Mohon tunggu...
Jamal Syarif
Jamal Syarif Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan pengajar

Sinta ID: 6023338

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rajab: Transformasi Spriritual Melalui Safar dan Healing

24 Januari 2025   14:21 Diperbarui: 24 Januari 2025   14:21 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bulan Rajab sering menjadi perbincangan di kalangan umat Islam karena menempati posisi istimewa dalam penanggalan hijriah. Beberapa ulama menekankan keutamaan tertentu di bulan ini, sedangkan lainnya mengingatkan agar tidak melampaui batas dengan praktik ibadah yang belum terbukti secara dalil. Meskipun demikian, gagasan mengenai bulan Rajab sebagai waktu melakukan safar serta upaya penyembuhan batin mulai populer akhir-akhir ini. Argumen bahwa Nabi Muhammad Saw. mendapatkan momen istimewa pada bulan ini menambah keyakinan sebagian orang untuk memaknainya sebagai kesempatan memperbaiki diri.

Sebagian pendapat merujuk pada sejumlah riwayat yang menyatakan bahwa perjalanan Isra' dan Mi'raj terjadi di bulan Rajab, meski para ulama berbeda pandangan dalam menentukan waktunya secara pasti. Perjalanan rohani tersebut sering dimaknai sebagai simbol safar dan healing Nabi Muhammad Saw. Tatkala diisra'kan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, kemudian dimi'rajkan ke langit, Baginda Rasul melintasi berbagai pengalaman spiritual yang diyakini membersihkan jiwa beliau serta meningkatkan derajat ruhani. Kisah ini tercantum dalam Al-Qur'an Surah Al-Isra' ayat 1: "Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa..." Meskipun tidak semua mufasir sepakat bahwa peristiwa tersebut terjadi di bulan Rajab, banyak kalangan muslim tetap memanfaatkannya sebagai refleksi akan potensi safar dan healing yang dapat dilakukan pada masa ini.

Perubahan waktu, pergeseran budaya, serta tantangan kehidupan modern mendorong sebagian umat Islam untuk melakukan perjalanan atau safar di bulan Rajab sebagai upaya meneladani jejak perjuangan Rasulullah Saw. Argumennya, pada era Nabi, perjalanan memiliki bobot spiritual karena disertai niat mempelajari ayat-ayat Allah di berbagai tempat, sekaligus merenung akan tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta. Memasuki abad 21, safar tidak lagi mustahil bagi banyak orang mengingat akses transportasi yang kian terbuka. Namun, sebagian masih beranggapan bulan Rajab memiliki aura khusus yang bisa dimanfaatkan untuk menenangkan diri, menyembuhkan kepenatan mental, atau bahkan menguatkan keyakinan spiritual.

Gagasan mengenai healing di bulan Rajab menarik disimak, terlebih di tengah maraknya isu kesehatan mental. Sebagian orang memandang bahwa jika Allah Swt. berkehendak "menyembuhkan" Nabi Muhammad Saw. secara batin ketika mempersiapkannya untuk menerima wahyu-wahyu besar, maka umatnya pun dapat mengambil ibrah serupa. Tidak ada dalil yang secara eksplisit menyebutkan ritual tertentu di bulan ini untuk memulihkan jiwa. Namun, interpretasi personal beberapa muslim menuntun mereka untuk menjadikan Rajab sebagai momen muhasabah, perenungan, dan penataan kembali pola pikir agar lebih selaras dengan ajaran Islam.

Kebutuhan akan healing tak terlepas dari kenyataan hidup modern yang sarat kompetisi, beban pekerjaan, dan segala tekanan sosial. Kaum milenial hingga generasi sesudahnya menghadapi tantangan mental yang kompleks. Bulan Rajab pun digadang-gadang menjadi momentum menepi sejenak, seperti halnya Nabi Saw. memperoleh pengalaman luar biasa yang membersihkan batin. Meskipun para ulama menegaskan bahwa tidak ada ibadah baku yang diwajibkan di bulan Rajab, semangat meniru keteladanan Rasulullah Saw. dalam membersihkan hati merupakan motif yang layak diapresiasi. Menyisihkan waktu untuk zikir, berdoa, dan tafakur menjadi medium untuk menata psikis sekaligus meraih kedekatan dengan Allah Swt.

Argumen bahwa Rajab adalah bulan safar dan healing kadang-kadang memunculkan beragam tanggapan. Sebagian menilai konsep tersebut terlalu menekankan aspek mistis, sementara Islam mengutamakan dalil shahih sebagai landasan. Kritikus berpendapat bahwa memperlakukan bulan Rajab seolah memiliki kekuatan khusus di luar ketentuan syariat berisiko menimbulkan bid'ah atau memunculkan klaim tanpa dasar. Pihak lain menyatakan bahwa Islam membuka pintu luas bagi muslim untuk melakukan renungan pada waktu mana pun, sehingga tidak perlu mengkhususkan satu bulan saja. Meski demikian, hikmah dari peristiwa Isra' dan Mi'raj tetap diakui banyak pihak sebagai pelajaran universal.

Counter-argumen dari pandangan yang mendukung perlunya safar dan healing di bulan Rajab umumnya merujuk pada manfaat psikologis serta spiritual yang bisa diperoleh. Kehadiran waktu tertentu yang menumbuhkan dorongan untuk introspeksi kerap membantu individu menemukan momentum. Memang benar, tidak semua pembahasan tercatat jelas dalam hadis atau ayat, tetapi motivasi yang terbangun saat mendekati bulan Sya'ban dan Ramadan sering membuat umat Islam lebih giat beribadah. Rajab pun dianggap sebagai gerbang menyambut Ramadan, sehingga mempersiapkan mental dan spiritual bukan hal keliru, asal tidak melanggar ketentuan agama.

Solusi bagi perdebatan ini tampaknya terletak pada pendekatan moderat dan bernuansa reflektif. Bulan Rajab bisa dijadikan ajang merencanakan perjalanan bermanfaat, baik secara fisik maupun batin, tanpa mengklaim adanya kewajiban ibadah tertentu yang tidak bersandar pada dalil. Memang tidak ada keharusan mutlak untuk melakukan safar di bulan Rajab, tetapi meneladani semangat perubahan diri Rasulullah Saw. melalui peristiwa Isra' dan Mi'raj dapat menjadi inspirasi kuat. Pemanfaatan momen ini sebagai "healing time" seyogianya tetap berpegang pada prinsip syariat dan menghindari praktek keagamaan tanpa landasan.

Refleksi di minggu terakhir bulan Rajab 1446 H ini sekadar catatan kecil seorang muslim awam. Penulis bukan sosok ahli agama, melainkan pemerhati yang ingin menjadikan perjalanan Isra' Mi'raj sebagai simbol kebangkitan jiwa. Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari tekanan lahir dan batin. Jika momentum pergantian bulan hijriah membuat umat terdorong untuk meraih ketenangan dan memperbaiki keadaan spiritual, maka tidak ada salahnya dimaknai secara positif. Rajab tidak otomatis memberikan jaminan perubahan, tetapi niat yang kokoh untuk bermuhasabah dapat menciptakan suasana kondusif bagi pertumbuhan rohani.

Jika terdapat kekurangan atau ketidakjelasan, mohon sampaikan agar tulisan ini dapat dilengkapi. Paparan di atas hanya sebuah refleksi sederhana tentang bagaimana bulan Rajab dihayati oleh sebagian muslim, terlepas dari perbedaan pendapat yang ada dalam literatur keislaman. Interpretasi mengenai safar dan healing barangkali masih memerlukan penjelasan lebih komprehensif dari para ahli fikih, sejarah, dan tasawuf. Namun, makna simbolik mengenai upaya membersihkan diri di bulan Rajab bisa menjadi pengingat bahwa waktu adalah sarana, sedangkan perubahan sejati selalu berada di tangan Allah Swt. dan ikhtiar setiap hamba.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun