Oleh: Jamrin Abubakar
Sulawesi Tengah memiliki patahan gempa bumi yang prosesnya belum selesai, sehingga masih sering terjadi gempa dan tetap aktif. Penyelidikan awal yang popular disebut Fossa Sarasina dan belakangan lebih dikenal sesar Palu-Koro sebagai identifikasi berdasarkan geografis, Teluk Palu disamakan dengan zone depresi yang juga terdapat di Jepang.
Berdasarkan Mitologi
BERDASARKAN mitologi, baik yang dituturkan orang-orang tua secara turun-temurun maupun beberapa buku yang ditulis budayawan di Tanah Kaili, menyebutkan, Lembah Palu zaman dahulu merupakan perairan laut teluk dan sebelumnya merupakan danau.
Masyhuddin Masyhuda dalam Catatan Kritis Palu Meniti Zaman (2000) mengidentifikasi batas-batas laut yang menjorok ke dalam memiliki batas ujung selatan hingga ke Desa Bangga, Valatana, Baluase, Rogo, Pulu dan Bomba dibagian barat. Sedangkan di bagian timur mencapai Loru, Pombeve, Vatunonju, Uvemabere, Lambara, Kalavuntu dan Pandere.
Demikian halnya pendapat Moh. Djaruddin Abdullah dalam bukunya Sejarah Tanah Kaili (1975) dan beberapa penulis buku lainnya, juga mengaitkan terjadinya Lembah Palu bermula dari laut (teluk) yang kemudian kering. Dalam mitologi Kaili, peristiwa mengeringnya laut Kaili dikaitkan kedatangan Sawerigading, tokoh sentral dalam epos sureq Lagaligo asal Luwu, Sulsel. Dalam pelayarannya kembali dari negeri Cina, Sawerigading (Saverigadi dalam dialek Kaili) menyempatkan masuk ke teluk Kaili dan berlabuh di Pudjananti-Banava (Donggala), kemudian menuju ke pelabuhan Bangga dan Sigi sebagai pusat kerajaan Kaili yang dipimpin seorang ratu waktu itu. Cerita ini merupakan versi lisan dalam mitologi To Kaili (orang Kaili) di Lembah Palu.
Saat kapal berlabuh, seekor anjing milik Sawerigading bernama Labolong (si hitam) secara tidak sengaja berjalan mencari mangsa sampai di dataran lembah di arah selatan Sigi. Singkat cerita, di sanalah Labolong melakukan perkelahian dengan seekor belut raksasa penghuni sebuah telaga kecil di tengah lembah. Perkerlahian terjadi, disebabkan ketika Labolong sedang berjalan dan tanpa sengaja kakinya terperosok ke dalam telaga yang ternyata tempat kubangan belut raksasa. Merasa terusik atas kehadiran seekor anjing yang mengobok-obong tempatnya, belut raksasa penghuni telaga pun menarik kaki anjing hitam tersebut, sehingga terjadi pertarungan maha dahsyat dalam kubangan sampai-samapi menimbulkan gempa bumi.
Labolong dan belut itu, akhirnya keluar dari dalam telaga, keduanya saling gigit dan tarik-menarik hingga hanyut ke laut bersama air bah yang tumpah (banjir bandang) bercampur warnah merah, karena kedua hewan raksasa itu berdarah. Masyarakat di pesisir Sigi-Bora dan sekitarnya ketakutan mendengar gemuruh yang disertai disertai banjir dan gempa.
Bekas jalannya belut saat ditarik oleh anjing, itulah yang dianggap menjadi cikal-bakal terjadinya Sungai Palu yang berhulu di Danau Lindu. Gemuruh air sebagai susulan getaran bumi, mengakibatkan Teluk Kaili yang menjorok itu tertimbun longsoran tanah, jadi lembah sampai sekarang.
Dari peristiwa ini pula (matinya belut raksasa) menjadi cikal-bakal untuk sebutan bagi Danau Lindu hingga sekarang. Lindu dalam bahasa Kaili atau bahasa Kulawi berarti belut, sejenis Sogili yang merupakan salah satu jenis ikan endemik danau-danau dataran tinggi di Sulawesi Tengah, khususnya di Danau Lindu.
Menurut legenda, kapal Sawerigading ketika itu terdampar di Sambo (sekarang Kecamatan Dolo), sehingga di desa ini ada gunung yang kalau dipandang dari jauh menyerupai perahu, masyarakat setempat menyebutnya Bulu Sakaya (gunung perahu). Konon gunung itu merupakan kapal Sawerigading, sedangkan layarnya terdampar ke sebelah timur lembah yang kini disebut Bulu Masomba yang berarti gunung yang menyerupai layar.
Mitos tersebut, hingga kini masih sering dituturkan bagi orang-orang tua di Lembah Palu, separuh menganggapnya sebagai cerita yang benar. Namun demikian, terlepas dari benar tidaknya legenda tersebut, sangat menarik dari aspek mitologi ditafsirkan dari sisi kemungkinan pernah ada peristiwa geologi yang sangat dramatis di Lembah Palu.
Berdasarkan Geologi
Kalau Lembah Palu memiliki legenda asal-usul yang cukup menarik berdasarkan mitologi, maka menarik pula dicermati dan dikontekskan secara geologi tentang Lembah Palu terbentuk sebagai proses dari teluk yang mengering. Diperkirakan dalam kurun/zaman Pliosen (10 megatahun) atau zaman Miosen (25 megatahun) yang lalu sebagai akibat suatu peristiwa geologi.
Masyhuddin Masyhuda yang mengutip pendapat Abendanon dan Fossa Sarasina, dua petualang dari Eropa yang pernah melakukan ekspedisi ke Sulawesi Tengah, lebih dahulu menyatakan daerah ini adalah jalur tektonis, jauh sebelum ahli geologi Indonesia melakukan penelitian yang kemudian memberi nama sesar Palu-Koro untuk aktivitas gempa bumi paling rawan di Palu yang jalurnya dari arah selatan (Pipikoro) melintas ke arah utara (Teluk Palu). Patahan ini juga memiliki jalur yang sejajar dan kedekatan dengan sesar Matano hingga Teluk Bone dan jalur laut Sulawesi di utara.
Awal abad 20, Fossa Sarasina, menyamakan teluk-teluk tersebut (Teluk Palu) dengan zone depresi yang juga terdapat di Jepang. Menurutnya, kalau di Sulawesi Tengah prosesnya belum selesai, gempa bumi masih sering terjadi dan tetap aktif. Penyelidikan tersebut, kemudian popular disebut sesar Fossa Sarasina dan belakangan lebih dikenal Palu-Koro sebagai identifikasi berdasarkan geografis.
Abendanon sendiri dari hasil penyelidikannya dengan melihat fakta-fakta geologi yang ditemuinya tentang kondisi Teluk Palu, berpendapat, daerah ini pernah menjadi suatu danau gunung dengan dataran Palu di bagian selatan. Suatu hal yang menyolok ialah delta yang potongan-potongan batu dan sisa-sisa dinding, bersusun dimana bagian atas delta tersebut telah terbentuk pada waktu danau gunung yang tua itu ada, kemudian susunan tanah terbentuk setelah gunung runtuh.
Bukti tersebut diperkuat dengan adanya persamaan batu-batu dasar yang ada di bagian timur teluk (Toaya dan Dalaka), Kecamatan Sindue dengan bagian barat teluk (Pangga, sebelah selatan Kabonga), Kecamatan Banawa. Bahkan Abendanon berkesimpulan ujung barat dan timur Teluk Palu tersebut pernah bersambungan pada bagian utara, diperkirakan hingga pada periode kuarter tersier (0,01 megatahun) atau dalam kurun Pliosen (10 megatahun).
Berkaitan dengan beberapa kali peristiwa geologi pada pulau-pulau di Indonesia, termasuk Sulawesi, menarik disimak apa yang dipaparkan dalam buku Ekologi Sulawesi (1987). Dalam kurun Miosen ini lempeng Australia bergeser ke utara menyebabkan melengkungnya bagian timur lengkung Banda ke barat. Gerakan ke arah barat ini digabung dengan desakan-desakan ke darat sepanjang sistem patahan Sorong dari bagian barat Irian dengan arah timur-barat, menghasilkan bentuk khas Sulawesi seperti kita kenal sekarang. (Anthony J. Whitten, Muslimin Mustafa dan Gregory S. Henderson dalam Ekologi Sulawesi) terbitan Gadjah Mada University Press, 1987.
Disebutkan, pada kurun Pliosen terjadi peristiwa geologi yang memungkinkan juga Sulawesi ada hubungannya dengan Kalimantan melalui laut Doangdoang atau Selat Makassar yang menyempit. Kemudian zaman Miosen, Sula/Banggai berbenturan dengan Sulawesi timur, semenanjung utara mulai berputar dan Sulawesi timur dan barat mulai menyatu.
Berdasarkan peristiwa-peristiwa geologi tersebut, Lembah Palu dahulu pernah menjadi danau, kemudian akibat perubahan-perubahan tektonis yang cukup drastis dalam bentuk gempa besar dan pergeseran-pergeseran, sehingga menjadi laut. Dalam proses tersebut terjadi lagi perubahan fisik baik secara evolusi maupun revolusi dengan gerakan aktivitas gempa yang berakhir mengeringnya laut teluk menjadi lembah. Kemungkinannya itu diduga pula dengan terdapatnya sisa-sisa jenis tumbuhan bakau di kaki lereng pegunungan, Desa Lompio, arah tenggara Palu, bisa jadi hipotesis kalau di tempat itu pernah menjadi batas atau tepi laut.
Berdasarkan analisa sepintas secara mitologi dan geologi, gempa bumi Bora atau gempa bumi Palolo, 24 Januari 2005 lalu, membuat panik warga di Lembah Palu. Kepanikan itu sebagai fobia yang mengira gempa akan disusul tsunami seperti yang terjadi di Aceh akhir tahun 2004 lalu tidaklah berlebihan. Ditambah mitos jebolnya danau Lindu ke lembah, sangat “menghantui” penduduk Palu, mengingat secara mitologi dan geologi, Lembah Palu ini ibarat laut yang kering.
Meskipun pemerintah bersama ahli geologi Tim Tanggap Darurat (TDD) Gempa Bumi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi dan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi telah menyampaikan argumentasi Danau Lindu tak mungkin jebol walau berada di ketinggian, karena berada dalam bentengan berlapis-lapis pegunungan, tapi hingga kini masih banyak yang yang was-was nyaris tak percaya. Danau tektonik itu, juga memiliki jarak yang cukup jauh dari lembah, sehingga tidak ada kemungkinan terjadi peristiwa dramatis seperti dalam mitos yang telah diceritakan.
Yang jelas secara geologi, aktivitas gempa bumi pada sesar Palu-Koro, menjadi bukti daerah ini rawan gempa tektonik. Takdir Tuhan, tak bisa disesalkan dan dihindari, kecuali menyambut dengan cara meminimalisir bahaya yang ditimbulkan dengan berbagai upaya berdasarkan rekomendasi kajian resiko bencana gempa. *
(Penulis Jamrin Abubakar, seorang wartawan biasa)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H