Mohon tunggu...
JAMRIN ABUBAKAR
JAMRIN ABUBAKAR Mohon Tunggu... -

Berprofesi sebagai wartawan sejak 1991 dan peminat masalah seni dan budaya. Tulisan pernah dipublikasikan Majalah PANJI MASYARAKAT, majalah INTISARI, Mingguan SULUH NASIONAL, PELOPOR KARYA (keduanya sudah tidak terbit)Harian Radar Sulteng, Harian Mercusuar, Harian MEDIA ALKHAIRAAT. Pernah menulis buku WAJAH KESUSASTRAAN INDONESIA DI PALU (1995) (fotokopy), MENGENAL KHAZANAH BUDAYA DAN MASYARAKAT LEMBAH PALU (1999)keduanya diterbitkan Yayasan Kebudayaan Sulawesi Tengah. Saat ini sedang menulis buku; ALIMIN LASASI DEMI PANGGUNG TEATER,HASAN M. BAHASYUAN KOMPONIS LEGENDARIS TANAH KAILI, MASYHUDDIN MASYHUDA (Penyair Dari Kuala Sampai Samudra). Selain itu juga menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hentikan Eksploitasi Seniman

20 Maret 2010   03:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:18 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

OLEH: Jamrin Abubakar

SIAPA seniman atau pun kelompok seni di Kota Palu atau di Sulawesi Tengah umumnya jadi“besar”dan sukses atas pembinaan lembagakebudayaan pemerintah?

Pertanyaan tersebut telah saya lontarkan tahun 2008 silam dalam jaringan email (milis) yang kemudian mendapat banyak tanggapan dan sorotan terhadap beberapa seniman birokrat dan lembaga Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) yang selama ini memiliki “kekuasaan” dalam proyek seni budaya. Selain di milis, tulisan ini pun pernah dimuat di sebuah media, kemudian penulis aktualisasikan kembali sesuai konteks terkini.

Soal pertanyaan siapa seniman jadi besar karena dibina lembaga kebudayaan, silahkan pembaca menjawabnya. Yang jelas dari pengamatan penulis ada beberapa seniman dan kelompok seni memilki reputasi dan kredibilitas yang cukup diperhitungkan di tingkat lokal dan nasional. Tetapi apakah karena campur tangan lembaga pemerintah dimana di dalamnya terdapat para pejabat kebudayaan yang selalu menyusun program dan melakukan kerja birokrasi dan sangat ekslusif mengutamakan “kesejahteraan” birokrat seniketimbang seniman itu sendiri.

Entahlah kalau saya keliru menilai soal ini. Kalau pun keliru, berarti kemungkinan para pejabat atau lembaga kebudayaan itulah yang benar. Soalnya sepengetahuan saya sebagai penulis, di antarapara seniman yang selama ini eksis berkarya, apakah sastrawan, koreografer/penari, musisi/komponis/penyanyi, perupa, dramawandan lainnya, justru mereka ‘besar’ dan dan eksis bukan karena keberhasilan lembaga kebudayaan selaku pembina dan fasilitator. Justru karena keberadaan atas upaya indivisu-individu seniman yang mampu berkarya itu yang kemudianbaru mendapat sentuhan untuk “diproyekkan” pada event-event seni budaya. Sangat minim program ke bawah yang sifatnya betul-betul membina seniman yang tak berdaya secara sosial ekonomi, sehingga mampu mandiri secara profesional.

Lantas kalau begitu apa kerja dan tanggungjawab para pejabat kebudayaan selama ini? Padahal setiap tahunnya danayang dinggarkan untuk kegiatan kesenian-kebudayaan mencapai ratusan juta,bahkan miliaran rupiah, terutama bila diakumulasi untuk beberapa event tahunan ditambah biayamenghadiri festival di Bali, Taman Mini Indonesia, dan lainnya. Itu belum termasuk untuk keluar negeri.

Dari berbagai persitiwa seni budaya proyek tersebut di satu sisi memang tidak bisa diukur dengan berapa uang yang dihabiskan, karena secara sosial kulutural terkandung nlai-nilai spirit sosial yang menjadi semacam investasi kebudayaan dimana Sulteng menjadi bagian jaringan kerja kebudayaan itu sendiri. Soal ini tak masalah, tapi bagaimana dengan kesejahteraan para pelaku seni atau seniman yang terlibat dalam berbagai aktivitas yangmenjadi lokomotif dalamagenda budaya yang dilahirkanDinas Kebudayaan dan Pariwisata.

Kasihan.Senimanyang bukanlah bagian dari birokrasi suatu lembaga pemerintah, bukan saja insentif atau kompensasi yang diterimanya kurang pantas ketimbang anggaran yang tersedia, tetapi terkesan sebagai alat semata untuk mensukseskan suatu program, walaupun hal ini tidak semuanya benar.

Bagaimana mereka yang menjadi bagian birokrasi yang tugas pokoknya memang untuk jadi pelayan/fasilitator (untuk tidak mengatakan pembantu) yang juga sudah dapat gaji bulanan sesuai tugasnya? Mereka lebih mengutamakan dirinya dalam “pembagian kue” proyek ketimbang “pembuat kue” itu sendiri.

Kalau seniman diberi kompensasi yang sangat layak dan sepantasnya karena karyanya sukses ditampilkan dalam event-event festival ala pemerintah, sangatlah wajar. Lagi puladalam mempresentasikan karya-karyanya tidak setiap saat, sehingga bila bicara secara ekonomis dengan kondisi apresiasi seni dalam masyarakat kita masih biasa-biasa saja, maka wajarlah kalau sekali-kali pemerintah memberi kelayakan seniman, minimal pada setiap penampilan dalam event tahunan. Hal itu dipandang perlu agar tidak terkesan seniman hanya jadi alat eksploitasi setiap diperlukan. Bayangkan kalau misalnya sesaat menejalang pertunjukan di suatu eventatas nama pemerintah daerah, tiba-tiba mereka yang dijadwalkan tampil itu mogok. Apa jadinya? Pasti yang malu adalah pemerintah daerah juga. Semoga imajinasi demikian tidak terjadi. Maka hentikanlah eksploitasi seniman.

Di satu sisi seniman haruslah memiliki keberanian “melawan” selamakarya yang berkualitas bisa dipertanggungjawabkan pada publik. Bukan karya asal-asalan, tapi betul-betul hasil dari ekploirasi yang mencerminkan latar belakang suatu tema yang diusung.

Beberapa tahun terakhir ini di Sulteng sebetulnya senimanmakin tertantang dengan adanya beberapa proyek event festival ala pemerintah. Bukan saja bagaimana seniman menjadikanfestival sebagai moment untukmenunjukkan karya-karya orisinil, tapi juga pemerintah harus lebih banyak belajar melihat dan mendengarkan berbagai kritikan terhadap berbagai kegiatan festival yang digelar guna menjadi bahan evaluasi.

Sangat ironis suatu event dilaksanakan dari tahun ke tahun, yang diharapkan grafik kesuksesannya naik namun malah turun. Seharusnya lebih baik setelah bertambahnya pengalaman baik dan buruk. Itu pun kalau profesionalisme dan keterbukaan selalu dikendepankan.

Di Sulteng sudah cukup untuk dijadikan bahan evaluasi sekaligus media pemanfaatan dan pelibatan seniman secara terbuka. Kelihatannya seorang seniman yang juga birokratdi Disbudpar Sulteng, Amin Abdullah sebetulnya ada keinginan memulai mendorong semangat ‘keterbukaan’ dengan pelibatan seniman secara interaktif dalam penyusunan program sampai pelibatan di lapangan. Cuma saja secara birokrasi dan prosedur, ia tak berdaya menyusul alas an keterbatasan dana selalu jadi kendala. Ia pernah berkeinginan seniman bukan hanya tahu beraksi di atas panggung pada hari pelaksanaan,melainkan dilibatkan sejak awal agarlebih banyak tahu dalam proses di belakang panggung sebagai bagian penanggungjawab.

Beberapa event yang berada di bawah naungan Disbudpar baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, yaitu Pekan Budaya dan Pariwisata, Festival Danau Poso, Festival Togian, Festival Teluk Palu (Pesta Rakyat Teluk Palu), Festival Riak Donggala, Forum Vula Dongga dan akan entah apa lagi yang bakal dimunculkan.

Festival yang dilaksanakan pemerintah tersebut, bukan saja menjadi ‘impian’ sesuai yang diinginkan penyelenggara untuk mencapaimaksud dan tujuannya, tapi saatnyamembawa harapan bagi seniman daerah. Kehadiran seniman bukan lagipelengkap penderita dalam mewujudkan sebuah event yang bisadijadikan indikator kegiatan program?. Mereka (seniman) tak bisa dipisahkan sebagai bagian dari penanggungjawab karya dan kerja yang berproses.

(Penulis adalah pemerhati seni dan budaya di Palu)

[VAC1]

[VAC1]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun