Mohon tunggu...
Jamesallan Rarung
Jamesallan Rarung Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Kampung dan Anak Kampung

Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan Magister Manajemen Sumber Daya Manusia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sejarah Panjang Profesi Bidan di Indonesia

6 Mei 2017   00:34 Diperbarui: 6 Mei 2017   07:53 13563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru perawat dan perawat kesehatan masyarakat dibuka di Bandung pada tahun 1954. Pada awalnya pendidikan ini hanya berlangsung satu tahun, akan tetapi kemudian menjadi 2 tahun dan terakhir berkembang menjadi 3 tahun. Pada awal tahun 1972, institusi pendidikan ini lalu dilebur menjadi Sekolah Guru Perawat (SGP). Pendidikan ini menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan sekolah bidan.

Pada tahun 1970 dibuka program pendidikan bidan yang menerima lulusan dari sekolah pengatur rawat (SPR) dengan tambahan pendidikan 2 tahun yang disebut Sekolah Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan (SPLJK), akan tetapi pendidikan ini tidaklah dilaksanakan merata di seluruh provinsi di Indonesia

Selanjutnya mengingat jenis tenaga kesehatan menengah dan bawah sangat banyak (24 katergori), maka pada tahun 1974, Depkes R.I. kemudian melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan non-sarjana. Sekolah bidan pun ditutup dan dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengan tujuan adanya tenaga "multi purpose" di lapangan, dimana salah satu tugasnya adalah menolong persalinan normal. Namun karena adanya perbedaan falsafah dan kurikulum, terutama yang berkaitan dengan kemampuan seorang bidan, maka tujuan pemerintah agar SPK dapat menolong perasalinan tidak tercapai atau terbukti tidak berhasil. Dalam periode tahun 1975-1984 ini institusi pendidikan bidan ditutup, sehingga dalam 10 tahun Indonesia tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi profesi bidan (IBI) tetap ada dan terus berkembang. Sempat pada tahun 1981 dibuka pendidikan diploma I Kesehatan Ibu dan Anak, namun pendidikan ini hanya berlangsung 1 tahun serta saat itu tidak diberlakukan oleh seluruh institusi pendidikan.

Titik terang pendidikan bidan pun terbit kembali. Pada tahun 1985 dibuka lagi Program Pendidikan Bidan (PPB) yang menerima lulusan dari SPR dan SPK. Pada saat itu dibutuhkan bidan yang memiliki kewenangan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana di masyarakat. Lama pendidikannya 1 tahun dan lulusannya dikembalikan kepada institusi yang mengirimkan. Selanjutnya pada tahun 1989 dibuka "crash" program pendidikan bidan secara nasional yang memperbolehkan lulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan. Program ini dikenal sebagai program pendidikan bidan A (PPB/A), lama pendidikannya 1 tahun dan lulusannya kemudian ditempatkan di desa-desa, dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan terhadap ibu dan anak di daerah pedesaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menurunkan angka kematian ibu dan anak. Untuk itu pemerintah menempatkan bidan di setiap desa sebagai PNS golongan II. Lalu pada tahun 1996 mulailah era status bidan di desa sebagai pegawai tidak tetap (bidan PTT) dengan kontrak selama 3 tahun dengan pemerintah, yang kemudian dapat diperpanjang sampai dua kali tiga tahun.

Penempatan bidan ini menyebabkan orientasi sebagai tenaga kesehatan berubah. Bidan harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya dan tidak hanya dibekali dengan kemampuan klinik sebagai bidan, tetapi juga kemampuan untuk berkomunikasi, konseling dan kemampuan untuk menggerakkan masyarakat desa dalam meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak. Program Pendidikan Bidan (A) diselenggarakan dengan peserta didik yang cukup besar. Sehingga diharapkan pada tahun 1996 sebagian besar desa sudah memiliki minimal seorang bidan. Namun, lulusan pendidikan ini kenyataannya juga tidak memiliki kemampuan dan keterampilan yang diharapkan dari seorang bidan profesional, karena pendidikannya yang terlalu singkat dan jumlah peserta didik terlalu besar dalam kurun waktu satu tahun akademik, sehingga kesempatan peserta didik untuk praktik klinik kebidanan sangatlah kurang, sehingga tingkat kemampuan yang dimiliki seorang bidan juga ikut berkurang.

Pada tahun 1993, dibuka Program Pendidikan Bidan B (PPB/B) yang peserta didiknya adalah lulusan AKPER dengan lama pendidkan 1 tahun. Tujuan pendidikan ini adalah untuk mempersiapkan tenaga pengajar pada PPB A. Akan tetapi berdasarkan penelitian terhadap kemampuan klinik kebidanan dari lulusan ini, juga tidak menunjukkan kompetensi yang diharapkan karena lama pendidikan yang juga hanya 1 tahun. Sehingga pendidikan ini hanya berlangsung sebanyak 2 angkatan (1995 dan 1996), lalu kemudian ditutup. Pada tahun 1993 tersebut juga dibuka Program Pendidikan Bidan C (PPB/C) yang menerima peserta didik dari lulusan SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 provinsi yaitu: Aceh, Bengkulu, Lampung, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya. Pendidikan ini memerlukan kurikulum 3700 jam dan dapat diselesaikan dalam 6 semester.

