Mohon tunggu...
Jamil Mubarok
Jamil Mubarok Mohon Tunggu... -

Peneliti MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia) www.transparansi.or.id Lahir di Tasikmalaya, 06 Nopember 1981

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Potensi Korupsi Kontestan Incumbent Pemilukada

21 Juli 2010   13:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:42 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Definisi korupsi sangat banyak dijumpai dalam berbagai literatur. Korupsi memiliki tingkatan bahaya karena dampaknya yang langsung atau tidak langsung dirasakan masyarakat. Dari mulai korupsi jalanan sampai korupsi elit atau bisa disebut korupsi kebijakan. Korupsi jalanan contohnya; pemberian uang terimakasih dalam mengurus KTP, dan korupsi elit biasanya berkaitan dengan jabatan atau kekuasaan tertentu di pemerintahan yang bisa mengeluarkan kebijakan. Dapat pula dilihat dari jumlah uang yang dikorupsi, mulai puluhan ribu rupiah sampai puluhan milyar rupiah.Dampak dari korupsi elit yang biasanya secara langsung berpengaruh terhadap masyarakat, tersendatnya pembangunan karena manipulasi anggaran dan lainnya, nyata dirasakan oleh masyarakat.

Korupsi di daerah yang paling besar menurut survey TII 2010 yang dilakukan di Propinsi Aceh adalah pemerintahan daerah. Dapat dipastikan hasilnya tidak akan berbeda jauh jika dilakukan survey pada Propinsi lain di Indonesia. Beberapa kajian mengidentifikasi bahwa hal ini merupakan efek dari diterapkannya sistem desentralisasi. Banyak sekali sistem yang dibangun berdampak pada suburnya praktek korupsi terutama korupsi yang dilakukan oleh elit.

Sistem otonomi daerah itu sejatinya mensejahterakan rakyat daerah dengan adanya perimbangan keuangan daerah, namun disisi lain justru menyemaikan korupsi di daerah. Tidak bisa dipungkiri untuk menilai fenomena ini bisa tepat dengan istilah “ada gula ada semut”, sama artinya dengan “ada uang ada koruptor”, tentunya uang disini adalah uang negara.

Sistem pemilukada, seolah memberikan pesan akan keberhasilan demokrasi, namun di sudut lainnya banyak melahirkan perilaku-perilaku korupsi. Pemilukada hampir tidak dapat dipastikan bersih dari perbuatan korupsi. Terlebih adanya penyempitan cara pandang bahwa suara dapat dibeli dengan uang. Pemilukada dari mulai Pra kegiatan, hari H dan Pasca, semuanya dibelit oleh tindakan-tindakan korupsi, yang terpenting bagi kontestan Pemilukada adalah memenangkan kontestasi Pemilukada walaupun harus menghalalkan segala cara.

Dinamika korupsi Pemilukada akan lebih dramatis, jika kontestannya berasal dari incumbent. Seolah memperkuat pernyataan Lord Acton “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.”Setidaknya ada beberapa catatan MTI terkait potret korupsi pemilukada yang dilakukan oleh Kontestan Incumbent, yaitu :

1.Penyelewengan jabatan

2.Pemakaian fasilitas publik

3.Pemakaian anggaran publik

4.Money Politic

5.Manipulasi dana kampanye

Penyelewengan jabatan, dalam berbagai kasus didaerah, incumbent biasa memperdayakan aparatur pemerintahan daerah sebagai tim sukses bayangan atau memobilisasi PNS. Memberikan arahan bahkan instruksi terselubung disampaikan kepada level Kepala Dinas, sebagai jaminannya akan ada konsesi politik menyangkut jabatan. Bukti ini menyangkut lemahnya aturan kewenangan Kepala Daerah yang cenderung tanpa batas. Seluruh kedudukan jabatan di pemerintahan daerah bisa dijadikan jabatan politik. Padahal perangkat pemerintahan daerah adalah aparatur negara yang proses rotasi, mutasi jabatannya diatur oleh undang-undang, tidak bisa di intervensi. Namun biasanya Kepala Daerah menterjemahkannya atas kepentingan sumber daya manusia untuk pembangunan daerah.

Selain Aparatur Pemda, KPUD menjadi sasaran berikutmya. Netralitas penyelenggara pemilukada kerapkali dirusak oleh pengaruh kekuasaan Incumbent sehingga menimbulkan keberpihakan. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menilai terjadinya kerusuhan pasca Pemilukada karena adanya kecurangan yang terstruktur dan masif. Hal tersebut di dukung oleh ketidaknetralan KPUD dan pemerintah daerah, ini bisa secara tidak langsung mengarahkan pada kontestan Incumbent yang seringkali mendayagunakan pengaruh kekuasaannya dengan menghiaraukan azas-azas Pemilukada, terutama menjunjung tinggi netralitas.

