"Apa pentingnya pak belajar menulis itu?" tanya seorang peserta didik saat saya berada di depan kelas dan mengajari mereka dasar jurnalistik serta teknik menulis.
Pertanyaan yang ketus dan tulus. Saya langsung menjelaskan kepada semua peserta didik yang ikut pelatihan jurnalistik di kelas tersebut. Belajar menulis atau paling tidak mengerti jurnalistik bukan berarti mengajak peserta didik untuk memilih profesi jurnalis atau jadi penulis. Akan tetapi menulis itu penting dan bisa menjadi bekal di kemudian hari.
Masuk perguruan tinggi dan hendak menyelesaikan studi di perguruan tinggi, kita dituntut untuk menuliskan skripsi. Paling tidak dengan bekal menulis dari awal akan lebih siap ketika mendapat tugas di kampus atau di dalam pekerjaan. Seorang guru atau dosen saat ini harus bisa menulis, paling tidak menuliskan bahan ajarnya.
Aturan tentang penulisan karya ilmiah bagi guru atau dosen yang ingin naik pangkat pun sesungguhnya bukan suatu paksaan, tapi suatu keharusan. Mengapa? Karena, seorang guru atau dosen setiap hari bersinggungan dengan dunia tulis menulis walaupun yang ditulis adalah materi pengajaran atau bahan ajar.Â
Dalam tugas pokoknya, seorang guru atau dosen juga harus merancang program pengajarannya (bahan ajar) yang akan diajarkan selama satu tahun dan dibagi dalam dua semester. Untuk dosen disebut Satuan Acara Perkuliahan (SAP) dan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP).
Dalam konteks perlunya guru atau dosen menulis karya ilmiah, agar guru (pengajar) bisa lebih percaya diri apabila bahan ajar yang dipakainya itu merupakan tulisannya sendiri. Ini merupakan hasil konfrontasi atas modul pengajaran umum dengan buah-buah pemikirannya. Guru atau dosen akan tampil menawan di depan kelas sambil menenteng buku karyanya dan mengajari murid-muridnya.
Apabila seorang guru atau dosen menguasai bahan ajarnya, ini adalah pertanda bahwa tenaga pendidik tersebut benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya sebagai tenaga pendidik. Kalau seorang tenaga pendidik tidak menguasai bahan ajar yang akan dijelaskan secara runtut dan sistematis, berarti tenaga pendidik tersebut adalah tenaga pendidik yang 'tercebur' ke profesi pendidik dan tak memiliki kemampuan untuk menjadi tenaga pendidik.
Tenaga pendidik yang memiliki kemampuan menulis, efeknya bagi para siswa adalah siswa akan bangga sebab gurunya memiliki buku ataupun tulisan lain hasil karya sendiri. Siswa atau mahasiswa akan merasa memiliki panutan, sandaran dan figur seorang tenaga pendidik yang smart.
Dengan adanya aturan baru yang diberlakukan pemerintah bahwa guru harus membuat publikasi ilmiah atau karya inovatif jika hendak naik dari golongan III B ke III C membuat guru menjerit. Semakin tinggi golongan, kewajiban membuat publikasi ilmiah semakin bertambah. Akibat dari aturan ini, banyak guru di beberapa daerah terganjal naik pangkat karena tak bisa menulis karya ilmiah.
Ada guru yang merasa sangat berat untuk menghasilkan atau membuat karya ilmiah, karena waktu untuk mengajar dan tatap muka minimal 24 jam per minggu menjadikan hari-hari mereka dipenuhi jadwal mengajar. Guru sudah sibuk dengan tugas utamanya, dan tidak mudah untuk bisa meluangkan waktu melakukan penelitian.
Berdasarkan hasil uji kompetensi guru secara nasional yang dilaksanakan Kemendikbud beberapa tahun belakangan, guru TK-SMA/SMK masih sangat butuh peningkatan di kompetensi pedagogik (kemampuan mengajar) dan profesional (penguasaan materi yang diampunya). Kompetensi terendah justru dimiliki guru SD dan pengawas sekolah.