Mohon tunggu...
James P Pardede
James P Pardede Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Menulis itu sangat menyenangkan...dengan menulis ada banyak hal yang bisa kita bagikan.Mulai dari masalah sosial, pendidikan dan masalah lainnya yang bisa memberi pencerahan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengungsi Sinabung Jangan Dijadikan Lahan Cari Untung, ya Bung !

22 Januari 2014   20:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:34 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_307604" align="aligncenter" width="680" caption="Gunung Sinabung"][/caption] Berbaur dengan pengungsi letusan Gunung Sinabung, ada banyak cerita yang terlontar dari mereka. Ada yang bercerita tentang kesedihannya, karena ladang jeruk yang diperkirakan siap dipanen terpaksa dibiarkan begitu saja karena telah tertutup debu vulkanik. Ada juga cerita petani sayur kol yang terpaksa curi-curi harus memanen ladangnya walaupun terkena dampak debu vulkanik. Paling tidak, dengan panen sayur kol yang ada diladangnya masih bisa menutupi kebutuhan uang kuliah dan uang sekolah anak-anaknya. Sayur kol yang tadinya terkena debu vulkanik, tekstur dan kulitnyanya masih bisa dikelupas beberapa kali, maka sayur yang dipanen tadi siap untuk dijual. Ada juga cerita sedih dari seorang ibu Boru Sembiring yang sehari-hari berladang, terpaksa ikut mengungsi dan membiarkan ladangnya terbengkalai. Padahal, anak sulungnya yang kuliah di fakultas kedokteran salah satu universitas di Medan harus membayar uang kuliah sampai puluhan juga agar bisa ikut ujian semester. Lantas, ibu Sembiring tadi terpaksa meluangkan waktu untuk datang ke kampus anaknya untuk menghadap Rektor dan Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan memohon agar diberikan keringanan bagi anaknya. Pihak universitas ternyata masih berbaik hati dan memberikan keringanan agar tidak memberlakukan denda kepada mahasiswa yang terkena dampak letusan Sinabung. Mahasiswa yang keluarganya ikut mengungsi tetap bisa ikut ujian dan diberikan keringanan dalam pembayaran uang kuliah. Ketika berada di Desa Perteguhen, saya semakin terenyuh ketika seorang ibu dan anaknya memandang jauh ke arah kaki Gunung Sinabung. Si anak membawa teropong dan mencoba mencari-cari dimana kira-kira posisi rumah mereka yang telah tertutup debu vulkanik. "Ma, rumah kita yang mana ya ? Soalnya semua rumah yang aku lihat warna atapnya sama," tanya anaknya. Sang ibu hanya bisa tersenyum, walaupun sesungguhnya senyum itu dipaksakan. "Berdoalah, nak. Mudah-mudahan rumah kita masih bisa kita gunakan nanti," kata ibunya. Keluhan pengungsi lainnya adalah sulitnya mereka mendapatkan air bersih, kamar mandi (toilet) dan tempat tidur yang layak. Berbicara tentang toilet, bayangkan yang tinggal di pengungsian jumlahnya ratusan sampai ribuan sementara fasilitas kamar mandi yang ada hanya 3 ampai 5 unit. Seorang teman bercerita ketika mengunjungi salah satu kamp pengungsi, saat melewati toilet, teman tadi tak bisa menyembunyikan apa yang dilihatnya. Toiletnya sangat jorok dan tercium bau pesing. Teringat dengan kondisi toilet tadi, teman-teman banyak yang menunda makannya karena takut kekenyangan dan harus buang air besar (BAB) atau berurusan dengan toilet jorok tadi. Menjadi pengungsi itu tidak ada enaknya, tapi apa daya yang namanya bencana dan fenomena alam terpaksa harus ikut mengungsi. Pengungsi pun banyak yang mengeluh masalah makanan serta kecukupan pasokan makanan terutama untuk anak-anak. Sementara dapur umum memasak makanan semuanya diperuntukkan untuk orang dewasa. Cerita paling mengharukan adalah, ketika ada bantuan dari donatur atau organisasi tertentu. Apalagi bantuan yang diberikan berupa uang dan lauk pauk seperti ikan atau ayam. Banyak dari bantuan tersebut tidak sampai ke pengungsi. Tak perlu menutup-nutupi kenyataan yang ada di lapangan. Ada banyak oknum yang mencoba mengeruk keuntungan saat orang lain tertimpa musibah. Seorang pengungsi bercerita, bahwa beberapa waktu lalu ada donatur yang menyumbangkan ayam goreng untuk lauk pauk korban pengungsi. Akan tetapi, ayam goreng tersebut menghilang entah kemana dan disembunyikan oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Berdasarkan pengalaman di beberapa lokasi pengungsian, donatur yang hendak menyerahkan bantuan sebaiknya langsung diserahkan kepada objek atau korban pengungsi yang telah menunjuk seseorang menjadi koordinator. Kalau diserahkan ke perantara, ada kemungkinan bantuan yang diserahkan dipotong ditengah jalan atau tidak sampai sama sekali. Apabila bantuan yang diberikan berupa makanan basah atau makanan yang tidak bisa disimpan beberapa jam, sebaiknya donatur yang menyerahkan bantuan langsung membagikan makanan tersebut kepada pengungsi, jangan diserahkan ke orang lain begitu saja. Kita pasti akan lebih puas ketika memberikan bantuan, semua pengungsi yang ada di kamp tersebut benar-benar ikut merasakan apa yang kita berikan. Pengungsi letusan Gunung Sinabung jumlahnya tidak sedikit. Selain harus meninggalkan rumah tempat tinggal mereka dan berbaur dengan ratusan pengungsi lainnya di satu tempat, pengungsi juga kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan karena ladangnya telah tertutup debu vulkanik. Penyakit kulit, inspeksi saluran pernafasan, demam dan penyakit lainnya siap menghadang di depan. Jangan jadikan pengungsi sebagai ajang untuk mendapatkan keuntungan sesaat. Ingat Bung ! Pengungsi juga manusia yang butuh makanan layak dan tempat pengungsian yang layak.

139039691956481524
139039691956481524

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun