Isu tentang dunia pendidikan tak ada habis-habisnya. Entah itu di Indonesia atau didunia secara umum.
Semua berlomba-lomba untuk bongkar pasang - katanya demi memajukan dunia pendidikan.
Sistemnya diubah, materi ajarnya diperbaiki, pendidiknya diberikan pelatihan. Tapi yang anehnya si peserta didik tidak pernah ditanya - kamu butuh apa agar bisa pintar.
Karena katanya hasil dari sebuah pendidikan adalah pintar. Betul atau betul?. Itupun masih perlu dipertanyakan, apa gunanya pintar setelah lulus sekolah tetapi menjadi beban bagi masyarakat - karena tidak bisa mandiri. Tapi ya, sudahlah itu masalah yang lain.
Sekarang kita fokus pada kasus di atas saja. Yakni pernahkah peserta didik ditanya, bagaimana supaya kamu pintar?.
Rasa-rasanya selama saya sekolah puluhan tahun, tidak pernah ada yang datang kepada saya dan bertanya, adik - kamu mau apa supaya bisa pintar. Yang datang adalah kuliah satu arah memberitahukan How to menjadi pintar.
Ada satu contoh menarik yang ditulis oleh Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner dalam bukunya yang cukup fenomenal: Think Like A Freak.
Steven bercerita bahwa ada tiga peneliti yaitu Paul Glewwe, Albert Park dan Meng Zhao melakukan penelitian partisipatif di provinsi Gansu di Tiongkok - terhadap anak-anak sekolah kelas 4, 5 dan 6.
Mereka melakukan pemeriksaan mata anak- anak tersebut. Dan didapat banyak yang penglihatannya kabur dan harus dibantu dengan memakai kacamata.
Lalu dibuatlah dua grup, 59 orang anak diberikan kacamata gratis setelah diperiksa matanya dan yang lain tidak diberikan kacamata walaupun penglihatannya membutuhkan alat bantu kacamata.