BUKU Orang Kaili Gelisah Catatan Kecil Seorang Wartawan merupakan kumpulan tulisan yang pernah dipublikasikan di surat kabar lokal mengenai peristiwa seni dan budaya di Kota Palu. Temanya memiliki kaitan dengan denyut "nadi" sosial budaya To Kaili (Orang Kaili) sebagai salah satu suku terbesar dan tersebar di Sulawesi Tengah, utamanya di Kota Palu.
To Kaili yang diidentifikasi dengan adat istiadat dan bahasa sendiri serta berbagai sub-dialek dan karakter tersendiri yang menunjukkan sebagai suku sangat menarik dibicarakan. Meskipun tulisan yang terhimpun dalam buku ini terpisah satu sama lainnya atau tidak terfokus pada kajian tentang Kaili itu, setidaknya mencerminkan sebuah "Kegelisahan" Orang Kaili dalam mengarungi dan menghadapi kebudayaan global. Akibatnya, Kaili di antara beragam pertemuan budaya suku-suku lain yang mengindonesia nyaris kehilangan identitas.
Salah satu indikasinya, soal bahasa Kaili yang penuturnya semakin berkurang terutama di Kota Palu. Ancaman kepunahan bahasa Kaili bukan saja menjadi kegelisahan bagi pemerhati budaya, tetapi juga merupakan kegelisahan pemilik budaya Kaili itu sendiri karena mulai tercerabut dari akarnya. Ada banyak orang di Palu masih mengaku Orang Kaili hanya karena kedua orang tuanya berlatar belakang suku Kaili, namun tidak bisa lagi berbahasa Kaili.
Kamus Bahasa Kaili Ledo-Indonesia-Inggris karya orang Amerika yang kemudian menjadi buku panduan orang Kaili memperlajari bahasanya, minimal menjadi "penyelamat" yang dapat membantu pelestarian bahasa, namun di satu sisi telah menjadi tanda-tanda akan punahnya bahasa Kaili, karena Orang Kaili sediri tak banyak yang peduli. Belum lagi instrument seni tradisi yang selama ini diklaim sebagai kekayaan suku Kaili juga terancam punah. Meskipun berbagai diskusi dan lokakarya telah dilakukan untuk membangkitkan kembali seperti pelatihan Kakula dan Rabana, tanda-tanda kekhawatiran dan kegelisahan kalau warisan To Kaili itu dalam ancaman sudah di depan mata.
Kota Palu sebagai gerbang kebudayaan Sulawesi Tengah tidaklah mencerminkan kekhasannya, khususnya warna budaya Kaili. Meskipun berbagai diskusi dan gagasan pernah dilontarkan untuk memberi karakter budaya daerah dalam pembangunan Kota Palu, tidak juga terwujud. Yang terlihat adalah kegelisahan demi kegelisahan di benak para seniman, budayawan, pemerhati yang menginginkan ada nilai lokal yang mewarnai dinamika Kota Palu, hasilnya nihil. Soal nama jalan saja dari bahasa Kaili telah diganti menjadi bahasa Indonesia, sehingga mengilangkan nilai-nilai lokal "Kaili".
Di satu sisi secara geologis Lembah Palu yang memiliki sesar gempa bumi juga menjadi "kegelisahan" yang memiliki keterkaitan dengan mito
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H