Suatu hari ketika Nabi Muhammad SAW sedang tawaf di Ka'bah, datanglah beberapa pemuka Arab. Mereka mengajak Nabi Muhammad SAW untuk "berdamai" dan "berkompromi" dalam beragama. Mereka siap mengikuti ritual agama yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, asalkan Nabi Muhammad SAW juga melakukan ritual ibadah yang mereka jalankan.
Dengan tegas Nabi Muhammad SAW menolak ajakan tersebut. Soal ibadah dan keyakinan, Islam tak mengenal kompromi.
"Biarlah aku tetap menyembah Tuhanku, sebagaimana kalian tetap menyembah Tuhan kalian. Bagiku agamaku, bagimu agamamu," kata Nabi Muhammad SAW (QS al-Kafirun 1-6)
Nabi Muhammad SAW tetap menghormati dan menghargai keyakinan agama lain tanpa merasa sedikitpun terganggu dengan kehadiran mereka. Karena itu tak aneh ketika di Madinah umat Islam hidup damai dan berdampingan dengan Yahudi, Nasrani, Masjusi dan kepercayaan lainnya.
Dari Teologi ke Antropologi
Selama ini problem-problem keagamaan selalu dikaitkan dengan persoalan ketuhanan (teologi) dan sedikit sekali dikaitkan dengan persoalan kemanusiaan (antropologi): bagaimana tanggung jawab manusia kepada Tuhannya saat ini (di dunia) dan nanti (di akhirat)?
Padahal, selain bertanggung jawab kepada Tuhan, pada saat bersamaan manusia dituntut bertanggung jawab kepada sesama dan lingkungan sekitarnya. Tanggung jawab inilah yang seharusnya lebih didahulukan.
Dalam Islam dikenal dengan dua tanggung jawab. Pertama tanggung jawab kepada Tuhan (Haqqu Allah). Kedua tanggung jawab kepada sesama (Haqqu al-Adami). Yang pertama didasarkan pada kemurahan/toleransi Tuhan (mabni ala al-musamahah). Sementara yang kedua bergantung pada "kesepakatan" antar manusia (mabni ala al-musyahah).
Para ulama berpendapat, ketika terjadi benturan (ta'arud) antara Haqqu Allah dan Haqqu al-Adami, maka yang dimenangkan adalah Haqqu al-Adami.
Jadi, ketika sebagian ulama mengaitkan "ucapan selamat natal" dengan persoalan akidah dan keyakinan, sementara pada sisi lain dibutuhkan toleransi antar umat beragama, maka yang diunggulkan adalah alasan dan pertimbangan yang kedua. Biarlah persoalan akidah dan keimanan menjadi urusan Tuhan dengan hambanya.
Saya yakin Tuhan memaklumi dan mengetahui kalau sekadar mengucapkan selamat natal dan memakai simbol-simbol keagamaan tidaklah sampai melunturkan akidah dan memalingkan keimanan. Wallahu a’lambi sawab/