Selain pendidikan bidan diatas, juga sejak tahun 1994-1995 pemerintah menyelenggarakan uji coba pendidkan bidan jarak jauh ("Distance Learning") di tiga provinsi yaitu Jawa barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebijakan ini dilakukan untuk memperluas cakupan upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Pengaturan penyelenggaraan ini diatur dalam SK Menkes No. 1247/Menkes/SK/XII/1994. Diklat Jarak Jauh (DJJ) bidan ini adalah ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan bidan agar mampu melaksanakan tugasnya dan diharapkan berdampak pada penurunan AKI dan AKB. DJJ bidan dilaksanakan dengan menggunakan modul sebanyak 22 buah. Adapun pendidikan ini dikoordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan dilaksanakan oleh Bapelkes di tingkat propinsi. Periode pelaksanaannya adalah:
- DJJ I (1995-1996) dilaksanakan di 15 propinsi
- DJJ II (1996-1997) dilaksanakan di 16 propinsi
- DJJ III (1997-1998) dilaksanakan di 26 propinsi
(Secara komulatif dari tahap I-III diikuti oleh 6.306 dan 3.439 (55%) peserta dinyatakan lulus)
- DJJ tahap IV (1998-1999) dilaksanakan di 26 propinsi dengan jumlah setiap propinsinya adalah 60 orang kecuali Maluku, Irian Jaya dan Sulawesi Tengah masing-masing hanya 40 orang dan propinsi Jambi 50 orang.

Selain pelatihan DJJ, pada tahun 1994 juga dilaksanakan pelatihan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal (LSS; "Life Saving Skill") dengan materi pembelajaran berbentuk 10 modul. Pada tahun 1996 IBI bekerjasama dengan Depkes dan "American College of Nursing Midwife" (ACNM) dan Rumah Sakit swasta mengadakan "training of trainer" (ToT) kepada anggota IBI sebanyak 8 orang untuk LSS yang kemudian menjadi tim pelatih inti LSS di PP IBI. Tim pelatih LSS ini kemudian mengadakan ToT dan pelatihan baik untuk bidan di desa maupun bidan praktek swasta. Pelathan praktek ini dilaksanakan di 14 propinsi dan selanjutnya melatih secara swadaya, begitu juga guru atau dosen dari D3 kebidanan.

Kemudian pada tahun 1995-1998
IBI bekerja sama langsung dengan "Mother Care" melakukan pelatihan dan "peer review" bagi bidan RS, bidan Puskesmas, dan bidan di desa di propinsi Kalimantan selatan. Pada tahun 2000 telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang dikoordinasikan oleh "Maternal Neonatal Health" (MNH) yang sampai saat ini telah melatih APN di beberapa propinsi/kabupaten. Pelatihan LSS dan APN tidak hanya untuk pelatihan pelayanan, tetapi juga melatih guru dan dosen-dosen dari Akademi Kebidanan.

Selain melalui pendidikan formal dan pelatihan, untuk meningkatkan kualitas pelayanan juga diadakan seminar dan lokakarya organisasi ("Organization Development", OD) yang dilaksanakan setiap tahun sebanyak 2 kali mulai tahun 1996 sampai dengan 2000 dengan biaya dari UNICEF.

Dalam sejarah Bidan Indonesia menyebutkan bahwa tanggal 24 Juni 1951 dipandang sebagai hari jadi IBI. Pengukuhan hari lahirnya IBI tersebut didasarkan atas hasil konferensi bidan pertama yang diselenggarakan di Jakarta 24 Juni 1951, yang merupakan prakarsa bidan-bidan senior yang berdomisili di Jakarta.
Konferensi bidan pertama tersebut telah berhasil meletakkan landasan yang kuat serta arah yang benar bagi perjuangan bidan selanjutnya, yaitu mendirikan sebuah organisasi profesi bernama Ikatan Bidan Indonesia (IBI), berbentuk kesatuan, bersifat Nasional, berazaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pada konferensi IBI tersebut juga dirumuskan tujuan IBI, yaitu:
a. Menggalang persatuan dan persaudaraan antar sesama bidan serta kaum wanita pada umumnya, dalam rangka memperkokoh persatuan bangsa.
b. Membina pengetahuan dan keterampilan anggota dalam profesi kebidanan, khususnya dalam pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) serta kesejahteraan keluarga.
c. Membantu pemerintah dalam pembangunan nasional, terutama dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
d. Meningkatkan martabat dan kedudukan bidan dalam masyarakat.
Dengan landasan dan arah tersebut, dari tahun ke tahun IBI terus berkembang dengan hasil-hasil perjuangannya yang semakin nyata dan telah dapat dirasakan manfaatnya baik oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun