Bisnis mikro sangat Indonesia
Bisnis mikro memiliki ciri khas Indonesia sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa bisnis tersebut sangat Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia menurut data resmi Badan Pusat Statistik adalah 237.641.326 jiwa pada tahun 2010 mengindikasikan bahwa pengelolaan sektor industri yang tepat dalam rangka penyerapan tenaga kerja adalah industri padat karya. Olehkarena itu, pengembangan program kredit mikro wajib fokus sesuai dengan kriteria yang sudah ada, yakni mencapai golongan termiskin, memberdayakan kelompok perempuan, membangun lembaga keuangan berkelanjutan, dan dampak terukur. Maka Industri rumahan menjadi kunci kesuksesan dalam pengembangannya.
Bisnis mikro mempunyai daya tarik tersendiri, tidak heran segmen mikro menjadi buruan sejumlah bank dalam pemberian kredit. Akan tetapi penyaluran kredit mikro di Indonesia tak hanya mempertimbangkan sisi ekonomi, tapi sosio kultural masyarakat. Maklum, karakteristik sosio kultural masyarakat Indonesia sangat beragam. Sehingga perbankan perlumelakukan desentralisasi pengambilan kebijakan mikro untuk mengganti kebijakan yang sentralistik (terpusat). Dengan begitu kebijakan yang diterapkan tidak hanya berskala nasional agar implementasinya dapat menyentuh daerah-daerah pedesaan. Selama ini, aplikasi kebijakan perbankan dilakukan secara nasional baru kemudian cabang akan mengikuti. Hal ini kurang efektif mengingat kantor-kantor cabang mempunyai peran penting, sebab pelaksana di daerahlah yang lebih mengetahui bagaimana kondisi konsumen kredit mikro.
Kredit Mikro Pondasi Sektor Riil
Lembaga keuangan mempunya potensi cukup luas untuk membuka akses modal melalui kredit kepada jutaan pengusaha mikro di Indonesia. Akan tetapi hal tersebut tidak diimbangi dengan daya jangkau yang memadai dari bank pemberi kredit. Lembaga keuangan terikat dengan regulasi yang begitu ketat dalam pemberian pinjaman. Kemudian penyaluran kredit perbankan akan terhambat oleh faktor kekakuan administrasi perbankanitu sendiri. Sehingga, rendahnya penyerapan kredit perbankan di Indonesia masih berkutat pada persoalan administrasi yang terkadang hal tersebut justru menjadi penghambat pendistribusian kredit mikro.
Belum lama ini, Bank Indonesia menempuh kebijakan moneter ekspansi dengan menurunkan suku bunga (BIÂ Rate). Namun hal ini tidak seta merta ditanggapi langsung dengan tempo yang sesingkat-singkatnya oleh perbankan dengan menurunkan tingkat suku bunga kredit. Kesenjangan waktu (Time Lag) antara perubahan BI rate dengan suku bunga kredit berjalan cukup lama, tergantung kebijakan penentuan bunga masing-masing bank. Hal ini menyebabkan kebijakan moneter ekspansif menjadi kurang efektif dalam mendorong permintaan kredit. Padahal sektor usaha mikro kecil dan menengah sangat penting bagi perekonomian nasional kitakarena kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja yang sangat besar. Bukan tidak mungkin sektor bisnis mikro dapat berkembang menjadi tumpuan perekonomian yang kuat bila didukung oleh sektor keuangan, terutama kredit mikro. Hanya saja penyaluran kredit perbankan ke sektor tersebut terhambat oleh beberapa hal. Tingkat suku bunga kredit yang tinggi dan proses administrasi keuangan yang dirasa masih memberatkan sektor riil.
Penjagaan di Sektor Mikro
Ditengah gempuran kurs yang semakin melemah, sektor mikro berkontribusi dalam hal pertahanan. Usaha kecil mikro telah terbukti mampu bertahan pada masa-masa krisis. Apalagi dalam konteks makro, gejolak perekonomian dunia (external shock) dapat dengan mudah meluluh lantakkan system perekonomian dalam negeri hanya dalam hitungan detik dan satu-satunya sektor paling aman adalah bisnis mikro. Perlu komitmen yang kuat untuk meningkatkan kemampuan penyaluran kredit perbankan agar system pemberian kredit lebih berorientasi kepada nasabah kecil. Karena selain kekakuan administrasi perbankan salah satu faktor yang menghambat biasanya dipengaruhi oleh pengusaha mikro yang tidak memiliki jaminan agar bisa mendapatkan pinjaman.
Di satu sisi, sektor finansial menunjukkan kiprahnya dengan perkembangan yang baik, tetapi disisi lain sektor riil tidak mendapatkan banyak manfaat dari kemajuan sektor finansial tersebut, pokok permasalahannya adalah semacam kemandegan transmisi dari sektor finansial ke sektor riil. Seakan timbul sekat dari kondisi tersebut, dimana pada hakikatnya sektor bisnis mikro mampu mendorong perekonomian dan mampu bertahan dalam menghadapi keadaan krisis tetapi dalam mewujudkannya perlu sokongan dari sektor perbankan. Inilah titik fokus yang seharusnya diperhatikan dengan seksama oleh para pemangku kebijakan. Karena sebenarnya persoalan dalam pengembangan bisnis mikro bukan pada seberapa besar pangsa pasarnya, melainkan lebih kepada seberapa besar kemampuan bank menanganinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H