SETIAP daerah memiliki kekayaan kuliner yang khas menjadi kebanggaan budaya masing-masing etnis yang tumbuh dan berkembang secara populer, tak terkecuali pada etnis Kaili di Sulawesi Tengah. Di antara sejumlah masakan khas, dikenal masakan Uta Kelo dan paling popular masakan Kaledo selain Uve Mpoi.
Meskipun kaledo sudah lama dikenal masakan khas Kaili, tapi tulisan mengenai kaledo itu sendiri belum banyak ditulis dari aspek budaya. Bertolak dari keprihatinan itu, pada tahun 1999 lalu saya membuat catatan tentang cerita asal mula kaledo. Ketika itu di tengah masyarakat memang sudah sering terdengar akronim kaledo = Kaki Lembu Donggala. Apakah secara kebetulan saja akronim itu atau tidak? Yang pasti sebutan kaledo telah popular dengan kekhasannya. Penulis ceritakan adanya seorang dermawan yang memotong seekor sapi miliknya untuk dibagi-bagikan ke penduduk. Secara kebetulan yang datang lebih awal adalah orang Cina dan Jawa mendapatkan daging yang dijadikan bakso dan sate. Orang Makassar menyusul kemudian, tinggal mendapatkan perut (jeroan) yang akhirnya dijadikan masakan Coto Makassar. Belakangan orang Kaili lebih terlambat, hanya mendapatkan tulang dan kaki sapi. Namun ketika orang Kaili memasak tulang-tulang yang dinamainya kaledo tak kalah lezatnya.
Anekdot  itulah yang kemudian dikutip seorang wartawan Harian KOMPAS dalam tulisannya; Menikmati Kaledo Langsung di Pusatnya (2008). Kutipan serupa dilakukan Jafar G. Bua jurnalis Trans TV di Palu dalam sebuah blog kompasiana dengan tulisan; Kaledo dan Singkong Rebus (2009). Kutipan demi kutipan kian menyebar di dunia media online dan dunia maya terutama dalam akun facebook.
Berkembangnya usaha kuliner di Sulawesi Tengah dalam satu dekade terakhiri, kaledo salah satu menu favorit. Bahkan sebuah industri mie instan terkenal pernah memproduksi mie rasa Kaledo seperti halnya mie rasa Coto Makassar. Hal itu menunjukkan kaledo diakui sebagai brand yang secara ekonomi sangat menguntungkan bagi pengusaha kuliner. Di satu sisi kaledo menjadi bagian diplomasi budaya yang telah memengaruhi tata sajian makanan pada warga biasa sampai kalangan pejabat dalam perjamuan resmi.
Menyahuti rasa ingin tahu pembaca tentang kaledo, minimal buku kecil Kaledo Warisan Budaya Kuliner Donggala ini bisa menjadi bahan literasi tentang masakan tersebut. Penulis tampilkan pula sebuah fiksi legenda tentang Asal-Mula Kaledo yang berdasarkan imajinasi penulis. Demikian pengantar ini. Saran dan masukan pembaca yang lebih baik akan bermanfaat untuk kemajuan penulisan beragam kekayaan kuliner daerah Sulawesi Tengah. Selamat membaca*
Donggala, 2025
 Â
Jamrin Abubakar
Penulis
Â