Mohon tunggu...
Rony Firmansyah
Rony Firmansyah Mohon Tunggu... -

aroma wangi tanah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kali Banger

22 September 2012   05:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:01 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semacam Awalan

Suatu siang seusai kerja, saya cangkruk dan berbincang-bincang ringan dengan beberapa tetangga sebelah rumah. Terlihat gayeng walau tidak se-resmi debat pilkada. Kami mulai memperbincangkan tentang berbagai hal. Mulai dari isu politik terhangat, budaya, kesenian bahakan sampai ke topik sejarah Probolinggo. Sesampai pada topik sejarah Probolinggo salah satu tetangga saya nyeletuk tentang riwayat "KALI BANGER".

Dua kata itu sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi saya. Setahun lebih yang lalu saya pernah mendengar istilah tersebut. Dari teman saya. Seorang wartawan media cetak lokal. tapi istilah itu keberadaannya seakan tergerus dengan pencarian identitas baru dalam proses modernisasi ruang-ruang publik. Berbagai gedung baru dibangun dan meneggelamkan asal-muasal kota Probolinggo tersebut. Sebagai generasi muda seperti juga saya ada semacam perasaan "Loss Identity" terhadap riwayat Kali Banger. Jika tetangga atau teman wartawan saya tidak menceritakan kembali keberadaan Kali Banger mungkin saya akan lupa bab sejarah ini.

Berawal dari obrolan tersebut ada semacam motivasi membuncah secara tiba-tiba untuk mencari tahu lebih dalam tentang Kali Banger. Penelusuran itu saya mulai dari mengumpulkan sepotong-sepotong cerita dari beberapa masyarakat yang tahu keberadaan kali (Sungai) tersebut walau itu masih belum cukup. Cerita-cerita yang bagai serpihan kaca itu terlalu sulit untuk disatukan menjadikan utuh kembali. Berpendar-pendar mencari sebuah kebenaran sejarah lain yang seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
dari beberapa cerita tersebut atau lebih tepatnya bisa disebut Folklore itu dikisahkan bahwa kali banger dulu pernah mencapai masa emasnya. Kali Banger merupakan sungai besar yang ramai dikunjungi oleh perahu-perahu dagang dari sekitar wilayah Probolinggo bahkan luar pulau. Perahu-perahu mereka juga bisa masuk ke jantung kota sehingga bisa transaksi langsung ditengah kota.

Karena merasa literature saya eman hanya berhenti pada bukti folklore saja maka beberapa bulan yang lalu saya mulai mencari beberapa buku yang berkaitan dengan Kali Banger. Awalnya saya mulai mencari atau istilahnya Surfing di internet dengan kata kunci “Kali Banger”. Memang benar ada file tentang Kali Banger tapi di kota Semarang. Akhirnya ada kejelasan tentang sejarah Kali Banger ketika saya menemukan sebuah buku yang saya dapat dari DISPOBPAR kota Probolinggo. Sayang karena berupa fotokopian saya tidak bisa menyebutkan judul buku tersebut. Buku itu disusun pada waktu kota Probolinggo dipimpin oleh Mayor TNI Soenarto Setjoatmodjo sebagai walikotanya dalam memperingati hari jadi kota Probolinggo yang ke 50 (Tahun Emas)

Dalam buku itu ditulis bahwa penyebutan kata Banger itu sudah dikenal dalam tulisan-tulisan sejarah yang bertitiwarsa 1365. Bahkan banger merupakan cikal bakal nama kota Probolinggo yang kita kenal sekarang. Pada tahun 1359 Sri Hayam Wuruk (Radjasanagara) pernah melakukan perjalanan ke daerah Lumajang dan Bondowoso. Dalam perjalanan ke dua kota tujuan tersebut Sri Hayam Wuruk disinyalir singgah melepas penat di daerah aliran Kali Banger yang daerah itu juga disebut Banger.

Masa Emas Kali Banger

Kali Banger pernah menjadi alur pusat perekonomian dan mencapai puncaknya pada tahun ±1900. Banyak perahu-perahu bersandar dan berniaga menggunakan jalur Kali Banger tersebut. Kebanyakan perahu-perahu tersebut datang dari sekitar wilayah Probolinggo bahkan dari pulau Madura. Karena aliran Kali Banger dahulu masih besar maka perahu-perahu tersebut bisa masuk hingga ke pusat kota. Jalur perekonomian yang menggunakan Kali Banger berpusat di daerah bernama “Tambak Pasir”. Kira-kira wilayah itu sekarang berada di Pasar Baru kota Probolinggo.

Nama Kali Banger dijadikan nama tempat oleh masyarakat sekitar bantaran Kali (sungai) tersebut dengan sebutan daerah Banger. Pada tahun 1746 V.O.C (Persekutuan Dagang Belanda) mengangkat kiai Djojolalono sebagai bupati pertama di kawasan Banger tersebut. Daerah Banger sendiri kira-kira terletak di daerah Kebonsari Kulon sekarang. Pada waktu itu daerah Tambak Pasir sebagai pusat niaga, daerah Banger menjadi Pusat pemerintahan. Hal itu didukung oleh akses jalur air di sepanjang tren Kali Banger. Maka tidak mengejutkan banyak penduduk akhirnya menetap di daerah ini.

Namun sejak tahun 1770 nama wilayah Banger ini berubah nama dan diganti dengan probolinggo. Penggantian nama tersebut juga membuat aura dari Kali Banger semakin meredup di mata masyarakat sekitar bantaran. Kondisi itu semakin diperparah dengan tidak berfungsinya Kali Banger sebagai jalur perahu-perahu Niaga lagi. Kali Banger yang menjadi jalur air utama pada masa kejayaannya akhirnya hanya menjadi aliran Kali (sungai) yang kecil saja. Bahkan dewasa ini Kali Banger hanya dijadikan saluran pembuangan (got) yang sedikit jorok keberadaannya.

Mencoba Berbagi

Dalam beberapa kesempatan pada diskusi rutin komunitas Indie Short Movie se-Probolinggo, saya sempat melakukan pertanyaan-pertanyaan ringan seputar Kali Banger. Komunitas yang sebagian besar anak muda ini memang sering mengadakan diskusi untuk membahas tentang ide penggarapan film. Mereka memang concern untuk mengangkat lokalitas daerah Probolinggo. Sehingga ketika saya memberi pertanyaan tersebut masih relevan dan tidak menyimpang dengan keinginan dan idealisme mereka.

Beberapa pemuda yang terlihat sangat rapi, bersepatu, bahkan jauh dari terkesan kumal itu sangat serius menanggapi pertanyaan saya. Bercengkerama dibawah sinar bulan yang mulai juga terasa dingin karena gerimis sudah mulai menghempas denyut nadi kota Probolinggo. Tampak salah satu dari mereka berdiskusi dengan mimik lumayan serius kepada rekan disebelahnya. Mereka kemudian mulai sharing dan mulai angkat bicara tentang apa dan bagaimana perjalanan sejarah Kali Banger. Namun mereka seakan ragu-ragu mendiskusikan ini karena masih tidak begitu paham dan mengerti asal-usul dan sejarahnya.

Sangat berbeda sekali dengan beberapa diskusi beberapa bulan yang lalu. Mereka sangat terkesan banyak wacana dan menginspirasi terjadinya ide penggarapan film tentang kehidupan nelayan di Probolinggo. Film yang menceritakan bagaimana perjuangan seorang nelayan untuk menyekolahkan anaknya. Film tersebut pernah mendapat nominasi dalam festival film independent tingkat nasional. Bahkan karya mereka telah ditonton oleh ribuan orang di sebagian kota-kota besar Indonesia. Komunitas mereka juga ikut terkenal karena mereka secara terus-menerus concern mengangkat tema-tema lokalitas pada penggarapan film-filmnya.

Ya. Mereka mengakui bahwa mereka lebih mengenal kali Mas Surabaya atau kali Bengawan Solo. Karena kali (Sungai) tersebut sudah tidak asing lagi dalam lingkup indera mereka, Bengawan Solo juga telah diabadikan menjadi bentuk lagu oleh almarhum Gesang. Sungguh sangat ironis sekali. Mereka yang mengaku concern dengan tema lokalitas Probolinggo juga tidak begitu paham tentang Kali Banger. Mereka seakan acuh tak acuh dengan keberadaan Kali Banger. Kesimpulan sementara saya istilah Banger telah pudar di kalangan sineas muda Kota Probolinggo. Semoga tidak terjadi pada generasi muda keseluruhan di kota Probolinggo. Padahal sesuai dengan data yang saya temukan di buku fotokopian, Kali Banger memegang peranan penting dalam menentukan cikal bakal Kota Probolinggo.

Di waktu yang sama, saya juga menanyakan letak Kali Banger itu sekarang. Hasilnya, mereka semakin terdiam tanpa bisa bicara apapun. Mereka sadar bahwa kebutuhan tentang tema lokalitas tidak berhenti pada pemaknaan fisik saja. Tapi juga pemaknaan sejarah juga sangat dibutuhkan. Kali Banger, disadari atau tidak merupakan peninggalan sejarah dan lokalitas dari kota Probolinggo yang juga sangat penting untuk ditelaah. Butuh suatu jembatan yang menjembatani para generasi muda yang mulai melupakan tentang fungsi dan makna Kali Banger bagi kota mereka. Bahkan saya mempunyai mimpi bahwa sejarah Kali Banger masuk ke kurikulum pelajar melalui mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok). Hal itu bertujuan agar generasi muda masih bisa dan mampu memaknai keberadaan Kali Banger baik secara fungsi maupun makna sejarahnya.

Saya jadi teringat lagi dengan kawan-kawan saya yang bekerja sebagai wartawan media dan pekerja budaya di Probolinggo. Mereka sudah mewujudkan gagasannya dengan dibantu radio lokal untuk menyusuri kali Banger. Gagasannya sangat menarik bagi saya untuk lebih mengenali secara fisik Kali Banger.Ekspedisi untuk mengenal lebih dalam tentang fisik Kali Banger sekarang. Namun pertanyaan saya, apakah hanya berhenti di situ. Tanpa pendokumentasian yang bagus, maka sejarah akan terkubur lagi. Bahkan Tan Malaka mengakui dokumentasi amatlah penting bagi mereka yang menghargai sejarah. Harapan saya kegiatan itu didokumentasikan secara visual maupun non visual. Dengan harapan generasi muda kota Probolinggo tidak sampai Loss Identity terhadap sejarah kotanya sendiri. Kemudian hasil dokumentasi tersebut mulai sedikit diolah dengan tema kekinian. Tapi kapan ya?

Buat anakku

Ibrahim K Cinema F

“Jangan Pernah Melupakan Sejarah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun