/wali murid. Baik itu datang secara langsung atau pun dengan kata-kata sindiran sampai dengan makian di salah satu media sosial. Jelas saja, kemarahan wali murid tersebut salah sasaran, karena belajar daring bukan kehendak guru. Mereka hanya menjalankan instruksi pusat, sebab kondisi lingkungan kita sedang tidak baik-baik saja.
Sebenarnya guru tidak menginginkan proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), lebih repot. Sampai-sampai waktu tidurpun jadi berkurang. Bayangkan, Â istri saya yang seorang guru sekolah dasar swasta, sekarang tidurnya selalu di atas jam 12 malam, terkadang sampai pukul 03.00 WIB dini hari. Bagaimana tidak, setiap hari dia harus menyiapkan materi pembelajaran, mulai dari power point, video pembelajaran, dan lainnya. Setiap hari juga harus memeriksa tugas yang telah dikerjakan oleh siswanya.Â
Ada pula cerita dari kawan yang berprofesi sebagai guru, terkadang hasil pekerjaan yang dikirim oleh murid-muridnya tidak mengenal waktu, bisa siang, sore bahkan malam hari. Tapi, tetap saja harus dimaklumi, karena tidak semua muridnya punya smartphone. Mungkin harus menunggu orang tuanya pulang kerja atau bisa juga bergantian dengan saudaranya yang juga punya tugas sekolah. Di zaman sekarang semua harus serba maklum. Sedangkan, kami juga punya anak yang sama-sama punya tugas dari guru, tidak berbeda dengan anak-anak lainnya.
Melihat seperti itu perjuangan seorang guru, namun masih ada saja yang orang melontarkan kata kasar, kalau guru hanya makan gaji buta! Guru keenakan libur dan sebagainya. Sungguh tega sekali. Bahkan, perkataan  yang sangat melukai hati tersebut tak jarang keluar dari orang yang notabenenya berpendidikan, yang lebih mengerti dengan kondisi saat ini.
*****
Malam selepas magrib,  seperti  biasa saya berbincang-bincang dengan istri. Pada saat itu istri menceritakan peristiwa yang dia hadapi di sekolah  pada pagi harinya. -- Iya, meski pandemi guru setiap hari harus tetap datang ke sekolah, mengajar jarak jauh melaui Whatsapp. Pada saat tengah memberikan materi jarak jauh itu, datang seorang wali murid sembari marah-marah, tidak terima dengan metode belajar daring ini. Dan meminta agar SPP anaknya cukup dibayar setengah, serta mengancam akan menemui Ketua Komite Sekolah. Alasannya, karena tidak mampu membayar biaya SPP full, belum lagi harus membeli kuota. Sedangkan menurutnya, guru di sekolah tersebut hanya makan gaji buta, karena tidak pernah lagi mengajari anaknya. Tentu saja, perkataan lelaki tersebut membuat guru yang hadir pada saat itu menjadi ambayar. Padahal saya tahu persis bagaimana perjuangan para guru.
Sangat disayangkan memang, apalagi wali murid tersebut sampai membawa-bawa nama instansinya di salah satu kementerian. Mungkin ingin menunjukkan kalau dia orang hebat, terpandang karena bekerja di instansi pusat. Padahal, justru dialah orang yang terdepan memberikan dukungan moril kepada guru dan wali murid lainnya. Paling tidak bisa memberi contoh yang baik, bukan sebaliknya. Secara ekonomi tentu dia lebih baik, di bandingkan gaji guru swasta tempat anaknya bersekolah.
*****
Pak Nadiem, cerita di atas hanya sekelumit cerita saja. Mungkin saja, masalahnya bisa lebih banyak dari itu. Anda harus segera melakukan terobosan, jangan biarkan masalah ini berlarut-larut dan semakin pelik.