Mohon tunggu...
Jamil Mubarok
Jamil Mubarok Mohon Tunggu... -

Peneliti MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia) www.transparansi.or.id Lahir di Tasikmalaya, 06 Nopember 1981

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Remisi untuk Pelaku Korupsi Jadi Komoditi

17 September 2010   03:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:11 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia kembali mengalami gangguan. Segala daya dan upaya untuk menghambat, menghalangi-halangi, mengkriminalisasikan para pegiat antikorupsi, menghancurkan institusi KPK, memenjarakan pimpinan KPK (Bibit-Chandra) dan bahkan mencari akal untuk memutarbalikan penafsiran hukum untuk menolak dipenjara karena korupsi, dan lain-lain sem`uanya dikerahkan sekuat tenaga oleh para pelaku korupsi dan kroni beserta para pendukungnya. Ini sebagai wujud nyata dari ‘corruptor fight back’.

Kondisi demikian diperparah lagi oleh peran pemerintah dan DPR yang cenderung bergandengan tangan dengan para pelaku korupsi, sehingga segala kebijakan-kebijakannya nampak telah dikendalikan oleh para pelaku korupsi, seperti Revisi UU Money Laundering dan lainnya. Sungguh naas jika dikaitkan dengan kondisi kehidupan riil masyarakat sekarang dengan angka kemiskinan yang masih tinggi, pengangguran terus meningkat, buruknya layanan kesehatan, dan tersendatnya berbagai pembangunan infrastruktur, langsung atau tidak langsung hal ini merupakan dampak dari hilangnya uang negara yang dicuri oleh sekawanan pelaku korupsi kelas kakap dan lainnya.

Di Hari Kemerdekaan, Koruptor Disanjung oleh Pemerintah

Tanggal 17 Agustus 2010 sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-65, hari yang sakral bagi bangsa Indonesia ini diperingati dengan hidmat oleh seluruh komponen maysarakat. Hari kemerdekaan biasanya diisi dengan renungan jasa-jasa para pahlawan yang rela berkorban demi nusa dan bangsa untuk melawan penjajah. Namun renungan ini diskapi lain oleh pemerintah, melalui Menteri hukum dan HAM, dengan mengatasnamakan pemerintah untuk memberikan ampunan yang semena-mena bagi para pelaku korupsi.

Renungan bagi para pahlawan kemerdekaan yang telah mencucurkan air mata, keringat dan darah, seolah tak digubris, dan tidak ada harganya sama sekali, karena beriringan dengan itu, pemerintah lebih memilih memberikan hadiah kepada para pelaku korupsi dibanding memberikan hadiah bagi para janda pahlawan, putra-putri, cucu-cicit pahlawan yang tidak mampu.

Tanpa ada rasa bersalah dari pemerintah setelah memberikan hadiah berupa remisi bagi para pelaku korupsi, bahkan yang terjadi pemerintah menantang balik bagi para pemerotesnya dengan dalih memiliki argumentasi yang cukup kuat. Tak kira-kira pemerintah memberikan remisi bagi 341 nara pidana korupsi, 11 diantaranya dibebaskan dari penjara, dari 83.703 napi secara keseluruhan yang mendapatkan remisi, (sumber:kemenkumham).

Peraturan Jadi Bantal Pemerintah

Memberikan remisi bagi narapidana hukumnya sah untuk dilakukan sepanjang tidak melenceng dari aturan. Menurut PP No.28 tahun 2006 tentang hak warga binaan pemasyarakatan, narapidana memiliki hak-haknya yang harus dihormati. Jika ditilik sepintas dari aturan ini, tidak ada yang salah. Namun pelaksanaan lapangannya yang melenceng jauh. Untuk menjunjung tinggi penegakan Hak Azasi Manusia, maka narapidana memang harus diberikan perlindungan, namun bentuk perlindungan dan penghormatan hak azasi seperti apa yang harus diberikan? PP No.28/2006 sebagai perubahan dari PP No.32 ttahun 1999 telah mengaturnya.

Dalam PP ini narapidana tidak bisa semena-mena diberikan remisi, ada syarat yang harus dipenuhinya, diantaranya selain menjalani dua pertiga masa hukuman, napi harus berkelakuan baik, tidak pernah memiliki catatan buruk selama menjalani masa hukuman. Fakta berkata lain, terpidana korupsi Artalyta Suryani alias Ayin mendapatkan remisi. Padahal beberapa bulan yang lalu, media dihebohkan oleh sidaknya satgas pemberantasan mafia hukum ke rutan salemba dan didapat ruangan khusus serba mewah terpisah dengan napi lainnya, ini menunjukan bahwa Ayin telah memperdaya petugas rutan, perilaku buruk ini harusnya menjadi catatan penting selama ayin mendekam ditahanan, karena diketahui publik. Namun pandangan pemerintah lain dengan masyarakat umum yang tahu tentang aturan main dalam menerjemahkan PP No.28/2006,Pemerintah dengtan ikhlas memberikan remisi bagi Artalyta Suryani.

Menentukan seorang napi berkelakuan baik adalah sipir penjara yang tahu, dan pertimbangan ini sangat subyektif, barometernya prilakunya tidak jelas. Tidak ada ukuran pasti, jika dikaitkan dengan contoh kasus Artalyta Suryani yang mendapatkan remisi. Melihat contoh seperti ini sangat mungkin area ini dijadikan “alat tawar” atau modus korupsi baru, mengingat kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang berada di bawah Kemenkumham masih sangat buruk. Peraturan hanya dijadikan bantal oleh pemerintah untuk bersandar me-ninabobo-kan para koruptor.

Menegakkan Hak Azasi Manusia

UUD 1945 pasal 28 sangat jelas mengatur hak azasi manusia. Yang harus dijadikan acuan untuk menghormati hak azasi para narapidana tanpa pandang bulu. Namun dibalik pemberian hak ada kewajiban narapidana yang harus dipenuhi, salah satunya berprilaku baik selama menjalani hukuman, tidak boleh memiliki catatan buruk. Jika pemerintah ingin menjalankan undang-undang ini, maka harus paham dan mengerti amanat yang sebenarnya, kewajiban yang dijalankan narapidana harus obyektif dinilainya, tidak bisa subyektif.

Merujuk pada narapidana korupsi Bank Indonesia Aulia Pohan jika memang betul memiliki catatan baik, tidak pernah ijin keluar masuk tahanan hanya dengan alasan yang tidak patut harus diungkapkan ke publik untuk menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam hal demikian. Yang terjadi justeru pemutar balikan opini oleh sebelintir orang, yang menyatakan bahwa Aulia Pohan bukan koruptor tanpa ada dasar yang jelas dan membingungkan, bahkan dapat dinilai sebagai contempt of court, karena keputusan memvonis Aulia Pohan sudah Inkracht atau memiliki kekutan hukum tetap. Yang menjadi pertanyaan besarnya adalah apakah ini yang dinamakan dengan kewajiban narapidana yang telah dipenuhi yang kemudian harus diberikan hak azasinya untuk memberikan remisi bahkan membebaskan dari ruang tahanan?.

Merujuk pada kasus lain, terpidana kasus korupsi pengadaan bandara Kalimantan Timur Syaukani HR yang telah dibebaskan dari tahanan karena alas an sakit permanen. Publik tidak pernah tahu penyakit apa yang diderita, keterangan dokter sampai hari ini tidak pernah ada dan pemerintah tidak berusaha meyakikan ke publik untuk hal ini. Catatan MTI, Syaukani dalam beberapa bulan kebelakang pernah ijin keluar tahanan hanya untuk melakukan kampanye pemilukada yang salah satu kontestannya adalah putrinya sendiri di Kalimantan Timur. Ini catatan buruk bagi seorang napi, ijin itu hanya untuk kepentingan yang mendesak seperti berobat kedokter dan lain sebagainya, batasannya sangat ketat dan tidak bisa ada tolernasi yang luas untuk hal demikian. Jika hak azasi Syaukani HR yang telah diberikan dengan mempertimbangkan secara matang tentang ulasan diatas maka kebijakan pemerintah membebaskan Syaukani HR tidak patut untuk diberikan.

Alasan sakit atau telah terbukti memiliki catatan baik selama di penjara harus dijalankan dengan penilaian seobyektif mungkin, dengan pengawasan yang ketat pula, maka tidak akan menjadi persoalan yang cukup krusil. Hak azasi harus ditegakkan dan agenda pemberantasan korupsi pula harus jalan terus, tidak mustahil kedepan proses pemberian remisi akan menjadi komoditi baru bagi para pelaku korupsi dan pembelanya hanya untuk membebaskan diri para narapidana korupsi dari tahanan.

Harus diingat bahwa rata-rata saat ini hakim selalu memberikan masa hukuman bagi para pelaku korupsi yang sangat singkat tidak akan lebih dari 7 tahun, kondisinya diperburuk dengan pemberian remisi yang tak berdasar, nampak sangat lengkap berbagai upaya untuk menolak gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Maka dengan ini dapat disimpulkan bahwa urgensi pengawasan bagi seluruh mekanisme pemberian remisi bagi para narapidana terutama pelaku korupsi sangat mendesak dibutuhkan, penegak hukum harus memeriksa proses pemberian remisi ini terjadi “transksi hitam” atau tidak, jika ada makanya siapapun harus mempertanggungjawankannya di muka hukum, agar segenap upaya yang diakukan oleh KPK, Kepolisian, Kejaksaan dalam menyerek para pelaku korupsi tidak sampai sia-sia. Jika demikian pengadilan hanya menjadi proses dagelan belaka karena kerjanya percuma, jika harus memvonis terdakwa pelaku korupsi bertahun-tahun lamanya, namun pada akhirnya dapat bebas dengan pemberian grasi oleh Menteri Hukum dan HAM.

Garut, 9 September 2010

Malam takbiran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun