Dharma Wanita Persatuan (DWP) sudah lama berdiri sebagai organisasi istri Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan tujuan menunjang kinerja suami dan berkontribusi dalam kegiatan sosial. Popularitas lembaga ini makin kentara ketika setiap kantor pemerintahan sering menampilkan seragam Dharma Wanita dalam berbagai acara resmi. Pertanyaan muncul di kalangan masyarakat modern, terutama aktivis kesetaraan gender: apakah Dharma Wanita masih relevan di era yang mengedepankan prinsip egalitarianisme, atau justru mempertahankan stereotipe perempuan yang hanya berkiprah di belakang layar?
Sejarah pembentukan Dharma Wanita berkaitan erat dengan masa ketika peran perempuan kerap diposisikan sebagai pendamping suami yang berkontribusi secara domestik. Data internal organisasi menunjukkan bahwa DWP memiliki anggota lebih dari dua juta orang yang tersebar di seluruh Indonesia, menjadikannya salah satu organisasi perempuan terbesar di tanah air. Lembaga ini mengelola berbagai kegiatan sosial dan edukatif, termasuk pelatihan keterampilan, bakti sosial, dan bantuan bagi keluarga ASN yang membutuhkan. Capaian tersebut tidak bisa dianggap remeh, mengingat DWP berhasil menghimpun jaringan yang luas dalam membantu masyarakat di tingkat akar rumput. Namun, perubahan zaman menuntut pertanyaan kritis tentang format dan keberlanjutan Dharma Wanita.
Keberadaan DWP sering dianggap menambah jurang kesenjangan gender, terutama ketika pemimpinnya adalah laki-laki atau ketika seorang perempuan memimpin lembaga, namun tetap dianggap perlu memiliki organisasi "pendamping" semacam Dharma Wanita. Situasi ini menimbulkan ironi: jika pemimpin lembaga adalah perempuan, apakah secara otomatis meniadakan urgensi akan eksistensi Dharma Wanita? Organisasi ini seolah mengandaikan bahwa pemimpin pasti seorang pria, dan perempuan yang melekat padanya bertugas mendukung di balik layar. Padahal, banyak institusi di Indonesia sudah dipimpin perempuan, dan mereka tidak lagi memerlukan "organisasi istri" sebagai penunjang. Kondisi ini menyoroti aspek stereotipe bahwa perempuan tidak menjadi aktor utama melainkan pelengkap.
Argumen yang sering diangkat untuk mempertahankan Dharma Wanita adalah besarnya kontribusi organisasi ini dalam kegiatan sosial. Pengurus DWP mengklaim mampu menggerakkan kaum ibu untuk memberdayakan masyarakat, khususnya dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan keluarga. Anggota DWP juga rutin mengadakan seminar, pelatihan kewirausahaan, dan kegiatan filantropi. Upaya ini jelas berdampak positif pada masyarakat yang belum terjangkau layanan sosial pemerintah. Pihak pendukung organisasi menegaskan bahwa DWP membuka ruang bagi istri ASN untuk berkembang, mengaktualisasikan diri, dan menambah relasi. Aktivitas ini dinilai berkontribusi menumbuhkan kemandirian finansial, sekaligus melatih kepemimpinan perempuan di lingkungan birokrasi.
Kalangan kritikus berpendapat bahwa konsep semacam Dharma Wanita justru meneguhkan diskriminasi sistemik. Sifat keanggotaan yang berbasis status pernikahan dengan ASN menimbulkan batasan artifisial. Peran istri ASN yang tergabung dalam DWP dipandang tidak relevan lagi, karena setiap perempuan, baik lajang maupun sudah menikah, berhak berkiprah di ruang publik atas kapasitasnya sendiri. Tidak ada alasan menempatkan perempuan dalam wadah terpisah hanya karena suaminya kebetulan menduduki jabatan di instansi tertentu. Wacana kesetaraan gender menekankan bahwa perempuan dan laki-laki harus berada dalam platform sama tanpa memandang status hubungan pernikahan.
Skenario "Dharma Pria" pun mengemuka dalam perbincangan publik. Apakah suami pegawai perempuan di instansi pemerintah juga perlu membentuk organisasi serupa? Pihak yang mendukung kesetaraan penuh menilai kehadiran "Dharma Pria" akan menjadi penyeimbang. Walaupun terkesan janggal, konsep itu dinilai dapat menghilangkan kecemburuan sosial sekaligus membuktikan bahwa tanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga bukan semata-mata wilayah perempuan. Penolakan muncul karena dianggap "memaksa" kaum pria masuk ke ranah yang tidak diperlukan, sementara problem utama adalah hilangnya sekat gender, bukan menciptakan wadah baru.
Kritik bahwa Dharma Wanita justru menambah beban perempuan juga tidak bisa diabaikan. Aktivis feminis menengarai bahwa aktivitas di organisasi ini sekilas tampak memberdayakan, namun kenyataannya seringkali menambah tugas domestik yang diperluas. Perempuan tidak hanya mengurus rumah tangga, tetapi juga diharapkan aktif di DWP demi menopang karier suami. Keberadaan DWP dipandang mengukuhkan relasi subordinat bahwa kesuksesan suami adalah tanggung jawab istri. Padahal, era modern menuntut pendekatan setara dalam peran domestik dan publik, sehingga terjaganya keseimbangan tanggung jawab keluarga tidak semestinya menjadi beban tunggal perempuan.
Solusi yang dapat diupayakan mencakup peninjauan kembali peran dan format Dharma Wanita. Modernisasi organisasi ini mutlak dilakukan agar lebih inklusif dan merangkul isu-isu strategis bagi perempuan, bukan sekadar mendukung tugas suami. Program-program pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi, kesehatan reproduksi, literasi digital, dan kepemimpinan perlu ditingkatkan demi menciptakan nilai tambah yang nyata. Opsi menjadikan keanggotaan berbasis kapasitas individual tanpa membedakan status istri ASN atau bukan patut dipertimbangkan, agar organisasi tidak lagi eksklusif dan bias gender.
Rekomendasi lain adalah memupuk kesadaran bahwa peran perempuan dan laki-laki seharusnya seimbang dalam mendukung institusi tempat keduanya berkiprah. Lembaga pemerintah yang dipimpin perempuan tidak serta-merta memerlukan organisasi "istri pemimpin," karena hal tersebut bertentangan dengan semangat kesetaraan. Membangun budaya kerja yang mempertemukan semua pihak dalam forum setara bisa jadi lebih efektif ketimbang mempertahankan struktur kaku. Pembentukan kebijakan yang melibatkan seluruh gender secara adil akan menggugurkan anggapan bahwa Dharma Wanita adalah pengabadian paradigma kuno.
Dharma Wanita, dengan segala kiprahnya, memang tak bisa dipandang remeh. Kontribusi organisasi ini telah banyak membantu program sosial di berbagai wilayah. Pertanyaannya, apakah pola lama yang menekankan eksklusivitas istri ASN masih relevan di era kesetaraan? Transformasi mendasar semestinya dilakukan bila DWP benar-benar ingin menjadi wadah inklusif yang selaras dengan perkembangan zaman. Pembaruan format, tujuan, dan mekanisme keanggotaan bisa membuat Dharma Wanita bukan lagi simbol ketergantungan perempuan pada status suaminya, melainkan wadah pemberdayaan manusiawi yang meruntuhkan sekat konvensional dalam masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI