Hening memenuhi ruang virtual. Kata-kata Bu Nai menembus pertahanan gengsi Abdi dan menenangkan hati Samaratul maupun Saidatun. Mereka mendengarkan dengan seksama, seakan Bu Nai menyalakan lentera dalam sebuah ruangan gelap.
"Jadi, bukan hanya 'apa' yang dicapai," lanjut Bu Nai, "tapi juga 'mengapa' dan 'bagaimana' itu penting. Ketika siswa paham alasan di balik pembelajaran, mereka akan lebih termotivasi dan materi itu melekat lebih dalam. Itulah yang dimaksud dengan pemahaman bermakna."
Aku melihat Abdi menelan ludah. Pipinya bersemu merah. Mungkin ia mulai menyadari bahwa pendiriannya yang kaku membuatnya terpojok. Samaratul tersenyum tipis, bukan karena menang, tapi karena kebenaran akhirnya terucapkan. Saidatun mengangguk pelan, lega bahwa diskusi ini mengarah pada titik jernih.
Sebagai pengamat bisu, hatiku hangat. Aku menyaksikan bagaimana Bu Nai, dengan kelembutan dan kekuatan kata, mampu meredakan amarah dan kebingungan. Hari ini, kami semua belajar bahwa ilmu bukan sekadar kumpulan fakta mati yang harus dipertahankan tanpa ampun. Ilmu hidup dalam kepala dan hati manusia, memberi makna dan manfaat yang mengalir ke dalam tindakan sehari-hari.
Menjelang akhir pertemuan, mikrofon-mikrofon mulai dimatikan. Hanya keheningan penuh makna yang tersisa. Sore itu, kami menyadari bahwa pemahaman bermakna adalah ketika siswa bukan hanya tahu, tetapi juga menyadari mengapa mereka belajar, untuk apa mereka belajar, dan bagaimana ilmu itu mewarnai hidup mereka.
Aku menutup layar Google Meet dengan sebuah senyuman. Terkadang, perdebatan tidak menghasilkan pemenang atau pecundang, melainkan pemahaman yang lebih mendalam. Itulah pelajaran paling berarti yang kami dapatkan hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H