Pesta Tupperware bukan hanya sekadar ajang promosi produk, tetapi juga sebuah pertemuan sosial yang menghubungkan perempuan dengan komunitas mereka sambil membahas topik rumah tangga dan keluarga.
Kesuksesan Tupperware tidak hanya terletak pada produknya yang inovatif, tetapi juga pada model bisnisnya yang memberdayakan perempuan, terutama di era pascaperang, ketika banyak perempuan mencari cara untuk memperoleh penghasilan tambahan tanpa harus meninggalkan rumah.Â
Selama beberapa dekade, Tupperware menjadi bagian penting dari budaya rumah tangga di banyak negara.Â
Bahkan, merek ini menikmati posisi yang sama dengan merek ikonik lain seperti Kleenex dan Teflon, yang namanya digunakan sebagai sinonim dari kategori produk tertentu.
Namun, kemajuan zaman membawa perubahan yang signifikan dalam preferensi konsumen dan lanskap pasar.Â
Tupperware, yang semula sangat diandalkan karena kualitas dan keunggulannya, mulai kehilangan pamornya seiring dengan munculnya berbagai produk alternatif yang lebih terjangkau dan lebih ramah lingkungan.
Tantangan yang Menghimpit Tupperware
Salah satu faktor utama yang mendorong Tupperware menuju kebangkrutan adalah penurunan permintaan dan penjualan produk.Â
Seiring dengan meningkatnya kesadaran konsumen terhadap isu lingkungan, plastik sekali pakai dan produk yang tidak ramah lingkungan mulai ditinggalkan.Â
Konsumen beralih ke produk wadah berbahan kaca, baja tahan karat, dan silikon yang dapat digunakan ulang, lebih tahan lama, dan tentunya lebih ramah lingkungan.Â
Di sisi lain, produsen lain yang menggunakan bahan plastik lebih murah mulai menguasai pasar, menawarkan harga yang jauh lebih kompetitif dibandingkan Tupperware.
Selain itu, Tupperware gagal mengikuti tren inovasi dan pengembangan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi konsumen masa kini.Â