Mohon tunggu...
Jamesallan Rarung
Jamesallan Rarung Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Kampung dan Anak Kampung

Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan Magister Manajemen Sumber Daya Manusia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

"Jurus Mabuk" Artidjo Alkostar Menghantam Keputusan MK

13 September 2014   08:20 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:49 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Yang jadi pertanyaan utama, "Apakah Hakim Agung Artidjo Alkostar, dkk tidak tahu bahwa pasal 75 ayat 1 dan pasal 76 UU Praktik Kedokteran telah dihapus pasal pidananya oleh Mahkamah Konstitusi (MK)? Menurut saya tidak. Sangat jelas pada kasus Ayu, dkk  beberapa bulan yang lalu pasal-pasal ini sudah diangkat, bahkan jadi salah satu poin utama untuk memperkuat PK Ayu, dkk. Lalu, kenapa muncul putusan baru yang malah terang-terangan dasar hukum putusannya adalah pasal-pasal tersebut?
Sekedar mengingatkan bahwa MK telah menghapus kedua pasal itu pada 19 Juni 2007.
Pasal 76 sebelumnya berbunyi:
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta.
Pasal 79 huruf c sebelumnya berbunyi:
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 50 juta setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
Keputusan MK
"Menyatakan pasal 75 ayat 1 dan pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata "penjara paling lama 3 tahun atau" dan pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata "kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau" serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata "atau huruf e" UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945,"
Putusan MA yang bertentangan dengan keputusan MK di atas terjadi pada kasus dr. Bambang Suprapto, Sp.B, M.Surg. Lima bulan setelah putusan MK itu diketok, dr. Bambang mengoperasi Johanes di RS DKT Madiun atau tepatnya pada 25 Oktober 2007. Dalam perjalanannya pasca operasi Johanes meninggal dunia yang berbuntut tuntutan hukum terhadap dr. Bambang oleh pihak keluarga, dengan dasar tuntutan yaitu tidak adanya surat ijin praktek (SIP) dokter. Sebenarnya saya setuju terhadap dihukumnya dr. Bambang atas tidak adanya SIP pada kasus ini. Akan tetapi hukumannya bukanlah pidana, melainkan denda seperti pasal yang telah dirubah oleh putusan MK.
Apakah Artidjo, dkk tidak mengetahui mengenai pasal 67 UU nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dalam UU nomor 5 tahun 2004 tentang MA, poin "f" yang berkaitan dengan kekhilafan dan kekeliruan hakim. Saya yakin tidak. Setiap hakim pasti mengetahui dan memahami tentang batasan-batasan dalam pengambilan keputusan. Begitu juga, setiap hakim pasti tahu bahwa UU ataupun peraturan yang telah dikoreksi dan diubah oleh MK adalah keputusannya bersifat final dan mengikat sehingga wajib ditaati dan dijalankan.
Namun, kenapa Artidjo, dkk tetap memutus perkara dengan landasan pasal-pasal yang telah dirubah oleh MK. Inilah yang menurut saya adalah "jurus mabuk". Kenapa saya sebut demikian? Karena dengan menggunakan cara ini, Artidjo,dkk bisa melakukan "serangan" sekaligus bisa bertahan dan menghindar dengan alasan "lupa", "tidak tahu", "tidak sadar" dan "khilaf" (itulah jurus mabuknya). Mereka bisa menguji opini masyarakat tentang putusan yang mereka anggap "memihak pada pihak yang lemah", jika ternyata banyak simpati maupun dukungan terhadap putusan mereka, maka nama mereka semakin tenar sebagai "pembela kaum lemah". Namun, dibalik dari hal tersebut dapat juga secara tidak langsung "menyerang" legitimasi putusan MK, sehingga akan membawa pengaruh delegitimasi putusan-putusan MK yang sudah ada maupun yang akan datang. Itulah manajemen konflik yang mereka terapkan dalam kasus ini. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu ternyata opini tidak mendukung mereka, maka mereka bisa mundur dengan alasan seperti yang telah saya sebutkan di atas. Ini merupakan suatu langkah yang jenius sekaligus menakutkan. Kenapa? Karena merongrong pilar-pilar hukum itu sendiri yang dapat menyebabkan ketidakpastian hukum.
Semoga opini masyarakat kita akan berpihak pada kebenaran dan keadilan, termasuk para akademisi dan praktisi hukum. Tak ada aturan yang sempurna, tapi aturan yang terus menerus dievaluasi dan diperbaiki akan mengarah pada kesempurnaan. Semoga Tuhan akan selalu memberkati rakyat dan bangsa Indonesia tercinta kita ini.
James Allan Rarung
Aktivis Dokter Indonesia Bersatu (DIB)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun