Mohon tunggu...
Jamelia Shalmena
Jamelia Shalmena Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

perempuan biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Begitulah Rasanya, Pak

22 Juni 2012   16:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:39 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang bapak tua berpeci putih berjalan tenang dengan tongkat di tangan kanannya. Rambutnya hampir seluruhnya memutih. Kacamata yang dipakai tidak kuno seperti di gambar Bung Hatta, tapi sudah terlihat ketinggalan jaman. Dilihat dari hidungnya, dia memang berdarah Pakistan. Menuju langsung kepadaku tanpa ragu-ragu. Tatapan matanya sangat berharap ingin menyampaikan sesuatu yang sangat-sangat sensitif di kehidupannya.

Aku beri senyuman ramah dan segera set my mind-ku bahwa aku sangat ramah dan tenang hari ini. Bapak itu sebenarnya ingin tersenyum, tapi tak sanggup lebar-lebar seperti yang aku beri. Hanya anggukan kecil.

“Oh, anda sepertinya memang sengaja ingin bertemu dengan saya. Silahkan duduk, Pak.” sapaku padanya.

“Iya. Saya mau bicara sama kamu.” Balasnya.

“Sepertinya juga begitu. Bagaimana kabar keluarga Bapak? Sudah berapa cucunya?”, tanyaku seraya basa-basi.

Bapak itu tidak menjawab. Hanya memandangiku. Tatapannya seolah bahwa aku bukan seperti yang dia anggap selama ini. Wajahnya tetap tegang dan sedang tidak ingin mengobrol santai.

Terlihat sangat serius ketika kalimat pertama diucapkannya. Kami duduk dan berbicara empat mata saja. Semua hal diceritakan padaku. Telingaku terbuka lebar. Entah sejak kapan pandanganku tidak padanya. Aku terlalu menghayati kalimat-kalimatnya. Tergambar di imajinasiku semua yang dia sampaikan. Sesaat aku bisa merasakan kesedihannya, sesaat aku merasa sombong. Amarahku bergolak tidak jelas. Seharusnya aku bangga dan senang dengan kabar yang kudapatkan olehnya.

Sesaat hening setelah dia rasa cukup menyampaikan semuanya. Aku mengambil napas dalam dan menghembuskannya pelan-pelan. Masih dengan posisi pandanganku yang dingin tadi, giliranku menyampaikan sesuatu.

“Kira-kira beberapa tahun yang lalu. Seseorang, mencoba berbicara dengan saya melalui telepon genggam. Sekali dua kali saya abaikan. Lalu saya tergerak untuk menerima telponnya. Jauh disana suara jelas dari seorang bapak yang sangat sayang kepada keluarganya. Dengan suara yang tidak ramah mengatakan sesuatu yang tidak saya kira. Bapak itu akan mengancam keselamatan keluarga saya bila saya menganggapnya main-main. Keselamatan dunia keluarga saya, Pak. Menurut anda, Pak. Apakah saya berani membantahnya?”

Bapak itu hanya diam menatapku. “Anda tahu Pak, bagaimana rasanya saat itu? Tidak ada yang mampu menolong kesakitan yang saya rasakan saat itu. Saya hanya bisa menangis dan hati saya menjerit mencari bantuan. Saya menahan kesedihan pada keluarga saya. saya tidak mau terlihat sedih dihadapan mereka. Saya tidak sampai hati bila ibu saya mengetahi ini. Bahkan sampai sekarang pun saya bungkam”. Mataku berkaca-kaca merasakan pilu. Teringat kenangan yang sangat menyakitkan.

Bapak itu masih diam. Aku pun diam mencoba mengatur nafas supaya emosiku terkontrol. Ku ambil tisu yang kebetulan ada di tas. Kulipat sehingga membentuk sudut yang runcing. Aku tempelkan pada sudut mataku, sehingga mataku tidak penuh dengan air tanpa merusak eyeliner yang biasa aku pakai keseharian.

Lalu aku melanjutkan, “Sekarang anda minta saya. Kenapa Bapak pikir saya mau? Bukankah anda sendiri seharusnya bisa menyelesaikan sendiri?”.

“Saya minta maaf. Kita sebagai sesama muslim, seharusnya bisa saling mengerti”, ucapnya.

“Lalu bagaimana dengan saya?”, tangkisku. “Saya tidak lupa kejadian itu. Asalkan anda tahu, Pak. Urusan dunia ya diselesaikan di dunia. Bukankah seharusnya begitu?”, tanyaku sambil memandangnya dengan sinis. Aku tidak jenak dan segera meraih buku dan tasku.

“Saya rasa tidak ada yang perlu saya pertimbangkan kembali. Saya sudah tersiksa lama. Anda seharusnya tidak datang kepada saya untuk meminta tolong. Saya sedang mencoba merelakan. Apakah anda ingin mengancam? Saya tidak peduli. Assalamu alaikum”, ucapku padanya.

Segera aku bangkit dan pergi meninggalkan bapak itu tanpa menoleh padanya. Aku tahu bapak itu pasti kecewa. Aku pikir ada baiknya dia merasakan apa yang aku rasakan.

Air mataku memenuhi mata dan meleleh jatuh melewati pipi menetes pada tanganku. Sebenarnya aku tidak tega juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun