Mohon tunggu...
James Bono
James Bono Mohon Tunggu... -

“Never be afraid to raise your voice for honesty and truth and compassion against injustice and lying and greed. If people all over the world...would do this, it would change the earth.” ― William Faulkner

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Netralitas Intelijen dan Pemilu 2014

29 Januari 2014   14:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21 2953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_308940" align="aligncenter" width="421" caption="Pentingnya Netralitas Intelijen Pada Pemilu 2014 - IndoCarricature Flickr"][/caption]

"Intelijen tidak akan dapat hidup dengan politisasi akan tetapi para pembuat kebijakan (policy) tidak dapat hidup tanpa intelijen" Profesor Richard Betts

Akhir 2013, kita disuguhkan oleh sebuah perdebatan yang cukup panjang dan menyita banyak perhatian masyarakat luas tentang keterlibatan salah satu institusi intelijen yang menangani masalah intelijen dan pengamanan informasi yaitu Lemsaneg dalam proses pengamanan data pemilu. MoU kerja sama antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) menjadi isu yang menuai kontroversial. Awalnya, kesepakatan kerjasama antara kedua institusi ini dimaksudkan untuk melakukan pengamanan data KPU menjelang Pemilu 2014 yang dianggap rentan dan rawan. Salah satu potensi kerawanan dan ancaman terbesar kegagalan Pemilu adalah “Jaminan Keamanan Data dan Informasi” yang terkait dengan Pemilu tidak terjaga.

Ancaman secara nyata yang bisa terjadi dalam sistem data dan informasi Pemilu dapat berupa: Manipulasi Data Pemilih Tetap (DPT); Modifikasi data hasil Pemilu pada Pusat data KPU, maupun transaksi data dari daerah ke pusat; Peretasan dan modifikasi data hasil Pemilu pada Website KPU; serta Perusakan Sistem Informasi KPU. Untuk mengantisipasi terjadinya manipulasi data terhadap hasil Pemilu yang berada di bank data KPU maka diperlukan tahapan-tahapan pengamanan data berupa: IT Security Assessment terhadap jaringan dan data center KPU dan Penambahan pengamanan baik hardware maupun software buatan Lemsaneg. Akan tetapi, hal ini banyak tidak disetujui oleh bebagai kalangan, baik itu partai politik, pengamat politik, Non-Govermental Organization (NGO) dan sebagainya. Penolakan ini berangkat dari ketakutan berbagai kalangan akan terjadinya manipulasi data yang dilakukan oleh Lemsaneg untuk memenangkan salah satu partai politik pemerintah yang berkuasa.

Fenomena ini seakan menunjukkan sebuah potensi kerawanan terhadap politisasi terhadap lembaga intelijen yang bergerak pada bidang intelijen dan pengamanan informasi yaitu Lemsaneg. Melalui perebatan yang cukup panjang dalam Rapat Dengar Pendapat yang dilakukan oleh DPR RI, maka kesepakatan antara KPU dan Lemsaneg ini akhirnya dibatalkan. Politisasi terhadap institusi intelijen memang merupakan sebuah keniscayaan. Bahkan banyak kalangan yang menganggap dinas intelijen merupakan alat yang sangat efektif untuk menjaga dan melanggengkan pemerintah yang berkuasa.

Setidaknya, pengalaman selama orde baru dibawah pimpinan presiden Suharto telah mempertontonkan sebuah dinas yang seharusnya memberikan dan menjamin rasa aman justru menjadi alat negara yang paling menakutkan bagi masyarakat. Sepanjang era kekuasaan orde baru yang telah melewati sedikitnya 6 kali pemilihan umum sejak tahun 1971-1997 memperlihatkan “efektifitas” intelijen dalam merancang dan merekayasa kemenangan partai politik pemerintah yang berkuasa dibawah pimpinan Suharto pada saat itu. Periode intelijen ’hitam’ secara eksplisit dijalankan untuk menghadapi ancaman yang ditujukan terhadap penguasa politik. Fokus dari kegiatan intelijen pada saat itu ditujukan untuk menghancurkan komunisme di Indonesia.

