Saya sebagai salah seorang peserta yang memiliki hak suara dalam Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Medan pada November 2015, juga turut menjadi saksi atas lahirnya keputusan Muktamar yang menolak adanya Dokter Layanan Primer (DLP). Seperti berbagai sidang organisasi, sidang pleno Muktamar tersebut juga tidak terlepas dari perbedaan pendapat. Akan tetapi, ternyata mayoritas peserta dengan aklamasi menyetujui ditolaknya DLP sehingga menjadi keputusan Muktamar.
Sebenarnya apa sih latar belakang ditolaknya konsep DLP dalam ajang pengambilan keputusan tertinggi dari organisasi profesi tertua di republik ini tersebut? Latar belakang utamanya adalah hal ini akan terjadi turbulensi antara DLP dengan dokter umum yang memang dalam konsep pendidikan kedokteran Indonesia, dilatih dan dididik terutama dalam pelayanan di lini primer. Apalagi banyak dokter umum yang telah memiliki kompetensi tambahan dengan berbagai pelatihan resmi untuk memperkuat basis pelayanan di layanan primer, misalnya Dokter Keluarga, Dokter Perusahaan dan Dokter Okupasi, Dokter Penerbangan, dsb.Â
Dasar dari kelompok yang mengajukan tentang adanya (spesialis) DLP adalah akan adanya tambahan pengetahuan tentang 155 penyakit utama di lini layanan primer, sehingga dibutuhkan suatu "spesialisasi" tersendiri. Padahal semua dokter lulusan Fakultas Kedokteran di Indonesia telah dibekali dengan kompetensi dan pengetahuan tentang 144 penyakit tersering di layanan primer, bukankah dengan menambah 11 kompetensi sebagai pelengkap 155 penyakit di lini layanan primer tinggal menambah kurang lebih 11 materi penyakit?
Kita sama-sama mengetahui bahwa dasar 155 penyakit adalah racikan Kementerian Kesehatan, guna memenuhi kebutuhan dokter yang melakukan pelayanan bekerjasama dengan Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Tujuannya memang baik untuk melengkapi pengetahuan sehingga mengurangi tingkat rujukan ke fasilitas kesehatan sekunder atau rumah sakit. Namun, bukankah tidak perlu membuang-buang waktu dan tenaga untuk membentuk "spesialis" DLP. Ini akan menambah waktu dan biaya yang tidak sedikit. Coba bayangkan seorang dokter yang baru lulus sebagai dokter rata-rata memerlukan waktu 7 tahun sampai selesai. Bukankah waktu pendidikan tersebut sudah sangat lama dibandingkan dengan profesi yang lain? Begitu juga kenapa harus dibuat lagi "tambahan sebagai spesialis" DLP, padahal tinggal menambah 11 kompetensi penyakit di layanan primer? Bukankah itu cukup dengan pelatihan yang profesional dan kalau perlu bagi yang lolos seleksi, kemudian dibiayai oleh Pemerintah? Dengan begitu maka waktu dan biaya yang akan dijalani oleh seorang dokter untuk mencapai kemampuan 155 penyakit di layanan primer, tidak menambah berat kehidupan dan pekerjaannya?
Ada yang berdalih bahwa ini adalah suatu pilihan dan bukanlah wajib diikuti oleh semua dokter dan pilihan ini sama dengan dokter lain yang mengambil spesialisasi klinis lainnya (misalnya Spesialis Anak, Kebidanan, Penyakit dalam dan Bedah). Memang benar, jika di lihat dari sudut pandang tersebut. Tetapi hal itu jika pilihan peningkatan kompetensinya berupa misalnya ilmu kedokteran keluarga, kedokteran okupasi, dll. Tetapi jika hal ini adalah dengan memaksakan adanya spesialisasi DLP, maka ini sebenarnya adalah kesalahan dalam menafsirkan materi UU tentang DLP itu sendiri. Dalam UU jika kita baca dengan seksama, maka kita akan menemukan bahwa konsep DLP tersebut bukanlah mengacu pada 1 spesialisasi tersendiri, akan tetapi itu mengandung makna adalah pendidikan tambahan di lini layanan primer. Nah, pengkhususan di layanan primer menurut WHO adalah berbagai kompetensi dokter seperti Dokter Keluarga, Dokter Umum, Dokter Perusahaan bahkan Dokter Spesialis Anak, Penyakit dalam dan Kebidanan Kandungan yang khusus melayani di layanan primer, dll.Â
Saya sependapat jika aplikasi DLP tersebut adalah misalnya pendidikan tambahan sebagai dokter keluarga (Family Medicine), meskipun sebenarnya IDI telah memiliki pelatihan tambahan dan sudah memiliki kolegium untuk dokter keluarga tersebut. Namun, akan menjadi aneh jika dibentuk "spesialis" DLP, karena secara Internasional DLP itu bukanlah suatu spesialis tersendiri, secara global dia di kenal sebagai "Primary Care Physician/ PCP". Dan PCP ini sangat jelas per definisi dan fakta di lapangan adalah berbagai kelompok dokter dengan berbagai kompetensi yang melakukan pelayanan di lini layanan primer. Jadi sangat jelas bahwa DLP ini adalah "lini pelayanan", dimana tentunya diisi oleh berbagai kompetensi seperti yang telah saya sebutkan di atas tadi. Sekali lagi bukanlah 1 spesialisasi tersendiri.
Apapun pendapat dan perbedaan, kita sepakat bahwa penguatan pelayanan kesehatan di lini layanan primer sangatlah dibutuhkan. Akan tetapi meskipun telah banyak kompetensi dokter di layanan primer tersedia, namun sarana dan prasarana terutama obat-obatan dan alat pemeriksaan dan diagnostik penyakit tidak ada atau seringkali habis, maka akan percuma. Oleh karena itu, hal yang paling mendesak sebenarnya bagi Pemerintah adalah memperkuat sarana dan prasarana kesehatan serta memenuhi kebutuhan obat-obatan serta kelengkapan alat-alat kesehatan di layanan primer.
IDI juga hendaknya juga bekerjasama dengan berbagai pihak untuk menunjang pelayanan di lini layanan primer ini. Bisa dengan mengadakan pelatihan dan pendidikan tambahan materi layanan primer. Kalau perlu dilakukan pelatihan gratis dan tentunya dalam hal ini bisa bekerjasama dengan pemerintah dan pihak swasta yang peduli akan masalah ini.
Pada akhirnya, bagi berbagai pihak hendaknya menghormati keputusan IDI ini. Karena apapun yang dilakukan oleh Pengurus Besar (PB) IDI ini adalah semata-mata suatu kewajiban untuk menjalankan Keputusan Muktamar yang merupakan amanah dari seluruh dokter Indonesia.
Marilah kita semua komponen kesehatan di republik tercinta ini, meninggalkan segala perseteruan yang tidak perlu dan malah menghabiskan energi saja. Padahal energi ini sangat kita perlukan untuk bekerja dan bekerja demi kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa dan negara Indonesia tercinta ini.
Â