Pemakaian fasilitas publik, upaya mendayagunakan fasilitas kerap kali terjadi, dari mulai mobil dinas sampai truk sampah, dari mulai pendopo sampai lahan pertanian milik pemda, dan banyak lagi. Penggunaan fasilitas tidak bisa dihalangi oleh perangkat pemerintahan daerah, karena perintah atasan sebagai terusan dari instruksi Kepala Daerah memiliki kekuatan khusus dan ada efek tersendiri. Bagi sebagian lain, perangkat daerah seakan berlomba menunjukan kepada Kepala Daerah atas dedikasi dirinya untuk suksesi Pemilukada.

Pemakaian anggaran publik, APBD jadi sumber anggaran yang potensial bagi para Incumbent untuk membiayai kampanye dan lain-lain. Kelihaian dari Incumbent nampak disini. Gambaran umumnya, Incumbent melakukan saving anggaran mendekati masa akhir jabatannya. Ketika musim kampanye tiba, secara tiba-tiba pula pembangunan fasilitas publik bermunculan, menyimpan pesan bahwa dirinya peduli pada pembangunan sehingga tertanam dibenak masyarakat Incumbent layak untuk dipilih. Dalam kasus lain, ketika mendekati Pemilukada program pemerintah marak dilaksanakan dan dikemas sedemikian rupa sebagai program populis sehingga menyiratkan pesan tersendiri untuk memuluskan suksesi Incumbent, contoh kasusnya pembagian Raskin, kesehatan gratis dan lainnya.

Money Politic, modus ini relatif sama dengan kontestan lain yang bukan dari incumbent. Ragamnya berbeda-beda, ada yang diberikan langsung berupa sejumlah uang, dan tidak secara lansung seperti pemberian bantuan cuma-cuma dengan sebagai bentuk meningkatkan fasilitas pertanian, olahraga, dan lain-lain.

Manipulasi Dana Kampanye, praktek ini pula dilakukan oleh hampir seluruh kontestan. Pemberian laporan anggaran tim sukses akan berbanding jauh dengan realisasi lapangan. Karena kontestan mensiasatinya dengan memecah anggaran sebagai sumbangan tidak terikat berasal dari simpatisan jalanan.

Dari ulasan diatas dapat disimpulkan bahwa Incumbent lebih berpotensi untuk melakukan praktek koruptif dalam proses Pemilukada, yang dikemas dengan siasat pendayagunaan jabatan, anggaran, aparatur dan lainnya. Demikian ini membuktikan lemahnya pengaturan dan pengawasan dari badan pengawas pemilukada, media dan masyarakat. Penegak hukum tidak berperan aktif dalam proses Pemilukada, sehingga jarang sekali pelanggaran Pemilukada yang masuk ke meja hijau terutama menyeret para kontestan Pemilukada, yang hampir mustahil dijerat oleh hukum.

Potensi korupsi Incumbent, khususnya, lahir karena didukung paling tidak oleh tiga faktor. Pertama, kemenangan Incumbent akan memberikan perlindungan terhadap jaringan bisnis yang terjalin pada pemerintahan periode sebelumnya. Kedua, kemenangan incumbent juga akan menciptakan pengaruh politik yang kuat. Incumbent akan sangat mudah mengendalikan arus-arus politik yang lalu-lalang dalam lalu-lintas kepentingan kekuasaan. Ketika kekuatan politik dapat dikendalikan, maka akan dengan mudah mendapatkan persetujuan politik dari lembaga perwakilan. Dalam demokrasi representatif, persetujuan lembaga perwakilan merepresentasikan persetujuan rakyat. Padahal, boleh jadi korupsi bermula dari persetujuan ini. Ketiga, gerbong kekuasaan satu tangan (despotic) akan tercipta dengan mudah melalui kemenangan Incumbent. Dengan jaringan bisnis yang terjalin dan pengaruh politik yang kuat, tak ayal kekuasaan satu tangan yang penuh dapat tercipta dengan mudah, yang kemungkinan besar membuncahkan kekuasaan absolut dan melahirkan korupsi.

Prinsip-prinsip good governance tidak berlaku dalam Pemilukada, bahwa apa yang dilakukan para Incumbent itu telah melanggar prinsip akuntabilitas, transparansi, keadilan.Refleksikan ke depan yang bisa dibayangkan apabila incumbent menang dengan cara-cara melanggar prinsip good governance, dia akan cenderung melakukan praktek-praktek bad governance di masa kepemimpinan yang kedua. Untuk itu calon seperti ini harus ditolak. Bagi civil society, yang terpenting adalah membangun mekanisme control masyarakat. Publik harus “cerewet” minta pertanggungjawaban atas setiap langkah dari incumbent.

Sistem Pemilukada saat ini hanya menambah daftar panjang sejarah suram praktek korupsi di Indonesia. Pemilukada bukan sebagai kompetisi pengabdian, melainkan kompetisi mencari untung rugi, membuktikan bahwa sampai hari ini hidup jujur menjadi tuntutan hidup yang sangat langka.

Makalah disampaikan di “DISKUSI PUBLIK” LISUMA Indonesia, Menteng Huis, Jakarta 13 Juli 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun