Glodok itu bukan hanya tempat untuk membeli barang murah atau melihat budaya Tionghoa. Glodok juga adalah tempat yang kaya dengan sejarah. Setiap sudut Glodok punya sejarah yang menarik dan jika pembaca siap menggali, pasti akan mencari ada banyak sejarah menarik di Glodok. Yuk, ikut saya berjalan kaki ratusan meter lewat ratusan tahun sejarah di Jakarta.
Kita sampai di Glodok lewat Transjakarta dan turun di halte bis Orimo. Semua orang pasti sudah familier dengan Transjakarta dan terutama koridor 1 yang melayani jalur ini di Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk. Dulu, nama kedua jalan ini terkenal sebagai Jalan Molenvliet West dan Jalan Molenvliet Oost, dan jalan-jalan ini dilayani oleh sistem transportasi yang lumayan asing untuk orang muda di Jakarta sekarang, yaitu trem listrik. Pada abad penjajahan Belanda, trem ini dimiliki oleh perushaan bernama Bataviasche Verkeers Maatshappij (BVM). Pasti jika kita ada di Jakarta 80 tahun yang lalu, kita akan naik trem ini ke Glodok. Tapi sistem trem ini di Jakarta hanya tahan sampai kira-kira tahun 1962. Sekarang, kita bisa melewati jalan yang sama tapi menggunakan bis Transjakarta yang amat moderen dengan udara sejuk karena sistem AC.
Mulai berjalan kaki seratus meter dari halte bis Orimo ke arah Glodok, kita akan sampai di depan hotel pencakar langit, yaitu Novotel. Tersembunyi di belakang hotel ini adalah rumah adat tradisional China. Gedung ini dulu merupakan rumah keluarga Kapiten Cina terakhir di kota Batavia. Kapiten Cina ditunjuk oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memimpin masyarakat Tionghoa di kota Batavia. Sesudah sistem Kapiten Cina sudah dihentikan, rumah ini berganti fungsinya dan menjadi kantor untuk perhimpunan sosial bernama Sin Ming Hui. Perhimpunan ini direncanakan untuk melayani pertolongan untuk korban Tionghoa yang menderita dalam kerusuhan di Tangerang pada tahun 1946. Sin Ming Hui juga berperan dalam mendirikan rumah sakit Sumber Waras dan Universitas Tarumanagara. Dalam pembangunan gedung pencakar langit yang sekarang menjadi hotel Novotel, rumah ini hampir semuanya terhancur. Tapi sedikit dari rumah aslinya ditahan sampai sekarang dan sekarang terkenal sebagai Candra Naya. Di gedung ini sekarang bisa dicari rumah makan Fubar yang melayani makanan China. Rumah makan Fubar punya suasana yang adem dengan musik China dan dekorasi bergaya China.
Kembali lagi ke Jalan Gajah Mada, kita berjalan kaki 500meter ke arah Glodok. Sekarang kita akan sampai di depan Mal Harco di Glodok yang dulu terkenal sebagai pusat barang elektronik tapi semakin lama menjadi semakin sepi. Mal Harco juga menyembunyikan sejarah yang cukup menarik. Gedung ini dibangun di atas penjara Glodok. Banyak tokoh bersejarah pernah dipenjarakan dalam penjara Glodok ini, mulai dari abad penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, sampai abad kemerdekaan Indonesia di bawah kepemimpinan Sukarno. Pada Februari sampai Desember 1934, Mohammad Hatta pernah dipenjarakan di sini oleh pemerintah kolonial Belanda. Ini menjadi mulanya kehidupan Hatta di penjara. Sesudah penjara Glodok, Hatta diasingkan di Boven Digul, dan sesudah itu, dia dipindahkan ke pulau Banda Neira. Dalam pendudukan Jepang, banyak orang Belanda dipenjarakan oleh tentara Jepang, dan penjara Glodok digunakan sebagai salah satu penjara untuk tahanan Belanda.
Salah satu orang yang pernah dipenjarakan di sini adalah Hermance van den Wall Bake, kakeknya mantan Wakil Perdana Menteri negara Inggris, Nick Clegg. Di abad Sukarno, penjara Glodok juga menjadi terkenal karena grup musik Koes Plus. Grup Koes Plus dipenjarakan oleh pemerintah Sukarno karena memainkan music rock-n-rock. Musik semacam ini disebut oleh Sukarno sebagai ngak-ngik-ngok dan dianggap ada pengaruh buruk kepada bangsa Indonesia. Oleh karena itu, musik seperti ini terlarang, dan RRI tidak boleh menyiarkan musik kebarat-baratan seperti itu. Tapi Koes Plus memberontak aturan ini dan memainkan lagu-lagu rock-n-rock seperti The Beatles, dan ini yang mengakibatkan grup Koes Plus dipenjarakan di penjara Glodok. Pengalaman ini menjadi material untuk lagunya Di Dalam Bui oleh Koes Plus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H