[caption caption="Ilustrasi - pedagang rujak keliling (kfk.kompas.com)"][/caption]Mas Yanto (46), pedagang rujak buah keliling di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, sudah sepuluh tahun tinggal di Jakarta. Dari tempat kostnya di Kebayoran Baru, laki-laki asal Blitar ini harus mendorong gerobak buahnya sampai ke Bulungan, belakang Mall Blok M, tempat ia mangkal menjajakan rujak buahnya.
Dengan modal Rp1,5 juta, ia sudah bisa bikin gerobak, belanja buah, es batu, dan membuat sambal. Buah-buah segar yang ia beli di Pasar Kebayoran, seperti mangga, pepaya, nanas, juga jambu dikelupas dan dipotong kecil-kecil, kemudian dimasukkan ke plastik kecil dan ditaruh di etalase gerobaknya. Setiap bungkus dihargai Rp2.000,00-Rp3.000,00.
Yanto berangkat pukul 10 pagi dan baru pulang sore pukul 17.00 WIB. “Jika dagangan lagi ramai saya bisa pulang lebih cepat,” katanya. Pulang-pulang ia bisa membawa keuntungan Rp300.000,00-Rp500.000,00.
Yanto mengeluh karena harga buah saat ini tak menentu. Meskipun BBM turun, harganya tetap tinggi. Jika harus menaikkan harga, takut tak ada pembeli. Maka ia menyiasatinya dengan mengurangi isi buahnya. Belum lagi ia harus bersaing dengan pedagang buah lainnya.
“Hidup di Jakarta harus kuat, tak boleh cengeng dan jangan mudah menyerah,” katanya menasihati. Sejak kecil ia suka merantau dan terbiasa menerima tantangan. Juga pernah menjajal banyak jenis pekerjaan. Sebelum di Jakarta ia pernah ikut berjualan Pecel Lamongan di Jogjakarta. Belum dapat setahun ia pindah ke Surabaya, bekerja sebagai tukang kebun (penjaga taman) di sebuah hotel. Ia pernah merantau ke pedalaman Kalimantan. Ia dikontrak selama enam bulan oleh sebuah perusahaan perkebunan untuk membuka lahan di pedalaman Kalimantan. Baru tiga bulan ia menyerah dan kabur bersama 5 orang kawannya.
“Saya tak betah hidup di tengah hutan belantara. Jauh dari apa pun. Bayarannya tak sebanding dengan tenaga yang harus dikeluarkan. Dalam sehari saya harus menebang puluhan pohon. Yang paling kecil seukuran badan orang dewasa. Medannya berat. Hutan hujan tak bertuan,” ia mulai bercerita.
“Jika malam tiba, sepi selalu datang lebih awal. Satu-satunya hiburan adalah suara binatang yang saling bersahutan. Entah, saya tak kenal suara binatang apa. Kalau sudah malam kami hanya tidur-tiduran di dalam rumah.”
Hingga suatu ketika ia bersama lima orang kawannya berniat kabur. Sebelum pergi, ia dan kawan-kawannya “cash bon” untuk membeli beberapa perbekalan makanan di warung milik bosnya. Sebab, katanya, perjalanan pulang membutuhkan waktu berminggu-minggu, sehingga perlu perbekalan cukup. Itu pun kalau tak tersesat. Jika tak tahu arah bisa tersasar masuk pedalaman.
“Kalau sudah di tengah hutan, meskipun Anda naik pohon paling tinggi sekalipun, Anda tak akan melihat apa pun kecuali hamparan pohon-pohon tak bertepi,” ujarnya.
Akhirnya, pagi-pagi sekali ketika matahari masih belum tampak ia bersama kawan-kawannya kabur dari base camp-nya di tengah hutan. Kelima orang kawannya itu tak satu pun tahu jalan pulang. Mereka nekat dan hanya meraba-raba. “Alhamdulillah, Tuhan menuntun jalan kami,” katanya. Setelah seminggu menapaki hutan belantara, mereka akhirnya menemukan sebuah perkampungan. Kami pulang ke tempat tinggal masing-masing.
Bekerja sebagai penebang pohon di tengah hutan Kalimantan rupanya tak membuatnya kapok. Ia mendapat tawaran serupa membabat hutan di Sumatera. Kali ini untuk membuka perkebunan sawit milik cukong Malaysia. Saya dikontrak selama 5 bulan.