Ide pembentukan presidential club yang disuarakan oleh Prabowo akhir-akhir ini mencuat ke publik. Ide ini mendapat respon pro dan kontra, baik dari kalangan elit partai politik, akademisi, maupun pengamat politik. Bagi yang setuju dengan gagasan ini berdasarkan pada upaya rekonsiliasi yang ingin diwujudkan Prabowo dengan cara merajut harmonisasi para mantan Presiden RI. Ide musyawarah antar mantan Presiden ini mengharapkan sosok Prabowo sebagai jembatan untuk mengatasi kebuntuan komunikasi antara Megawati-SBY dan ketegangan antara Megawati-Jokowi. Prabowo ingin mendapat masukan maupun pengalaman pemerintahan dari para mantan Presiden RI. Bahkan ia mengklaim punya hubungan kedekatan yang baik dengan almarhum Gus Dur dan Habibie, semasa hidup dua mantan Presiden RI tersebut. Prabowo juga masih menjaga hubungan baik dengan Titik Suharto yang merupakan mantan istrinya. Alasan-alasan tersebut yang mendasari Prabowo diharapkan sebagai sosok melting pot, titik temu untuk mewujudkan pertemuan dan tradisi bermusyawarah antar para mantan Presiden.
Lain halnya bagi pihak yang kontra, ide ini dianggap hanyalah upaya untuk memberangus kekuatan oposisi di parlemen. Komposisi antara koalisi partai pemenang pemilu dengan yang kalah memang bisa mengkhawatirkan Prabowo. Berdasarkan hasil pemilu legislatif yang dirilis oleh KPU RI, gabungan raihan suara kursi parlemen dari partai koalisi Prabowo-Gibran sebesar 47,42%, artinya belum mencapai separuh dari kursi nasional. Bandingkan dengan kekuatan gabungan dari koalisi partai yang kalah pemilu yaitu sebesar 51,72%, di luar Partai Buruh sebesar 0,64% dan PKN sebesar 0,22% yang tidak bergabung pada koalisi manapun.
Realitas politik tersebut yang dianggap mendasari tindakan Prabowo dalam melakukan safari politik hanya untuk melemahkan kekuatan politik di parlemen. Terbukti dengan pernyataan dukungan terhadap pemerintahan yang sah dari PKB yang memiliki suara 10,62% dan Partai Nasdem yang memiliki suara 9,66 %, bisa merubah peta konfigurasi politik di DPR menjadi 67,7 % suara pendukung pemerintah berbanding 31,44 % kekuatan oposisi. Itupun belum terhitung bila PPP resmi merapat, PDIP berhasil dirayu, dan PKS akhirnya bisa diterima oleh koalisi Prabowo. Bila itu semua terjadi, maka dagelan politik ini tidak lain hanya sekedar  strategi melanggengkan kekuasaan dan legacy yang pada akhirnya berujung pada bagi-bagi jatah menteri.
Jalan terjal rekonsiliasi
Paradigma yang coba dibangun bukan hanya mengakomodasi koalisi partai politik pengusung yang sudah berkeringat dan berdarah-darah dalam memenangkan kontestasi pilpres. Prabowo mencoba untuk membuka ruang rekonsiliasi dari kekuatan partai politik yang lain. Namun, upaya Prabowo untuk merangkul semua kekuatan politik dari koalisi partai politik pengusung pasangan Anies-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud menghadapi jalan berliku. Setelah mampu mendapatkan pengakuan kemenangan dan dukungan dari Surya Paloh sebagai Ketua Umum Partai Nasdem, dan Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum PKB, kini patut ditunggu, mungkinkah PDIP, PPP, maupun PKS akan ikut merapat?
Tiga partai tersebut merupakan partai-partai besar, yang sudah kenyang asam-garam perpolitikan Indonesia. Sekalipun positioning politik ketiganya berbeda, dikarenakan PPP berdasarkan perhitungan KPU, gagal melewati ambang batas parliementary treshold karena hanya mampu meraih 3,87 % suara nasional. Namun suara konstituen PPP yang terdiri dari segmentasi kelompok islam tradisional, basis massa kelompok tua (generasi X), dan secara geografis berada di pedesaan, tentu masih diperhitungkan oleh Prabowo untuk menguatkan citra pro islam tradisionalis di daerah-daerah basis PPP dan pesantren.
Hubungan Prabowo-PPP bisa dijembatani oleh sosok Sandiaga Uno yang merupakan ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PPP pada Pilpres 2024 namun juga merupakan pasangan Prabowo pada kontestasi Pilpres 2019. Selain itu, PPP secara de facto saat ini masih solid mendukung dan menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi. Sehingga, potensi bergabungnya PPP ke koalisi Prabowo-Gibran cukup besar.
Berbeda dengan PPP, potensi bergabungnya PKS dan PDIP lebih rumit. Kedua partai tersebut memang memiliki kesamaan, yaitu sama-sama memiliki mentalitas berani menjadi oposisi pemerintah. Setidaknya pasca era reformasi, PDIP sudah pernah dua kali menjadi oposisi pada pemerintahan SBY, begitupula PKS juga sudah pernah dua kali menjadi oposisi pada pemerintahan Jokowi. Modal mentalitas politik yang mereka miliki seharusnya tidak menyulitkan sebagai pihak yang kalah dalam kontestasi pemilu, untuk memutuskan mengambil peran sebagai check and balances kepada pemerintah yang berkuasa. Modal inilah yang tidak dimiliki oleh Partai Nasdem, PKB, maupun PPP, sehingga terkesan ketiga partai tersebut, apapun alasannya, tidak akan tahan dari godaan tawaran duduk di kursi empuk kekuasaan pemerintahan.
Secara hubungan antar partai, sebetulnya Gerindra dengan PDIP maupun Gerindra dengan PKS, memiliki investasi modal politik di masa lalu. Gerindra dengan PDIP misalnya, dalam catatan sejarah pernah terlibat perjanjian politik yang terkenal dengan sebutan perjanjian batu tulis pada Pilpres 2009. Inti di salah satu poin perjanjian tersebut, Megawati balik akan mendukung Prabowo pada Pilpres 2014, namun yang terjadi adalah pengkhianatan perjanjian karena justru di 2014 Megawati mendukung Jokowi untuk melawan Prabowo.
Politik rekonsiliasi dan kelapangan hati yang ingin dilakukan Prabowo sebetulnya menjadi tanda untuk menutup catatan menyedihkan karena telah dikecewakan di masa lalu. Itulah inti dari gagasan presidential club. Tapi masalahnya, niat baik tersebut bisa bertepuk sebelah tangan bila melihat karakteristik Megawati yang cenderung tidak bisa melepaskan diri dari luka-luka politik masa lalu. Bagaimana mungkin membayangkan Megawati mapun kader PDIP di kementerian, bisa duduk dalam satu ruang pada sidang kabinet di mana ada Gibran selaku Wapres sekaligus putra Jokowi? Lalu di sana juga ada mbak Titik yang merupakan putri Suharto? Kemudian di sana juga ada AHY sebagai salah satu menteri sekaligus putra SBY? serta ada Surya Paloh yang terlibat perang dingin dengan Megawati? Tentu hipotesa politik tersebut bisa menjadi barrier yang tebal untuk terwujudnya politik rekonsiliasi antara Pemerintahan Prabowo dengan PDIP.