Hoaks dapat kita artikan secara singkat sebagai berita bohong. Tujuan seseorang membuat dan menyebarkan hoaks bisa jadi untuk lelucon, satire, ataupun untuk tujuan politis, seperti menggiring opini masyarakat terutama di masa sekitar pemilu. Hampir setiap pemilu ada hoaks yang dihembuskan antarcalon. Fenomena ini pun terjadi pada pemilu 2019 ini. Beberapa isu yang sangat lekat dihembuskan adalah isu pki, pelarangan azan, hingga yang ada akhir akhir ini adalah isu kecurangan KPU. Â
Di ajang pemilu, tentunya setiap calon berlomba lomba untuk terpilih, oleh karena itu banyak jalur yang ditempuh, salah satunya adalah dengan cara menyerang lawannya. Bagi beberapa pihak hal ini akan terlihat sangat licik, tapi harus diakui bahwa ini adalah cara yang paling efektif untuk menggiring opini masyarakat. Bagaimanapun, menyebarkan hoaks untuk menggiring opini bukanlah cara yang benar.
Berbagai pihak sudah berusaha untuk menekan keluarnya hoaks di masyarakat. Kominfo sudah setiap bulannya mempublish tentang hoaks di bulan itu, sempat juga ada Deklarasi Pemilu Damai yang mencakup pemilu tanpa hoaks, dan banyak pihak lain yang menginginkan pemilu ini bebas hoaks. Yang jadi pertanyaan adalah mungkinkah terjadi pemilu tanpa hoaks di Indonesia?
Kita Bisa Saja Menggembor-gemborkan Pemilu Tanpa Hoaks, tapi Tidak Bisa Menghilangkan Hoaks
Jika kita melihat fenomena hoaks di Indonesia dan membandingkan dengan di luar negeri kita bisa menyimpulkan bahwa fenomena ini terjadi cukup parah di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh minimnya literasi di Indonesia. Masyarakat yang sudah bisa membedakan hoaks atau tidak, tentunya tau bahwa cara menentukan apakah suatu berita adalah hoaks adalah membaca dari berbagai sumber. Banyak dari masyarakat kita tidak mau membaca dari berbagai sumber dan justru mencari berita dari sumber lain yang memperkuat hoaks itu.
Sebagai contoh, ada berita kecurangan pemilu, lalu ada media A,B,C,D,E,F yang memberitakan berita tersebut. Media A,B,C memberitakan bahwa hal itu hoaks, sedangkan D,E,F memberitakan bahwa itu nyata. Pada akhirnya, fakta menyatakan bahwa berita kecurangan pemilu itu adalah hoaks. Seseorang yang cenderung termakan berita bahwa kecurangan itu nyata dari media D, bukannya mencari referensi untuk mencari bahwa berita kecurangan itu hoaks, justru berusaha mencari pembenaran dengan membawa-bawa sumber dari media E dan F. Lalu setelah ada yang mengingatkan dan menjelaskan dengan membawa sumber A,B,C orang itu justru tetap bersikukuh dan mengatakan sumber A,B,C itu tidak dapat dipercaya padahal sudah jelas sumber A,B,C mengeluarkan berita yang benar. Intinya adalah tidak mau menerima fakta dan justru mencari pembenaran melalui sumber yang mendukung hoaks tersebut. Hal-hal demikian membuat tersebarnya hoaks tidak dapat berhenti dengan mudah. Selama masih ada orang yang mempunyai cara pikir yang seperti itu, pemilu di Indonesia tidak akan pernah bebas hoaks. Belum lagi untuk menyadarkan pembuat hoaks nya sendiri bukan?
Masih diperlukan berpuluh-puluh tahun lagi untuk menciptakan pemilu yang bersih dari hoaks, tapi kita bisa mulai memperjuangkannya mulai dari sekarang. Kita bisa ikut melawan hoaks dengan memberikan berita yang benar, tentunya dengan penjelasan dan data yang benar. Selain itu kita bisa juga mengajarkan kepada orag lain terutama anak-anak muda yang baru mengerti perpolitikan mengenai cara menentukan apakah berita tersebut hoaks atau tidak. Yang terakhir adalah menjadi realistis, tidak ada satupun kubu di pemilu yang bebas hoaks. Di setiap kubu pasti ada orang yang fanatik dengan kubunya dan menyebarkan hoaks untuk menjatuhkan lawan politiknya. Sebagai netizen, tugas kita adalah memberi penjelasan baik kepada orang di kubu lawan atau kubu kita sendiri.
Sekian dari saya, Terimakasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H