Mohon tunggu...
Jamastuti
Jamastuti Mohon Tunggu... Guru - Ibu pembelajar yang selalu berusaha melawan rasa malas.

Perempuan yang menulis untuk menuntaskan kegelisahan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kenangan Bapak dalam Kemuliaan Maulid

3 Oktober 2022   17:43 Diperbarui: 3 Oktober 2022   17:46 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di bulan maulid yang penuh barokah ini, aku ingin menuliskan kisah ini. Untuk mengenang beliau-beliau yang sangat kuhormati. Kisah tentang cinta sejati. Tentang rasa cinta murid terhadap gurunya. Tentang kasih sayang tulus seorang guru terhadap murid muridnya. Aku menulis untuk mengobati sesaknya rindu dalam hati. Rindu kepada ulama sang pewaris Kanjeng Nabi.

Aku mendengar kisah ini waktu aku hamil anak pertama. Baiklah, aku mengaku, diriku bukanlah seorang perowi kisah yang tsiqoh dan terpercaya. Aku sangat pelupa dan banyak bercanda. Meletakkan pemotong kuku saja aku bisa lupa. Apalagi mengingat hal penting bersejarah. Tetapi, kisah ini melekat erat di memoriku. Sulit untuk kulupakan. Bapak menceritakan padaku di teras rumah kami. Sembari menatap anak anak TPA bermain tap- tapan. Sesekali aku menatapnya kala bercerita. Bapak tertawa pelan, tetapi matanya (yang karena faktor usia,kian lama kian mengecil),  berkaca-kaca. Aku memainkan lengannya yang keriput. Dan ia memulai kisahnya .

Dulu ada dua pemuda nyantri kepada Mbah Kyai Busthomil Karim.  Mereka berdua  saudara sepupu, yang haus dan punya minat tinggi terhadap ilmu agama.

 Di pondok, mereka berdua berjumpa dengan santri yang usianya lebih muda, yang menjadi kesayangan Mbah Kyai. Mereka menjadi dekat layaknya sesama santri yang senasib sepenanggungan.

Kemudian, santri muda tersebut sakit sangat parah. Berbulan bulan. Tak kunjung sembuh. Dua orang yang lebih tua merasa kasihan, dan hampir putus asa merawatnya. Kemudian keduanya sowan kepada Mbah Kyai memohon izin untuk mengantarkan santri yang paling muda pulang ke rumah.

Tak disangka, Mbah Kyai marah. Beliau berkata : " Kalau kalian berdua tak mau mengurusnya lagi, biar aku yang ngurus, kalau nanti dia meninggal, aku yang akan menggali kuburnya".

Sampai di bagian ini Bapakku tertawa. Tetapi yang kurasakan sebaliknya. Aku ingin menangis. Aku merasa seolah Bapak menceritakan ini karena menghiburku sebab aku tak bisa ikut pengajian haul rutin tahunan di pondok karena mabuk ngidam anak mbarepku. Tetapi entahlah, aku juga tak tahu pasti apa yang dipikirkan Bapak waktu itu. Mungkin Bapak sedang ingin mengenang dan bernostalgia. Mungkin Bapak sedang ingin berbagi kerinduan denganku. Rindu kepada guru yang teramat dicintainya. Syaikh Almaghfurlah Bustamil Karim Pengasuh Pondok Pesantren Rodlotus Solihin Lampung.

Ketika menceritakan kisah ini, santri termuda yang Bapakku ceritakan, sudah kembali menghadap Ilahi. Menyusul Mbah Kyai. Bapakku tersenyum ketika berkata : "Mbah, sayang tenanan, mosok sing paling nom nyusul ndisik dewe " . Sampai disini aku nggak kuat, nangis. Dan Bapak ya cuma tertawa. 

Aku mengenal ketiga santri yang diceritakan Bapakku. Aku beruntung mengenal beliau bertiga. Yang paling paling muda diantara mereka bertiga kemudian menjadi menantu Mbah Kyai Bustomil Karim. Melanjutkan perjuangan Mbah Kyai mendidik ribuan santri  (termasuk diriku). Beliau salah satu  guru yang sangat aku kagumi.  Bertahun tahun aku menjadi murid Beliau. Banyak hal tentang beliau menjadi inspirasi dalam kehidupanku. Tentang kesabaran, kesederhanaan, dan keikhlasan yang menyejukkan. Tentang keluasan ilmu dan kefaqihan yang mumpuni. Selepas mondok, aku bertemu banyak cendikia, professor dan guru besar. Tetapi beliau tetap menjadi salah satu Kyai dan guru  paling favorit .

Yang paling sepuh (tua) tidak terlalu mengenalku karena jarang berjumpa. Aku memanggilnya Paklek, karena beliau adalah adik sepupu bapakku. Dulu setiap kali beliau berkunjung ke rumah kami, atau sebaliknya, aku hanya pemeran figuran  yang bertugas untuk salim dan membawa teh ke meja tamu, sambil senyum -senyum.

Pembicaraan terpanjang kami, ketika aku sowan ke rumah Beliau setelah menikah. Sekalian mengenalkan suamiku. Waktu itu banyak nasehat hikmah, guyonan, dan doa yang beliau sampaikan.

Dan yang terakhir sang sohibur riwayah adalah ayahandaku. Bapak terhebat yang penuh kasih sayang. Guru pertama yang kucintai. Bapak yang mendidik anak anaknya dengan penuh tanggung jawab.  Bapak yang membesarkan anak anaknya dalam buaian dzikir dan doa. Bapak paling keren bagi kami anak anaknya. Bapak yang selalu mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan anaknya sendiri. Bapak yang menjadi teladan nyata bahwa adab dan ilmu lebih utama dari harta benda.

Kini semua hanya tinggal kenangan. Ketiga orang hebat yang sangat kukagumi telah kembali kepada Dzat yang teramat mereka cintai. Dzat yang mereka sebut sebut setiap hari.Dalam keistiqomahan dzikir yang membuat siapapun yang menyaksikannya iri. Aku ingin sekali seperti mereka, memiliki kesabaran yang nyaris tak terhingga. Aku ingin sekali mencontoh mereka, yang menghormati guru dan nderek dawuh Kyai dengan sepenuh hati. Aku ingin seperti mereka, yang mencintai Kanjeng Nabi dalam tingkah laku setiap hari. Aku ingin sekali mencontoh mereka, yang sangat tawadlu dan penuh kasih sayang. 

Aku tak pernah bertemu Kanjeng Nabi, aku tak pernah menyaksikan dengan mataku semua sikap mulia Kanjeng Nabi. Tetapi aku bisa menerka dan membayangkan bagaimana indahnya akhlak Kanjeng Nabi salah satunya karena mengenal dan didikan beliau bertiga. Allohumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alih.

Cerita ini didedikasikan untuk guru kami  Syaikh Almaghfurlah KH Ismail Hasan, Mbah Sudirman bin Dullah Sengud, dan mbah Ahmad 'Adnan bin Kaswan Suhadi. Lahumul Fatihah.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun