Mohon tunggu...
janardana 05
janardana 05 Mohon Tunggu... -

Good things come to those who wait ~ I still believe it!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menulis Itu Seni

3 September 2010   11:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:28 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

suzannita.wordpress.com

“Untuk apa sih kamu nulis? Kenapa kamu menulis terus?”

“Aku nulis ya nulis aja. Sudah hobby sih”

“Hahahaha…kamu kemakan hasutan ‘kalau nulis ya nulis aja’ hahaha”

Itulah sepenggal percakapan yang pernah saya dengar. Mungkin kamu pun pernah mendengarnya. Sebagian besar teman saya setuju bahwa kalau menulis ya menulis saja. Tidak usah berpikir kenapa dan untuk apa. Kalau berpikir demikian nanti malah tidak jadi menulis, begitu kilahnya. Kelamaan berpikir akibatnya terbitlah tulisan yang dikatai orang “nggak penting”, “asal-asalan”, ”tidak sesuai dengan kaidah bahasa”, de el el.

Bagi saya, menulis itu seni. Sebuah buku yang pernah saya baca menyebutkan bahwa menulis itu seni menuangkan gagasan. Tapi saya tidak sependapat dengan buku itu. Bagi saya, menulis lebih dari sekedar seni menuangkan gagasan. Secara sederhana, menulis sebagai seni sebanding dengan berbicara sebagai seni. Jadi saya tidak sependapat lagi dengan orang yang mengatakan bahwa tulisan itu bukan bahasa lisan yang dituliskan. Artinya orang tersebut melarang orang menulis dengan gaya bahasa orang berbicara. Ini yang saya tidak sependapat.

Uraian singkatnya begini. Bagi saya, menulis merupakan alat untuk mencapai tujuan. Tujuan yang jelas didasari motivasi. Dalam upaya mencapai tujuan tersebutlah seni menulis berperan. Suatu seni tidak akan tercipta dengan “aduhai” jika terkungkung oleh kaidah dan kendala-kendala bahasa. Meski demikian, sudah takdirnya bahwa tulisan “terperangkap” dalam bahasa. Jadi tinggal bagaimana memainkannya.

Adakalanya orang membuat tulisan yang memaksa pembaca untuk berpikir. Ada juga tulisan yang sekedar menghibur, menyampaikan ide, berita atau gagasan. Namun ada juga tulisan yang mencoba membedah pikiran atau ide-ide orang lain yang tersembunyi. Memancing ide untuk mendapat ide baru. Dalam kontek demikian, tulisan tidak melulu satu arah seperti ceramah ini. Sehingga disini saya tidak sependapat lagi jika pembaca dianggap benda pasif yang hanya harus mencerna apa yang disampaikan lewat tulisan. Arogansi penulis terlihat dengan menempatkan pembaca sebagai orang bodoh.

Orang yang menulis tanpa motivasi dan tujuan akan tampak seperti orang bergumam di tengah pasar. Meskipun menggunakan tata bahasa dan memperhatikan segala bentuk kaidah bahasa, bagi saya seperti mendengar orang pidato tanpa jelas maksud dan tujuan apa yang dibicarakan. Lebih parah lagi kalau tulisan tersebut mengabaikan tata bahasa. Sama seperti orang berbicara suka-suka, membentak, menjerit kemudian menangis tertawa di tengah pasar. Bingung orang mendengarnya. Kata teman, tulisan itu harus fokus dan ada konteksnya.

Tetapi kembali lagi bahwa menulis itu memang seni. Terlalu sempit jika dikurung dalam bahasa, terlalu dangkal untuk dijelaskan dengan “konteks” motivasi dan tujuan. Saya hanya bisa berlatih menggores, memoles dan menikmati seni itu. Lihat saja, tulisan ini kacau kan? Entah bagaimana dengan kamu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun