Ketika kompetitor lain terus berinovasi dengan produk-produk baru, Tupperware masih berpegang pada produk tradisionalnya yang mulai terlihat usang.Â
Inovasi dalam desain dan fungsi yang dilakukan oleh pesaingnya, seperti wadah penyimpanan yang dapat dilipat, lebih ringan, dan lebih mudah digunakan, membuat produk Tupperware kurang diminati.
Keterbatasan model pemasaran langsung yang selama ini menjadi andalan Tupperware juga berkontribusi terhadap menurunnya performa perusahaan.Â
Di era digital saat ini, konsumen lebih suka berbelanja melalui platform online dengan akses cepat ke beragam produk.Â
Sementara itu, model penjualan langsung melalui pesta rumah atau pertemuan sosial seperti yang dilakukan Tupperware kini dianggap tidak lagi relevan, terutama pasca-pandemi, ketika interaksi sosial secara langsung mulai berkurang.
Penyebab Kebangkrutan
Selain masalah penurunan permintaan, Tupperware juga dibebani oleh utang yang terus meningkat.Â
Seperti banyak perusahaan lain yang menghadapi masalah keuangan, Tupperware mengalami kesulitan mempertahankan arus kas yang sehat untuk mendukung operasionalnya.Â
Akibatnya, perusahaan kesulitan melunasi utang-utang besar yang telah menumpuk selama beberapa tahun terakhir.
Faktor lain yang turut memperburuk kondisi perusahaan adalah ekonomi global yang tidak stabil.Â
Ketidakpastian ekonomi akibat pandemi, kenaikan inflasi, serta ketidakpastian politik dan perdagangan internasional telah memengaruhi daya beli konsumen di seluruh dunia.Â
Akibatnya, Tupperware kehilangan pangsa pasar yang signifikan di berbagai negara, terutama di pasar-pasar yang menjadi andalannya seperti Amerika Serikat dan Eropa.
Tupperware, dengan sejarah panjangnya sebagai pelopor produk plastik rumah tangga, kini berada di ambang kebangkrutan setelah hampir 80 tahun beroperasi.Â