Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan untuk bertemu dengan sahabat lama semasa remaja di salah satu café daerah bilangan Kuningan, sebagaimana umumnya sudah tentu kami masing-masing saling bertanya dan bercerita panjang lebar tentang perjalanan selama kita tidak pernah bertemu. tentang aktivitas, hobi dan cita-cita kita masing-masing yang pernah sama-sama kita sampaikan dulu waktu masih remaja.
Di luar dugaan ternyata memang hidup tidak selamanya sesuai rencana, ada yang memang konsisten dengan cita-citanya di masa remaja, dan ada juga yang jauh berbelok dari tujuan awalnya, padahal cita-cita kami sama saat itu tidak muluk-muluk cuma ingin menjadi seorang Pelaut yang gagah layaknya Columbus yang menaklukan benua Amerika atau minimal seperti Popeye yang selalu menjadi pahlawan dari kekasihnya Olive, sambil di iringi gurauan dan gelak tawa masing-masing itulah yang membuat perbincangan kami menarik hingga tak sadar dua gelas ice mocca hampir ludes dan hampir bersambung di gelas yang ke tiga kalau tidak di tahan-tahan, tapi akhirnya jadi juga saya request gelas ketiga lantaran saya menanyakan kawan saya ini tentang “apakah dia sudah kawin atau belum”,
Raut wajah kawan saya ini berubah seolah kelihatan gelagat yang kurang enak hingga saya merasa penasaran untuk bertanya apakah pertanyaan saya menyinggung perasaannya atau malah mengungkit masa lalunya
Sahabat saya ini seorang kritis dan mempunyai idealis yang tinggi, terutama dalam hal keagamaan, dan hal itulah yang yang membuat kami menjadi teman yang akrab semenjak dulu, kami pernah terlibat dalam pergerakan dakwah yang masih terlihat asing saat itu, tapi karena ke kritisan masa remaja kami saat itulah yang membuat dorongan lebih jauh rasa ingin mengetahui apakah memang sebatas ini agama saya mengajarkan, dan di situlah awal kami memahami bahwa agama kami mengapa di sebut sebagai agama yang Rahmatan lil alamin oleh karena di dalamya mengandung ajaran yang total mencakup seluruh kehidupan manusia, dari cara berfikir, bertindak bahkan berucap, dari ibadah, muamalah, bahkan berpolitik untuk mencapai suatu hidup yang seimbang dunia dan akhirat.
Namun catatan saya ini saya buat bukan karena membahas masalah kesempurnaan agama itu, tapi kembali lagi melihat wajahnya yang seolah berbeda setelah pertanyaan saya “apakah dia sudah kawin atau belum”.
Setelah dia menjawab dan menjelaskan rupanya dia keberatan dengan pertanyaan saya dengan bahasa “Kawin” seharusnya menurut dia di ganti dengan bahasa “Menikah”, itu lebih beradab bilangnya, sepele memang tapi hal hal sepele seperti inilah yang biasanya dari dulu antara kami saling lempar argumentasi.
Saya tidak membantah pendapatnya dan saya juga membenarkan serta menjelaskan ucapan saya, oleh karena latar belakang saya sebagi seorang yang menggeluti hukum positif di Indonesia, di mana masalah “Pernikahan” secara normatif di kenal dengan istilah “Perkawinan” sebagaimana tertuang pada UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan”, UU tersebut menyebutkan “Perkawinan” bukan “Pernikahan”.
Lagi-lagi kawan saya ini berargumen “inilah penyebabnya karena pemerintahan kita pemerintahan yang tidak berlandaskan hukum Agama, jadi istilah pernikahan saja harus di ganti dengan istilah perkawinan yang mohon ma’af kawin itu di samakan dengan aktifitas binatang, padahal manusia sudah di berikan aturan yang sempurna oleh agama ini, kenapa harus buat-buat hukum dengan aturan dan istilahnya sendiri, ini fakta kekeliruan manusia dan ini final”
Sekilas sepertinya saya di paksa untuk membenarkan pendapatnya ini, dengan pelan dan santai saya coba jelaskan tanpa harus menghakimi benar atau salah pendapatnya itu, beruntung memang kami berdua pembicara dan pendengar yang baik, saling menghargai pendapat masing-masing, mengerti hak berbicara dan mendengar
Betul memang dalam hukum normative di sebutkan Penikahan itu dengan istilah Perkawinan hal demikian benar adanya karena Negara kita bukan Negara yang berlandaskan suatu agama jadi tentunya di gunakan istilah umum yang sesuai dengan pengguna hukum itu sendiri yaitu bangsa Indonesia yang plural ini, sehingga peraturan perundang-undangan dapat di terima semua pihak tanpa perselisihan perbedaan pendapat.
Namun perlu di ketahui dan kita dalami pasal demi pasal dari Undang-undang perkawinan (UU No.1/1974) ini apakah sudah sesuai dengan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku terutama norma Agama Islam yang sama-sama kami anut.
Pertama coba kita simak definisi pernikahan dalam Undang-undang perkawinan UU No.1/1974) ini, tertulis dalam pasal 1 bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Saya jelaskan kepadanya tafsiran definisi Perkawinan menurut undang-Undang ini di dalamnya terkandung beberapa unsur diantaranya, Bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir batin” ini bersesuaian dengan Kompilasi Hukum Islam “Menurut Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan tercantum dalam pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut:
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”
“Akad ” atau yang di maksud adalah “Akad nikah” dalam hukum positif di kenal dengan perbuatan hukum berupa “Perjanjian” adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal yang di sepakatinya.
Maka itu dalam akad pernikahan ada yang di kenal dengan “ijab Kabul”, bilamana ijab Kabul di ucapkan dengan sah maka detik itu pula telah tercipta perikatan, tentunya perikatan ini (Pernikahan) tidak akan tercapai bilamana tidak ada “kesepakatan”. Ini sangat sesuai dengan asas perjanjian yaitu “konsesus” dalam hukum positif pasal 1320 KUHper, kesepakatan (konsensus) yang lahir karena adanya Perjanjian dan dari perjanjian inilah yang menimbulkan suatu perikatan.
Dalam agama islam Perjanjian nikah ini di sebut Mitasaqan ghalizan atau perjanjian yang berat, kenapa berat karena akan melahirkan “Perikatan” yang menimbulkan hak dan kewajiban yang melakukan perjanjian, dan dalam pernikahan juga menimbulkan hak-hak dan kewajiban para pihak yaitu suami dan istri yang melakukan pernikahan.
Selanjutnya unsur yang terkandung dalam pasal 1 UU No.1/1974 lainnya terdapat kata-kata “antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri” apa maksud dari kata ini ?
Perkawinan di Indonesia tidak mengenal perkawinan sesama jenis, maka bunyi kata dari pasal ini yaitu Antara “ seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri” sudah sangat tepat, coba kita bayangkan jika bunyi pasalnya tidak menyebutkan jenis kelamin seorang pria atau seorang wanita, maka sudah barang tentu akan menjadi justifikasi kaum pecinta sesama jenis untuk melangsungkan perkawinan. Dan di dalam agama Islam pernikahan sesama jenis ini di haramkan bahkan di ceritakan di dalam Al-Qur’an yaitu kisah kaum Sodom di jaman Nabi Luth yang di musnahkan oleh Allah S.W.T.
Selanjutnya unsur lainnya yang terkandung di dalam UU Perkawinan tersebut adalah “dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia”, maksud ini sudah sangat jelas seiring dengan maksud dan tujuan pernikahan di dalam Islam yaitu bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah tertulis juga di pasal 3 Kompilasi Hukum Islam.
Sekiranya itu yang bisa saya kupas dengan singkat dari 1 pasal dari 67 pasal yang tertulis pada UU No.1/1974 tersebut, sahabat saya ini yang sedari tadi dengan serius mendengarkan penjelasan saya tentang Perkawinan di tinjau dari hukum positif, dengan harapan bahwa dia dapat memahami bahwa UU Perkawinan ini tidak bertentangan dengan syariat Islam bahkan sangat sesuai dengan Hukum Islam dan melindungi Syariat Islam.
Untuk menambahkan pendapat ini saya coba layangkan pertanyaan “ apakah kamu setuju dengan pernikahan beda agama?” dengan cepat menjawab “tentu tidak, itu tidak di perbolehkan dalam ajaran agama kita”
Sambil menyodorkan ponsel ke hadapannya saya buka berita tentang berita sore itu di situs detik.com tentang Damian Agata Yuvens dkk. Mengajukan uji materil pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mereka menilai pasal tersebut berpotensi merugikan hak konstitusional mereka. Hal ini karena para pemuda itu ingin perkawinannya kelak sah walau ada kemungkinan pasangan mereka berbeda agama. “ lantas apa yang bisa kita perbuat jika pasal 2 ayat 1 UU No.1 th.1974 tidak ada ? atau mungkin saja tidak tercantum dalam pembuatan UU tersebut? atau juga berani berandai jika saja UU ini tidak ada?, Dari UU yang kita debatkan kebenarannya tentang istilah Perkawinan di perbincangan kita sore ini ?”
Sahabat lama saya tersebut menarik napas panjang merebahkan sandarannya di bangku sambil mengetuk ngetuk jari telunjuknya di atas meja, jam tangan saya sudah menunjukkan waktu masuk sholat Ashar kami pun bergegas meninggalkan tempat pertemuan kita sore itu.
Oh ya sebenarnya masih ada perdebatan satu lagi, yaitu tentang siapa yang membayar biling tagihan minuman ice moca kami di café sore itu skor saat itu, saya tiga gelas dia dua gelas, tapi saya tidak tuliskan di sini cukup itu off the record bagi kami berdua, karena kebiasaan kami selalu berdebat siapa yang membayar setelah ngobrol di kantin sekolah dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H