Layar Google Meet menampilkan segiempat kecil wajah-wajah mahasiswa K2 yang duduk di rumah masing-masing. Aku, sebagai dosen pendamping, hanya mengamati dalam keheningan. Sore itu, tatapan semua peserta tertuju pada sosok Bu Nai---guru pendamping modul ajar---yang melontarkan pertanyaan dengan nada lembut, namun berselubung teka-teki.
"Rekan-rekan, apa yang dimaksud dengan 'pemahaman bermakna' dalam modul ajar kita?" tanya Bu Nai, matanya sehalus sinar lampu senja. Dalam kebisuanku sebagai pengamat, aku menanti jawaban. Siapa yang akan membuka suara lebih dulu?
Tak perlu waktu lama, Abdi---mahasiswa yang terkenal dengan keyakinan menggelegar---mengangkat tangan virtualnya. Suaranya lantang, seakan kamera dan mikrofon tak sanggup meredam gairahnya. "Pemahaman bermakna itu tentang apa yang akan siswa raih, Bu! Ini tentang tujuan akhir, tentang hasil belajar yang bisa diukur."
Sejenak, suasana hening. Beberapa peserta mengernyitkan dahi. Di pojok kiri bawah, mikrofon Samaratul yang jarang aktif kini menyala. Suaranya pelan, tapi penuh keyakinan, "Maaf, Abdi, menurutku pemahaman bermakna tidak hanya soal hasil akhir. Lebih dari itu, pemahaman bermakna menyentuh bagaimana siswa mengaitkan pengetahuan baru dengan pengalaman mereka. Ini bukan sekadar angka di atas kertas, tapi makna yang berakar dalam kehidupan mereka."
Wajah Abdi menegang, ia tidak senang pendapatnya disentil. Dengan nada sengit, ia membalas, "Pengalaman dan makna itu bagus, tapi di modul ajar biasanya fokus pada capaian pembelajaran, bukan cerita panjang lebar. Intinya tetap: apa yang siswa capai."
Saidatun, yang semula diam, angkat bicara, "Abdi, hasil belajar memang penting, tapi pemahaman bermakna itu seperti jembatan. Ia menghubungkan materi yang dipelajari dengan kehidupan siswa. Mereka tak sekadar tahu, tapi juga paham mengapa hal itu penting bagi mereka."
Abdi mendengus, "Kalian ini berputar-putar. Modul ajar kan jelas: ada tujuan pembelajaran yang konkret. Mana ada soal makna kehidupan di situ?"
Samaratul menambahkan, "Kalau kita hanya melihat hasil, siswa jadi sekadar mengejar nilai. Padahal pemahaman bermakna mengajak siswa memahami kenapa materi itu relevan, bagaimana materi itu dapat digunakan dalam kehidupan nyata mereka."
Seperti kabut yang makin tebal, ketegangan menyelimuti layar. Beberapa mahasiswa tampak gelisah, takut terseret arus perdebatan. Rahang Abdi mengeras. Ia seolah tak ingin kalah, meski logikanya mulai goyah. Ada rasa gengsi yang tak mau ia lepaskan.
Melihat situasi makin panas, Bu Nai mengaktifkan mikrofonnya. Suaranya lembut, namun penuh kewibawaan, seumpama angin sepoi yang meredakan daun-daun gugur. "Tenang, rekan-rekan," katanya. "Pemahaman bermakna bukan hanya tentang apa yang dicapai siswa, tetapi apa manfaat materi dalam modul ajar tersebut bagi kehidupan mereka."
Abdi terdiam, sorotan matanya sedikit mereda. Bu Nai melanjutkan, "Bayangkan dalam modul ajar matematika, kita tak hanya ingin siswa mampu menjawab soal luas dan keliling. Kita ingin mereka memahami bagaimana konsep itu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, saat mereka menentukan berapa panjang pagar yang perlu dibeli untuk mengelilingi halaman rumah, atau saat mereka menghitung kebutuhan bahan untuk sebuah proyek kecil. Dengan begitu, siswa tak hanya mengejar nilai, tapi mendapat keterampilan yang dapat mereka gunakan di dunia nyata."