Pagi itu, suasana ruang kelas doktoral kami terasa sedikit berbeda. Umar, yang biasanya tampil percaya diri dalam setiap presentasi, terlihat gugup. Ketika ia maju ke depan kelas untuk membahas makalahnya yang berjudul Tantangan Evaluasi Pendidikan Islam, ada keheningan yang ganjil, seolah-olah semua orang tahu sesuatu yang tidak ia katakan.
"Maaf jika presentasi saya kali ini kurang maksimal," katanya membuka, suaranya terdengar datar. "Saya mengalami kecelakaan kecil saat bermain bola kemarin. Saya mencoba semampunya menyelesaikan makalah ini."
Presentasinya dimulai, tapi jelas terlihat bahwa Umar tidak berada dalam performa terbaiknya. Slidenya minim data, argumennya terasa dangkal, dan analisisnya jauh dari harapan kami. Ketika ia menutup presentasi, ada jeda singkat sebelum pertanyaan pertama muncul.
Samuel, yang duduk di baris depan, mengangkat tangannya dengan antusias, tapi nada suaranya terdengar tegas, hampir mendesak. "Umar, aku paham situasimu, tapi menurutku alasan kecelakaan bola itu tidak cukup untuk menjelaskan kenapa analisismu begitu dangkal. Evaluasi Pendidikan Islam itu topik besar. Kau bahkan tidak menyentuh isu metodologi yang jadi inti dari tantangan evaluasi."
Umar mencoba menjawab, suaranya sedikit bergetar. "Samuel, saya tahu analisis saya masih kurang. Tapi saya merasa bahwa fokus pada tujuan evaluasi---"
Samuel memotong, suaranya meninggi. "Tujuan evaluasi itu dasar, Umar! Kalau kau hanya berbicara soal itu tanpa menyinggung instrumen dan praktiknya, bagaimana kita bisa menyebut makalah ini layak?"
Herlina, yang biasanya lebih tenang, ikut angkat bicara. "Umar, aku setuju dengan Samuel. Evaluasi itu soal detail, dan makalahmu tidak memberikan peta yang jelas tentang bagaimana tantangan ini bisa diatasi. Kau hanya menyebutkan tantangannya, tapi tanpa solusi."
Umar menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Aku memang berencana menambahkan bagian itu, Herlina. Tapi, karena waktu---"
Hamli memotong dengan nada lembut namun tegas. "Umar, kita semua tahu waktu selalu jadi tantangan. Tapi itu bukan alasan untuk mengabaikan kedalaman analisis. Evaluasi Pendidikan Islam itu kompleks, dan kau harus memberikan sesuatu yang lebih konkret."
Umar terlihat semakin tegang. "Aku menerima semua kritik ini," katanya, suaranya terdengar sedikit serak. "Aku tahu makalah ini tidak sempurna, dan aku akan memperbaikinya."
Namun, kritik tidak berhenti. Samuel kembali melanjutkan, kali ini dengan nada emosional. "Umar, aku tahu kau bisa lebih baik dari ini. Kita tidak bicara tentang sekadar tugas, ini tentang tanggung jawab akademik. Tidak ada ruang untuk alasan di sini."
Aku melihat Umar menghela napas panjang, berusaha menahan emosinya. Suaranya terdengar tegas meskipun sedikit bergetar ketika ia berkata, "Samuel, aku menghargai pendapatmu. Tapi aku tidak mencoba mencari alasan. Aku hanya ingin menjelaskan kenapa presentasiku tidak sesuai harapan."
Ruangan hening sesaat. Ketegangan itu akhirnya dipecah oleh suara lembut tapi penuh wibawa dari Prof. Huda, yang duduk di ujung ruangan. "Umar, presentasimu memang membutuhkan banyak perbaikan. Tapi aku ingin mengingatkan sesuatu pada kita semua."
Semua mata tertuju pada Prof. Huda. Dengan nada santun, ia melanjutkan, "Dalam dunia akademik, kita memang tidak bisa menggunakan alasan untuk menutupi ketidaksempurnaan. Tapi kritik juga harus diiringi dengan empati. Kita harus ingat, tugas kita bukan hanya menunjukkan kekurangan, tapi juga membantu rekan kita untuk berkembang."
Beliau menoleh ke arah Umar, tersenyum tipis. "Umar, tantangan evaluasi memang kompleks, dan analisismu masih membutuhkan kedalaman. Namun, aku melihat potensimu untuk memperbaikinya. Jangan jadikan kritik ini sebagai beban, tapi sebagai dorongan untuk lebih baik."
Kemudian beliau menatap ke seluruh kelas. "Dan untuk kita semua, mari kita ingat bahwa kesempurnaan bukan sesuatu yang langsung tercapai. Dalam perjalanan akademik ini, ada ruang untuk belajar, ruang untuk gagal, dan ruang untuk bangkit kembali."
Suasana ruangan menjadi lebih tenang, bahkan Samuel tampak menunduk sedikit, seolah-olah menyadari nada kritiknya tadi terlalu keras. Umar, meskipun masih terlihat tegang, mengangguk dengan penuh rasa hormat.
Ketika kelas berakhir, aku duduk sejenak, merenungkan apa yang baru saja terjadi. Perdebatan ini mengajarkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar teori evaluasi. Tidak ada ruang untuk alasan di dunia akademik, tapi tidak ada juga ruang untuk mengabaikan kemanusiaan.
Di luar kelas, aku melihat Umar berbicara dengan Samuel, Herlina, dan Hamli. Mereka tertawa kecil, suasana yang tadi tegang berubah menjadi keakraban. Mungkin, dalam kritik yang tajam sekalipun, ada pelajaran tentang dukungan dan kepercayaan.
Seperti yang dikatakan Prof. Huda, "Tidak ada alasan untuk berhenti, hanya ada kesempatan untuk terus belajar." Dan itulah inti dari perjalanan ini: belajar tanpa alasan, dengan keyakinan untuk menjadi lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H