Mohon tunggu...
janardana 05
janardana 05 Mohon Tunggu... -

Good things come to those who wait ~ I still believe it!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rieke "Oneng" Dyah Pitaloka Orang Komunis?

24 Agustus 2010   04:14 Diperbarui: 4 April 2017   16:32 8568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_237063" align="alignleft" width="186" caption="sumber gambar dari pemiluindonesia.com"][/caption]

Maksud hati hendak membantu rakyat kecil, bukan dukungan yang didapat tapi malah cacian. Itulah peristiwa yang dialami Rieke Dyah Pitaloka, anggota Komisi IX DPR yang lebih terkenal sebagai si Oneng “oon” pada serial Bajaj Bajuri.

Kejadian bermula ketika si Oneng bersama dua rekannya hendak melakukan pertemuan dalam rangka sosialisasi pelayanan kesehatan di Banyuwangi. Memang hal ini terkait dengan tugasnya dalam memperjuangkan Rancangan Undang-Undang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang sedang digodok di DPR. Namun, di tengah acara yang sedang berlangsung, sekelompok massa mengatasnamakan FPI membubarkan kegiatan karena dinilai perkumpulan itu adalah perkumpulan eks Partai Komunis Indonesia (PKI). Massa memaksa acara yang berlangsung di sebuah rumah makan di Banyuwangi itu dibubarkan. Rieke 'Oneng' Diah Pitaloka 'dikepung' menghadapi cacian massa. Ribka Tjiptaning, ketua Komisi IX yang menjadi rekan Oneng pada acara tersebut telah melaporkan kejadian tersebut ke KOMNAS HAM dan Mabes Polri dengan Nomor laporan 240/

VI/2010/Barekeskrim dengan terlapor Ormas FPI, Forum Umat Beragama, dan LSM Gerak. Ribka adalah anak seorang kader PKI di Yogyakarta, RM Soeripto Tjondrosaputro, yang dijebloskan ke penjara oleh rezim Orde Baru.

Wakil Sekjen DPP FPI menanggapi laporan tersebut dengan menyatakan bahwa FPI tidak terlibat dalam aksi pembubaran tersebut dan tidak pernah menginstruksikan anggotanya untuk melakukan pembubaran. "Kami tidak pernah menginstruksikan. Itu murni masyarakat, bukan FPI," kata dia. "Kalau pun ada yang menggunakan atribut FPI, memang FPI ada di mana-mana dan atribut itu dijual di mana-mana."

Mantan Sekjen PDIP, Pramono Anung menyesalkan peristiwa tersebut. Sementara Wasekjen PPP M Romahurmuzy menyarankan kedua belah pihak untuk menempuh jalur mediasi untuk menyelesaikan konflik. Romy menyatakan bahwa tindakan main hakim sendiri tidak dibenarkan. Namun, dia melihat penegakan hukum masih lemah. "Kumpul bekas Partai Komunis Indonesia juga dilarang undang-undang. Jangan salahkan juga yang kekerasan," katanya.

Menanggapi peristiwa di Banyuwangi tersebut, Sekjen FPI Shobri Lubis menyatakan bahwa meski FPI tidak terlibat, FPI memang anti PKI.“Liberalisme dan komunisme itu satu paket, sama-sama musuh Islam. Paham liberalisme itu menghancurkan nilai Ketuhanan, mereka anti agama, sangat menjauhi agama dan mengacak-acak prinsip agama. Kalau komunisme tidak percaya Tuhan dan menolak agama. Jadi dua paham ini sama. Nah, dua paham ini adalah dua ideologi yang anti agama. Maka itu, di Indonesia sebagai Negara berazaskan Pancasila dan sebagaimana sesuai sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, maka dua ideologi itu wajib dilarang,” katanya.

Semua rangkaian kejadian tersebut saya resume dari kumpulan berita-berita di vivanews.com yang saya koleksi pada bulan Juni. Memang kejadian sudah dua bulan lalu, namun perkembangan kasus tersebut masih menyisakan banyak pertanyaan. Setidaknya sampai sekarang belum terdengar lagi perkembangan penyelesaiannya. Apakah Rieke “Oneng” komunis atau bukan pun tidak ada penjelasan lebih lanjut. Apakah tindakan “oknum” di banyuwangi itu merupakan kekerasan pelanggaran HAM atau bukan, juga tidak ada penjelasan lebih lanjut.

Tampaknya permasalahan ideologi tidak pernah mati di bumi pertiwi ini. Terdapat banyak kontroversi dari rangkaian cerita tersebut. Sulit bagi generasi muda sekarang untuk menangkap apa yang salah dengan komunis. Jaman dahulu, komunis seringkali identik dengan revolusi dan kekerasan. Namun akhir-akhir ini justeru seringkali kekerasan tidak terafiliasi dengan ada tidaknya paham komunis. Kekerasan semakin menjadi-jadi di tengah gencarnya seruan moral dan begitu banyak siraman rohani. Masihkah Pancasila relevan untuk negeri ini?

Sumber rangkaian berita di resume dari vivanews.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun