Mohon tunggu...
Jamesallan Rarung
Jamesallan Rarung Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Kampung dan Anak Kampung

Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan Magister Manajemen Sumber Daya Manusia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sejarah Panjang Profesi Bidan di Indonesia

6 Mei 2017   00:34 Diperbarui: 6 Mei 2017   07:53 13563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Hari Bidan se-Dunia (International Day of the Midwife, IDM ), pertama kali diadakan pada tanggal 5 Mei 1991 dan sampai saat ini telah dirayakan oleh lebih dari 100 negara anggota "International Confederation of Midwife" (ICM atau Konfederasi Bidan se-Dunia). Peringatan Hari Bidan se-Dunia tersebut diadakan untuk menghormati jasa para bidan yang pada tahun 1987 mengadakan "International Confederation of Midwives Conference" di Belanda. Adapun ide untuk membentuk organisasi bidan internasional dimulai di Belgia pada tahun 1919, ketika itu banyak asosiasi kebidanan nasional di berbagai negara yang kemudian membentuk Uni Bidan Internasional, yang mengadakan Kongres Internasional Pertama pada tahun 1922. Pada waktu itu hanya diwakili oleh negara-negara di Eropa saja. Pertemuan selanjutnya diadakan berturut-turut pada tahun 1932, 1934, 1936 dan 1938. Meskipun selama perang banyak catatan organisasi yang hilang, namun laporan tentang diadakannya kongres-kongres tersebut masih dapat diselamatkan.

Saat kongres-kongres tersebut para pemrakarsa menawarkan gagasan yang menarik dalam masalah yang dihadapi oleh para bidan dalam konteks tahun 1930-an. Diantaranya adalah meningkatnya pengangguran masal, kemiskinan di perkotaan dan pedesaan dan gizi buruk, bangkitnya fasisme dan belakangan tentang adanya kemungkinan perang yang akan datang.

Berbasis di Perancis setelah perang dunia kedua, disepakati pada tahun 1953 diadakan "World Congress" bidan pertama, yang berlangsung di London pada tahun 1954. Pada Kongres tersebut disepakatilah nama baru organisasi yaitu "International Confederation of Midwife" (ICM) serta AD/ART baru. Sekretariat ICM disepakati pada "Royal College of Midwives" (RCM) yang berkantor pusat di London. Presiden RCM, Nora Deane, kemudian terpilih sebagai Presiden ICM pertama dan Marjorie Bayes terpilih sebagai Sekretaris Eksekutif, yang dijabatnya sampai tahun 1975.

Di Indonesia sendiri setiap tanggal 24 Juni diperingati pula sebagai Hari Bidan Nasional. Sejarah lahirnya Hari Bidan Indonesia ini diawali dari Konferensi Bidan Pertama di Jakarta pada tanggal 24 Juni 1951 atas prakarsa para bidan senior yang berdomisili di Jakarta. Dalam sejarah bidan Indonesia juga menyebutkan bahwa tanggal 24 Juni 1951 dipandang sebagai hari lahirnya Ikatan Bidan Indonesia (IBI). Konferensi bidan pertama tersebut telah berhasil meletakkan landasan yang kuat serta arah yang benar bagi perjuangan bidan selanjutnya, yaitu mendirikan sebuah organisasi profesi bernama Ikatan Bidan Indonesia (IBI), yang berbentuk kesatuan, bersifat Nasional, berazaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pada konferensi IBI saat itu juga dirumuskan tujuan IBI, yaitu:
a. Menggalang persatuan dan persaudaraan antar sesama bidan serta kaum wanita pada umumnya, dalam rangka memperkokoh persatuan bangsa.
b. Membina pengetahuan dan keterampilan anggota dalam profesi kebidanan, khususnya dalam pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) serta kesejahteraan keluarga.
c. Membantu pemerintah dalam pembangunan nasional, terutama dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
d. Meningkatkan martabat dan kedudukan bidan dalam masyarakat.

Dengan landasan dan arah tersebut, dari tahun ke tahun IBI terus berkembang dengan hasil-hasil perjuangannya yang semakin nyata dan telah dapat dirasakan manfaatnya baik oleh masyarakat maupun pemerintah Indonesia sendiri.

Adapun sejarah panjang pendidikan bidan di Indonesia dimulai pada tahun 1851. Pendidikan bidan saat itu adalah masa penjajahan Belanda. Seorang dokter militer Belanda, Dr. W. Bosch membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnya peserta didik dikarenakan adanya larangan bagi wanita untuk keluar rumah. Kemudian pada tahun 1902 pendidikan bidan dibuka kembali bagi wanita pribumi di Rumah Sakit militer di Batavia serta tahun 1904 pendidikan bidan bagi wanita Indo dibuka di Makasar. Lulusan dari pendidikan ini harus bersedia ditempatkan dimana saja tenaganya dibutuhkan dan mau menolong msyarakat yang tidak atau kurang mampu secara cuma-cuma. Lulusan ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-25 Gulden per bulan. Yang kemudian dinaikkan menjadi 40 Gulden perbulan pada tahun 1922.

Adapun juga pada tahun 1911/1912, dimulai pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di CBZ (RSUP) Semarang dan Batavia. Calon yang diterima adalah dari HIS (pendidikan setara SD saat ini) dengan pendidikan keperawatan selama 4 tahun dan pada awalnya hanya menerima peserta didik pria, namun pada tahun 1914 kemudian diterima juga peserta didik wanita pertama. Bagi perawat wanita yang lulus bisa melanjutkan kependidikan bidan selama 2 tahun. Untuk perawat pria dapat meneruskan pendidikan keperawatan lanjutan selama dua tahun juga.

Selanjutnya pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1935 mulai mendidik bidan lulusan Mulo (setingkat SLTP bagian B) dan hampir bersamaan dengan itu dibuka sekolah bidan di beberapa kota besar antara lain: di Jakarta di Rumah Sakit Bersalin Budi Kemulyaan, RSB Palang Dua dan RSB Mardi Waluyo di Semarang. Pada tahun itu juga dikeluarkan peraturan yang membedakan lulusan bidan berdasarkan latar belakang pendidikan. Yaitu:
- Bidan dengan latar pendidikan Mulo dengan lama pendidikan 3 tahun disebut bidan kelas satu.
- Bidan dari lulusan perawat (mantri) disebut bidan kelas dua.
Perbedaan ini sangat berpengaruh dalam hal gaji pokok dan tunjangan bagi bidan.

Pada masa kemerdekaan Indonesia, maka pada tahun 1950-1953 dibuka sekolah bidan dari lulusan SMP dengan batasan usia minimal 17 tahun dengan lama pendidikan 3 tahun. Mengingat tenaga untuk menolong persalinan cukup banyak maka kemudian dibuka lagi pendidikan pembantu bidan disebut Penjenang Kesehatan E (PK/E) atau pembantu bidan (Pendidikan ini dilanjutkan sampai tahun 1976 lalu kemudian sekolah itu ditutup). Peserta didik PK/E ini adalah lulusan SMP ditambah 2 tahun kebidanan dasar. Lulusan PK/E kemudian sebagian besar melanjutkan ke pendidikan bidan dengan tambahan waktu selama 2 tahun.

Tahun 1953 dibuka kursus tambahan bidan (KTB) di Yogyakarta. Lamanya kursus tersebut antara 7-12 minggu. Tahun 1960 KTB kemudian dipindahkan ke Jakarta. Tujuan KTB adalah untuk memperkenalkan kepada lulusan bidan mengenai perkembangan program KIA dalam pelayanan kesehatan masyarakat, sebelum lulusan tersebut memulai tugasnya sebagiai bidan, terutama menjadi bidan di BKIA (Tapi kemudian pada tahun 1967 KTB ini ditutup).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun