Mohon tunggu...
Jamal Syarif
Jamal Syarif Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti dan pengajar

Sinta ID: 6023338

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Refleksi Akhir Tahun: Pergulatan Guru dalam Menata Kualitas Pendidikan

30 Desember 2024   07:14 Diperbarui: 30 Desember 2024   07:14 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Memasuki pengujung tahun, isu kualitas pendidikan di Indonesia kembali menjadi sorotan. Peran guru sebagai aktor kunci dalam proses belajar-mengajar sering dihadapkan pada berbagai tantangan yang tidak kunjung selesai. Keadaan ini melahirkan pertanyaan mendasar mengenai sejauh mana profesi guru telah bertransformasi, serta upaya apa yang perlu dilakukan agar upaya peningkatan kualitas pendidikan tidak sekadar menjadi retorika.

Persoalan pertama yang menuntut perhatian adalah ketimpangan kompetensi guru di berbagai daerah. Berbagai survei menunjukkan bahwa rata-rata skor kompetensi guru, khususnya di wilayah tertinggal, masih berada di bawah standar yang diharapkan. Tingkat pemahaman pedagogik dan penguasaan materi ajar sangat bervariasi, tergantung pada latar belakang pendidikan, akses pelatihan, dan dukungan infrastruktur. Fenomena ini menimbulkan kesenjangan mutu pembelajaran di berbagai wilayah, terutama di daerah terpencil yang jauh dari pusat-pusat pelatihan guru.

Beban administrasi yang menumpuk juga menjadi momok bagi banyak pendidik. Pembuatan perangkat pembelajaran, penyusunan laporan, serta beragam dokumen lain menyita waktu dan energi guru hingga melampaui batas wajar. Kondisi ini tak jarang memicu keluhan bahwa guru lebih sering mengurus kertas kerja daripada mengurus siswa. Beberapa pendidik bahkan mengalami kelelahan mental akibat tumpukan tugas administratif yang tidak sebanding dengan waktu luang. Situasi tersebut berisiko menurunkan motivasi mengajar dan menghambat inovasi di kelas.

Distribusi guru yang tidak merata turut menciptakan kendala serius dalam peningkatan mutu pendidikan. Beberapa sekolah di wilayah perkotaan menikmati kehadiran guru berpengalaman dengan kualifikasi tinggi, sementara sekolah di pelosok hanya diisi oleh tenaga pengajar yang minim pengalaman. Ketidakseimbangan ini menyebabkan mutu pembelajaran menjadi sangat timpang. Anak-anak di daerah terisolasi kerap tidak mendapat akses kepada guru spesialis, seperti guru bahasa asing, guru IPA, atau guru seni. Kekurangan ini berdampak pada terbatasnya pilihan kegiatan ekstrakurikuler dan minimnya variasi metode pembelajaran di kelas.

Kesejahteraan guru menjadi pokok permasalahan yang tidak boleh diabaikan. Upah yang tidak selalu sebanding dengan beban kerja menimbulkan kecemasan, terutama bagi guru honorer di berbagai daerah. Beberapa di antara mereka terpaksa mencari pekerjaan sampingan agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kondisi finansial yang labil kerap menggoyahkan dedikasi dan mengikis semangat profesionalisme. Ketika guru dihadapkan pada tekanan ekonomi, fokus untuk berinovasi dan menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif menjadi semakin sulit.

Upaya peningkatan kompetensi guru sebenarnya telah dilakukan melalui berbagai program, seperti pelatihan daring, pendidikan profesi guru (PPG), serta workshop peningkatan mutu mengajar. Namun, hasil di lapangan belum sepenuhnya memuaskan. Sebagian pendidik masih gagap menghadapi era digital yang menuntut literasi teknologi dan metode pembelajaran interaktif. Keberhasilan program pelatihan juga sering terhambat oleh minimnya pendampingan pasca-pelatihan, sehingga keterampilan baru tidak selalu terimplementasi di ruang kelas.

Rekomendasi solusi untuk persoalan guru di penghujung tahun ini layak dibahas lebih lanjut. Pertama, peran pemerintah daerah dan pusat dalam menyusun kebijakan pemerataan guru perlu ditingkatkan. Insentif khusus bagi guru yang bersedia mengajar di daerah terisolasi dapat menjadi stimulus yang efektif. Kedua, pengurangan beban administrasi melalui digitalisasi dan simplifikasi proses pelaporan menjadi langkah mendesak. Kehadiran platform terpadu yang memungkinkan guru mengunggah dokumen secara efisien akan mengurangi tumpukan kerja manual. Ketiga, peningkatan kesejahteraan guru perlu diprioritaskan, baik melalui penyesuaian insentif maupun kebijakan perlindungan sosial. Jaminan kesehatan, kemudahan akses perumahan, serta bantuan finansial bagi guru honorer akan menciptakan iklim kerja yang lebih kondusif.

Resolusi tahun mendatang menuntut semua pemangku kepentingan untuk lebih sinergis dalam memberdayakan guru. Komitmen pemerintah dalam menambah anggaran pelatihan berkualitas harus disertai dengan upaya sistematis memperkuat pendampingan di lapangan. Organisasi profesi guru, seperti PGRI, perlu terus mengawal dan memberikan masukan konstruktif terhadap kebijakan pendidikan. Institusi pendidikan tinggi dapat berkontribusi dengan menyediakan riset terapan yang relevan bagi guru di sekolah. Masyarakat pun berperan dengan mendorong budaya apresiasi, sehingga profesi guru dipandang sebagai tonggak utama pembangunan bangsa.

Pengintegrasian teknologi pendidikan juga patut menjadi agenda utama. Pemanfaatan perangkat lunak pembelajaran berbasis daring, webinar pengayaan materi, dan platform kolaboratif lainnya membantu guru beradaptasi dengan tuntutan zaman. Langkah ini tidak hanya meningkatkan kreativitas, tetapi juga mengatasi kendala geografis yang selama ini menjadi penghambat kualitas pendidikan di wilayah pelosok. Pemanfaatan teknologi seharusnya diiringi dengan pelatihan intensif, agar guru mampu mengoperasikan aplikasi secara efektif serta menerapkannya secara inovatif.

Arah perbaikan di masa depan terletak pada kesadaran bersama bahwa guru bukan sekadar pelaksana kurikulum, melainkan penggerak utama perubahan pendidikan. Pemenuhan hak mereka, mulai dari kesejahteraan hingga beban kerja yang seimbang, akan berimbas positif pada kinerja profesional. Peran guru dalam menanamkan pengetahuan, karakter, serta keterampilan abad ke-21 memerlukan dukungan yang menyeluruh dari seluruh elemen masyarakat. Momentum akhir tahun seyogianya menjadi pijakan untuk menata langkah baru, sehingga harapan akan peningkatan kualitas pendidikan tidak lagi terhalang oleh kendala klasik yang berulang setiap tahun.

Refleksi akhir tahun ini diharapkan menjadi pengingat bahwa perbaikan pendidikan selalu dimulai dari guru yang berdaya dan mampu beradaptasi dengan perubahan. Tahun mendatang diharapkan menjadi ruang bagi seluruh pihak untuk berkolaborasi, merancang kebijakan yang relevan, dan mengeksekusi program yang berfokus pada profesionalisasi guru. Perubahan tidak mungkin terjadi instan, namun konsistensi dan kebersamaan dalam mengeksekusi setiap solusi akan membawa pendidikan Indonesia melangkah lebih maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun