Saat ia melintasi garis itu, stadion pecah oleh sorak-sorai. Aku melihat papan skor: Haikal menang. Juara pertama.
Aku terpaku. Baru kali ini, setelah bertahun-tahun mendampingi siswa di berbagai kompetisi, aku merasakan gelombang emosi yang begitu kuat. Air mata mengalir tanpa bisa kutahan. Di sebelahku, Yupi menepuk bahuku, matanya pun basah.
"Abdi, perjuangan kita nggak sia-sia," katanya lirih.
Aku mengangguk, tak mampu berkata-kata. Di lintasan, Haikal berlutut, tangannya mengepal ke udara. Aku tahu, itu adalah tangisan kemenangan, tangisan seorang anak yang telah melampaui batas dirinya.
Setelah penyerahan medali, Haikal berjalan tertatih ke arah kami. Aku menyambutnya dengan pelukan erat.
"Pak, saya berhasil," katanya dengan suara bergetar. "Terima kasih sudah percaya sama saya."
"Haikal, ini bukan cuma soal kepercayaan kami," balasku. "Ini tentang kamu yang percaya pada dirimu sendiri. Kamu yang luar biasa."
Di belakangku, Yupi tersenyum lebar. "Kamu buktikan pada dunia, Haikal. Cedera nggak bisa menghalangi tekad yang kuat."
Malam itu, kami duduk di kamar hotel, menatap medali emas yang kini tergantung di leher Haikal. Ada keheningan di antara kami, tapi keheningan yang penuh makna. Aku merasa, perjuangan kami semua---dari cedera, rasa cemas, hingga detik-detik menegangkan di lintasan---telah terbayar dengan pelajaran hidup yang begitu berharga.
Dalam hati, aku merenung. Hidup adalah tentang bagaimana kita menghadapi rintangan, bukan menghindarinya. Dari Haikal, aku belajar bahwa keberanian tidak berarti tanpa rasa takut, melainkan tentang melangkah meski ada rasa takut itu.
Aku memandang Haikal yang kini tertidur kelelahan, medali emasnya masih menggantung di leher.