Mohon tunggu...
James P Pardede
James P Pardede Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Menulis itu sangat menyenangkan...dengan menulis ada banyak hal yang bisa kita bagikan.Mulai dari masalah sosial, pendidikan dan masalah lainnya yang bisa memberi pencerahan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kapan Menikah? Rencanakan Pernikahan dengan Matang?

30 Agustus 2016   23:38 Diperbarui: 31 Agustus 2016   10:18 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah lulus kuliah dan bekerja di salah satu hypermarket di Medan, usia saya pada waktu itu sudah 26 tahun. Saya terlambat menyelesaikan kuliah karena sudah keenakan bekerja. Penghasilan yang saya terima pada waktu itu lebih dari cukup untuk ukuran anak muda yang masih belum terikat janji suci sebuah pernikahan.

Bekerja beberap bulan, orangtua saya bertanya "Kapan menikah ? Kalau mau menikah rencanakan dengan matang ya ? Jangan asal jadi dan pastikan pasangan hidupmu nanti bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, bisa menjaga anak-anak dan membimbing mereka ke jalan yang benar dan dikehendaki oleh Tuhan.

Nasehat orangtua saya cerna di dalam pikiran saya. Lantas, saya mulai berpikir ke depan dan merencanakan pernikahan saya dengan orang yang saya anggap mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik dan bisa mengawal perkembangan serta pertumbuhan anak-anak yang kami miliki di kemudian hari.

Saya memutuskan menikah di usia 28 tahun dan calon isteri saya 22 tahun. Kami menikah tepat pada tanggal 4 April 2000. Menikah beberapa bulan, saya mendapat berkat dipromosikan naik jabatan. Kami menikah pada tahun 2000 dengan gaji Rp. 400 ribu. Kalau digiring ke keadaan sekarang mungkin orang akan tertawa sekaligus mencibir apa bisa hidup dengan gaji seperti itu. Namanya sudah komitmen dan merencanakan pernikahan dengan matang, saya dan isteri berusaha untuk belajar menjadi penasehat sekaligus perencana dalam hal keuangan dan memanajemeni diri untuk bisa bertahan dalam kondisi apa pun. 

Satu tahun kemudian kami punya anak pertama dan sekarang sudah duduk di bangku sekolah SMA kelas satu. Saat kelahiran anak kami yang pertama, isteri saya pada waktu itu boleh dikatakan sangat tangguh dan kuat. Pada hari menjelang kelahiran anak kami, isteri saya sudah pecah ketuban dan kami konsultasi ke bidan dekat rumah tempat tinggal mertua saya. Pada waktu itu, bidan berpesan belum waktunya dan kami disarankan untuk pulang dulu. 

Saat air ketuban semakin banyak keluar, kami kembali lagi ke tempat praktek bidan dan kami memutuskan untuk bertahan di sana. Isteri saya sudah mulai merasakan sakit yang luar biasa. Pukul 22.00 WIB bidan mulai melakulan proses persalinan sampai pukul 24.00 tidak berhasil juga. Air ketuban yang keluar semakin banyak.

Pada saat itu yang ada dipikiran saya adalah, apakah isteri saya bisa melewati masa sukar ini ? Bidan yang menolong persalinan hampir menyerah dan menyuruh saya mencarikan dokter atau mencari taksi untuk memvaea isteri saya ke rumah sakit. Tekad bulat yang ada dibenak saya pada waktu itu adalah berserah kepada Tuhan. 

Saya dan mertua mencoba mencari dokter dengan naik sepeda. Tapi tidak ada yang ketemu, taksi yamg lewat di jalan raya pun tidak ada. Lalu mertua saya mengajak saya ke rumah salah seorang pendeta. Kebetulan sekali pendetanya sedang di rumah. Mertua saya mengajak pendeta untuk mendoakan isteri saya agar bisa melahirkan. Kalau berpikir secara manusiawi, apa mungkin seorang pendeta bisa menolong orang melahirkan ? Tapi, karena tekad saya sudah bulat, saya dan mertua jalan duluan ke klinik kemudian disusul oleh pak pendeta dan isteri serta salah seorang pengerjanya.

Pukul 02.00 dini hari, kami sepakat berdoa dan saling bergandengan tangan. Kami berdoa dengan sungguh-sungguh dan ketika pak pendeta mengatakan "Amin" isteri saya mulai kontraksi dan bidan yang menolong segera mengambil alih kendali. Tepat pukul 02.10 anak saya lahir dengan selamat, dan ternyata anak kami yang pertama lahir kondisi lehernya terlilit tali pusat. Anak kami ini sekarang tumbuh semakin dewasa dan cantik. Isteri saya menjadi ibu yang tangguh dan bisa melewati masa sulit saat melahirkan. 

Untuk anak kami yang kedua, jaraknya dengan yang pertama 2,5 tahun. Ini semua sudah kami rencanakan sejak jauh-jauh hari agar jeda masa melahirkan tidak terlalu dekat. Ini juga atas saran dokter kandungan tempat kami biasa konsultasi. Anak kami yang kedua lahir cesar dengan berat 4 kg dan sekarang bertumbuh semakin dewasa, sudah duduk di bangku SMP kelas 2. 

Sepanjang perjalanan kehidupan pernikahan kami selama 16 tahun, ada suka dan duka yang dilalui. Ada banyak tantangan dan godaan yang datang baik dari dalam lingkungan keluarga maupun dari luar. Tapi karena sudah komitmen awal untuk bersama-sama mengawal pertumbuhan anak kami sampai mereka mencapai apa yang mereka  cita-citakan.

Hari-hari belakangan ini tugas kami semakin berat karena anak kami sudah menginjak usia remaja. Kami mengajar mereka tentang banyak hal termasuk pada rencana-rencana mereka ke depan. Kami ingin mereka bisa meraih masa depan yang cemerlang, karena apa yang mereka raih nantinya adalah bagian dari kerja keras dan perwujudan dari rencana kami sejak awal.

Pertanyaan dari orang-orang yang mengatakan "Nggak nambah lagi ? Kan belum ada anak laki-lakinya ? Biar ada yang bawa marga ? Satu sisi pertanyaan ini kami tidak menolaknya. Tapi karena kami sudah punya perencanaan yang matang sejak awal, kami tetap mempertahankan dua anak sudah cukup. Kami tak mempermasalahkan laki-laki atau perempuan, yang paling penting adalah kami bertanggungjawab untuk menafkahi mereka sampai mereka benar-benar bisa mandiri dan mengikuti jejak kami menikah di usia ideal demi untuk meraih masa depan yang cemerlang.

Menikah di usia ideal akan membuat pasangan lebih matang dalam mempersiapkan segala sesuatunya di kemudian hari. Kemudian, memutuskan menikah di usia ideal juga sangat menentukan apakah si calon isteri benar-benar sudah siap untuk menjadi ibu dari anak-anak yang akan dilahirkan kelak. 

Anak kami bertumbuh semakin dewasa
Anak kami bertumbuh semakin dewasa
Facebook : jamesppardede

twitter : @jamespardede

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun