Aku melihat Umar menghela napas panjang, berusaha menahan emosinya. Suaranya terdengar tegas meskipun sedikit bergetar ketika ia berkata, "Samuel, aku menghargai pendapatmu. Tapi aku tidak mencoba mencari alasan. Aku hanya ingin menjelaskan kenapa presentasiku tidak sesuai harapan."
Ruangan hening sesaat. Ketegangan itu akhirnya dipecah oleh suara lembut tapi penuh wibawa dari Prof. Huda, yang duduk di ujung ruangan. "Umar, presentasimu memang membutuhkan banyak perbaikan. Tapi aku ingin mengingatkan sesuatu pada kita semua."
Semua mata tertuju pada Prof. Huda. Dengan nada santun, ia melanjutkan, "Dalam dunia akademik, kita memang tidak bisa menggunakan alasan untuk menutupi ketidaksempurnaan. Tapi kritik juga harus diiringi dengan empati. Kita harus ingat, tugas kita bukan hanya menunjukkan kekurangan, tapi juga membantu rekan kita untuk berkembang."
Beliau menoleh ke arah Umar, tersenyum tipis. "Umar, tantangan evaluasi memang kompleks, dan analisismu masih membutuhkan kedalaman. Namun, aku melihat potensimu untuk memperbaikinya. Jangan jadikan kritik ini sebagai beban, tapi sebagai dorongan untuk lebih baik."
Kemudian beliau menatap ke seluruh kelas. "Dan untuk kita semua, mari kita ingat bahwa kesempurnaan bukan sesuatu yang langsung tercapai. Dalam perjalanan akademik ini, ada ruang untuk belajar, ruang untuk gagal, dan ruang untuk bangkit kembali."
Suasana ruangan menjadi lebih tenang, bahkan Samuel tampak menunduk sedikit, seolah-olah menyadari nada kritiknya tadi terlalu keras. Umar, meskipun masih terlihat tegang, mengangguk dengan penuh rasa hormat.
Ketika kelas berakhir, aku duduk sejenak, merenungkan apa yang baru saja terjadi. Perdebatan ini mengajarkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar teori evaluasi. Tidak ada ruang untuk alasan di dunia akademik, tapi tidak ada juga ruang untuk mengabaikan kemanusiaan.
Di luar kelas, aku melihat Umar berbicara dengan Samuel, Herlina, dan Hamli. Mereka tertawa kecil, suasana yang tadi tegang berubah menjadi keakraban. Mungkin, dalam kritik yang tajam sekalipun, ada pelajaran tentang dukungan dan kepercayaan.
Seperti yang dikatakan Prof. Huda, "Tidak ada alasan untuk berhenti, hanya ada kesempatan untuk terus belajar." Dan itulah inti dari perjalanan ini: belajar tanpa alasan, dengan keyakinan untuk menjadi lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H