Dengan justifikasi tersebut operasi dalam skala besar dijalankan. Hal ini berlanjut selama tiga puluh tahun dimana kegiatan intelijen yang menjustifikasi pelanggaran HAM tersebut lebih ditujukan untuk mengatasi ancaman yang datang dari dalam negeri. Pada periode Orde Baru ini terbentuk tipe interaksi Negara Intelijen. Dinas-dinas intelijen mengalami politisasi dan militerisasi sehingga dapat secara efektif melakukan intervensi politik yang secara sistematik masuk ke setiap lini kehidupan bernegara. Dengan menggunakan jargon stabilitas nasional, aktivitas intelijen ditujukan untuk menciptakan kontrol atas kebebasan sipil warga negara melalui aksi-aksi yang dikondisikan seperti intelijen dimasa perang. Peran Badan Koordinasi Intelijen (Bakin) dan Operasi Khusus (Opsus) memainkan peran yang sangat penting. Setelah berhasil membubarkan dan membungkam PKI, orde baru memastikan kelanjutan kekuasaan politiknya dengan membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan dilanjutkan dengan Badan Koordinasi dan Stabilsasi Nasional yang bersifat extra-constitutional yang tujuan resminya tidak lain sebagai konsolidasi kekuatan untuk melawan musuh-musuh partai pemerintah yang berkuasa. Dengan jaringan intelijen yang sangat kuat, peran intelijen benar-benar amat besar dalam membentuk kepatuhan sipil atas nama stabilitas politik dan keamanan.

Partai-partai politik kecuali partai penguasa dikerdilkan, dan kebebasan individu dinihilkan. Alhasil, melalui politisasi dinas intelijen, orde baru berhasil melanggengkan kekuasaannya selama kurang lebih 32 tahun dengan hanya memunculkan satu partai yang secara mutlak 6 kali memenangi Pemilu. Kejadian semacam ini dalam suatu negara memang bukanlah hal yang baru. Skandal Watergate dimasa Presiden Nixon yang menjadikan dirinya menjadi satu-satunya presiden AS yang mengundurkan diri, konspirasi penangguhan pembebasan sandera staf kedutaan AS di Iran sekitar tahun 1980-an berakibat kekalahan Presiden Jimmy Carter dalam pemilihan keduanya, dan invasi AS ke Irak dengan dalih kepemilikan senjata pemusnah massal adalah salah satu bagian dari sejarah politisasi terhadap institusi intelijen. Politisasi intelijen dapat berupa pendistorsian laporan intlijen atau rekayasa sebuah produk akhir intelijen dengan maksud untuk mendukung preferensi politik user (presiden).

Politisasi dinas intelijen dapat terjadi karena tekanan dari atas, hal ini sulit dihindari mengingat hampir semua negara kepala intelijennya dipilih langsung oleh presiden, apalagi kepala intelijen bertanggungjawab langsung kepada presiden. Politisasi intelijen juga dapat terjadi dari bawah, ketika para analis intelijen dengan sengaja membuat produk akhir intelijen yang sesuai dengan keinginan user untuk tujuan-tujuan yang sifatnya lebih pribadi. Pada titik ini objektivitas dari produk intelijen diragukan dan dipertanyakan. Idealnya, intelijen harus melayani policy dengan menyediakan informasi dan analisis yang dibutuhkan untuk membuat penilaian informasi dan keputusan kepada pembuat kebijakan politik, tetapi harus didorong oleh bukti dan bukan oleh preferensi kebijakan para pemimpin politik.

Para sarjana umumnya setuju, misalnya, bahwa tekanan dari atas untuk menyesuaikan produk intelijen agar sesuai dengan preferensi kebijakan para pemimpin politik merupakan ‘politisasi’ (politicization). Sejumlah ilmuwan politik percaya bahwa politisasi selalu ada antara pembuat kebijakan dan komunitas intelijen. Profesor Richard Betts memberikan dasar pemikiran tentang masalah ini. Dia beralasan bahwa resiko terbesar dari politisasi intelijen berasal dari ketidakmampuan untuk mempertahankan batas antara dua alam (intelijen dan politik). Betts menyatakan bahwa "intelijen tidak akan dapat hidup dengan politisasi akan tetapi para pembuat kebijakan (policy) tidak dapat hidup tanpa intelijen."

Beranjak dari MoU yang dilakukan oleh Lemsaneg dan KPU, ketakutan terhadap politisasi intelijen memang tidak bisa dihindari dalam menghadapi Pemilu ditahun ini. Banyak kalangan berharap dinas intelijen Indonesia tetap berada pada profesionalismenya sebagai sebuah lembaga yang berfungsi menjaga dan menjamin rasa aman masyarakat sekaligus menjaga netralitasnya dalam pemilu dan menjauhi dunia politik. Tentu kita berharap pengalaman politisasi intelijen di zaman Orde Baru tidak terulang dalam Pemilu 2014 di era reformasi ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun