"Genggam dan ikatlah hati rakyat, niscaya mereka akan mengikutimu," kata Cokroaminoto pada Sukarno.
Tak hanya pandai mengambil hati rakyat, Sukarno dikenal piawai mengambil hati wanita. Ketika masih remaja, sukarno jatuh cinta pada noni Belanda. Sayangnya, ketika apel ke rumahnya, Sukarno diusir bapaknya. Mulai saati itu, ia dilarang berpacaran dengan anaknya lantaran bukan berasal dari ras yang sama (Eropa!). Pengalaman ini yang membuatnya mulai benci terhadap rasisme kolonial Belanda.
Film ini menceritakan sejarah kehidupan dan perjuangan Sukarno. Sebagai aktivis partai PNI dan Partindo, orasi-orasi Sukarno membakar rakyat Indonesia, menggugah kesadaran pentingnya sebuah kemerdekaan. Kritik-kritiknya langsung menghujam ke jantung kebijakan kolonial Belanda. Propagandanya dianggap membahayakan stabilitas keamanan dan mengancam pemerintahan Belanda. Karena itu, ia dipenjara dan dibuang. Impian dan cita-citanya satu: kemerdekaan Indonesia. Ini menjadi mimpi buruk bagai kolonial belanda.
Ketika Jepang mendarat mengambil alih pemerintah kolonial Belanda, pengaruh Sukarno dimanfaatkan untuk menyebarkan propaganda-propaganda Dai Nippon, mengambil hati rakyat agar tak melawan dan mau mengikuti kemauan Jepang. Terutama membantu kepentingannya dalam perang pasifik
Sukarno sadar dirinya menjadi bagian dan hanya sekadar dimanfaatkan Jepang. ia mau membantu Jepang karena ia yakin dan percaya --- sesuai Janji Jepang --- Indonesia akan diberi kemerdekaan. Artinya, ada hubungan mutualis-simbiosis antara Sukarno dan Dai Nippon. Meski kesepakatan itu harus dibayar mahal oleh rakyat Indonesia: romusha dan eksploitasi ekonomi.
Di tengah perjuangannya mendapat kemerdekaan Indonesia, Sukarno dihadapkan dengan persoalan keluarga. Pada saat berada dipembuangan di Bengkulu dan menjadi pengajar di salah satu sekolahan di sana, Sukarno jatuh cinta pada muridnya yang cantik dan cerdas: Fatmawati.
Percintaannya dengan Fatmawati diketahui istrinya, Inggit. Inggit tak mau dimadu. Sebagaimana umumnya wanita, Inggit tak mau ada mata hari kembar dalam kehidupan rumah tangganya. Pada akhirnya Inggit meminta cerai. Meskipun Inggit sadar bahwa Sukarno orang besar yang sedang membawa misi dan tugas besar. Keputusannya meminta cerai adalah pilihan sulit dan akan membawa beban tersendiri bagi suaminya itu. "Sejak awal aku sadar, cinta saja tak cukup untuk menikah denganmu," kata Inggit pada Sukarno sebelum berpisah.
Selain persoalan cinta dan keluarga, Film ini menceritakan perbedaan "sikap kebangsaan" masing-masing tokoh: Sukarno, Hatta, dan Syahrir. Tiga tokoh yang banyak disinggung dalam Film ini.
Soal bentuk Negara, misalnya, Sukarno cenderung pada NKRI, sementara Hatta Federasi. Sukarno terinspirasi Sumpah Palapa Gajah Mada. Sukarno juga menolak dengan tegas ketika Jepang menawarinya Negara Kerajaan dan menunjuk dirinya sebagai Raja. Juga pada saat terjadi kebuntuan merumuskan dasar negara di sidang BPUPKI, Sukarno tampil membawa Pancasila. Sungguh sebuah sikap kenegarawanan yang hilang dari pemimpin-pemimpin kita.
Namun, saya sedikit kecewa dengan Film yang katanya Maha Karya Hanung Bramantyo ini.
Pertama, kesan yang saya tangkap dari cerita Film ini, seolah-olah yang paling berperan --- atau setidaknya paling menonjol --- dalam proses kemerdekaan Indonesia hanyalah tiga orang: Sukarno, Hatta, dan Syahrir.