Mohon tunggu...
jamaludin jamal
jamaludin jamal Mohon Tunggu... -

Saya lahir di Ampenan Lombok, sendang mengembangkan sebuah madrasah alam dengan nama Sayang Ibu. Saya bertindak sebagai direktur lembaga.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kepemimpinan Selestial Ala Ibrahim

7 Oktober 2014   03:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:07 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

0leh Jamaludin "Je" Abdullah

Idul Adha adalah salah satu episode dari rangkaian sejarah pembentukan jati-diri kemanusiaan universal. Di baliknya adalah asksi visioner seorang Ibrahim, yang dimulai ketika masih sangat muda.

Kisahnya berawal dari masa remaja yang “nakal”. Ibnu Katsir mengisahkan, ketika berumur tujuhan tahun Ibrahim telah memepertanyakan berbagai hal yang dia pandang tidak masuk akal dari perilaku orang tua dan masyarakat sekitarnya.

Ibrahim adalah sosok yang sangat kritis, seperti banyak direkam Quran. Ibn Katsir menggambarkan sosok Ibrahim muda yang selalu merenung. Alam semesta, langit, bintang-bintang adalah objek yang paling berkesan baginya. Dari perenungannya tentang alam semesta, Ibarahim berpkir tentang Tuhan.Sikap kritis itu bahkan membuat Ibrahim mempertanyakan kebenaran kehidupan setalah mati (QS 2:260).

Selain aktif berdakwah, Ibrahim dikenal sebagai sosok pekerja keras dan pengembala sukses, terutama setelah berada di Mesir. Bersama Nabi Luth, ia memiliki ternak, keledai, dan kuda yang sangat banyak. Mereka juga memiliki kekayaan emas dan perak yang melimpah. Dikisahkan, pakan dan minuman di Negeb, Mesir, bahkan tak cukup karena banyaknya ternak mereka.

Ibrahim muda adalah seorang yang berani mengambil resiko. Ia menyampaikan misinya di tengah masyarakat politeis yang kuat di Ur. Ketika umurnya masih belasan tahun, ia bahkan mengambil tindakan yang lebih berbahaya dengan menghancurkan patung-patung karya dan sesembahan orang tua dan masyarakatnya.

Sebagian mungkin menyebutnya kecerobohan atau bahkan kekerasan agama. Tetapi dalam konteks Ibrahim saat itu, ini adalah sebuah keberanian berhadapan dengan kekuatan yang mengacam hidupnya. Dan dia benar-benar mengambil resiko ketika memutuskan mengambil langkah kontrovesial itu untuk menarik perhatian masyarakat.

Pengambilan resiko selanjutnya ialah ketika Ibrahim memutuskan menempatkan Siti Hajar dan seorang anaknya yang masih bayi di sebuah tempat yang tak berpenghuni dan kering. Ibrahim lahir, tumbuh dewasa, menikah selalu tinggal di tempat yang subur dengan makanan yang cukup. Namun, tiba-tiba dia menerima pesan langit untuk membawa Siti Hajar dan anak satu-satunya, yang ia tunggu sangat lama kehadirannya dan yang sangat ia cintai, ke sebuah daerah terpencil, tandus dan tak bertuan.

Dalam perspektif kita saat ini, Ibrahim mungkin dianggap telah melakukan kekerasan rumah tangga. Menempatkan istri dan anaknya, hanya berdua, di tempat yang tandus, tanpa makanan, tanpa perlindungan. Ini tentu sebuah kekejaman dan sikap tak bertanggungjawab. Apalagi penempatan itu dilatari kekecewaan Siti Sarah yang cemburu dan meminta Ibrahim menjauhkan mereka dari kehidupannya. Kita akan mengatakan bahwa Ibrahim takut pada istri pertama yang secara kasta dan kekayaan lebih dari Siti Sarah yang dulu adalah budak.

Namun pikiran demikian segera terbantahkan ketika mengetahui bahwa ada sekenario besar Ilahiyah di sana, dan Ibrahim sangat meyakininya. Ini adalah sebuah proses awal peletakan dasar bangunan tauhid. Ibrahim meyakini sedang menjalani sebuah misi besar dan dia siap mengambil resiko untuk misi besar itu, berapapun harganya.

Bandingkan dengan langkah-langkah gila dan heroik yang dilakukan oleh banyak orang sukses saat ini. Kesuksesan mereka ternyata bukan karena tindakan-tindakan aman yang mereka ambil, tetapi karena langkah-langkah beresiko dan oleh sebagian besar disebut kegilaan. Tetapi, sekali lagi, hal itu yang ternyata membuat mereka berhasil dan dikenang sejarah.

Tindakan beresiko keempat yang dilakukan Ibrahim adalah ketika bersedia mengorbankan anaknya sendiri atas dasar sebuah wahyu yang dia terima dan yakini kebenarannya, meskipun dari sebuah mimpi.

Untuk kita, saya ingin menganalogikan wahyu ini dengan intuisi. Seorang pemimpin yang sangat sukses, berpengaruh dan dicatat oleh sejarah dengan tinta emas, seringkali mengambil keputusan berdasarkan intuisi ketimbang pertimbangan rasional akademik. Tetapi sekali lagi, tindakan ini pulalah yang membedakan dia dengan pemimpin biasa yang tak dicatat oleh siapapun, kecuali sebagai contoh yang tidak perlu ditiru.

***

Kesetiaan pada kebenaran agaknya adalah inti perjalanan Ibrahim. Kebenaran membuat Ibrahim muda tak pernah lelah mencari. Keberaniannya mengambil tindakan yang kontroversial, revolusioner dan tidak popular adalah bukti lain kecintaannya pada kebenaran. Ibrahim tak pernah berhenti “bereksperimen”, mengambil langkah-langkah “tidak manusiawi” namun belakangan dicatat sejarah menjadi dasar-dasar penting bangungan risalahnya.

Kecintaan pada kebenaran memberinya kekuatan untuk berkorban, bahkan mengorbankan yang paling dia cintai. Bukankah puncak pengorbanan seseorang adalah ketika ia tak hanya bersedia mengorbankan dirinya tapi bahkan mengorbankan yang paling ia cintai dan hargai?

Sosok Ibrahim, Sang Nabi, menginspirasi kita tentang karakter penting yang harus dimiliki seorang pemimpin besar—sebuah kepemimpinan yang didasarkan atas nilai-nilai langit, a celestial leadership.[]

Jamaludin, penulis novel Kafilah Al-Fatihah, tinggal di Jakarta. Facebook: je.abdullah@yahoo.com.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun