Mohon tunggu...
Jalya Azzalia
Jalya Azzalia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

halo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Self-Diagnose: Why is That Dangerous?

20 September 2022   23:44 Diperbarui: 20 September 2022   23:49 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Seiring berkembangnya zaman khususnya di bidang teknologi, banyak hal yang dapat diakses dan ditelusuri dengan mudahnya lewat internet. Mulai dari berita bencana, gosip selebritas, hingga informasi kesehatan yang akan menjadi topik utama artikel ini. Dibalik kemudahan memperoleh informasi tersebut, ada satu dampak negatif bagi manusia yaitu self-diagnose.

Self-diagnose adalah sebuah kondisi ketika seseorang yang melakukan diagnosa mandiri menempatkan diri sebagai seseorang yang sakit (the sick role) atau upaya mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang didapat secara mandiri. Entah apa penyebabnya, namun fenomena self-diagnose ini seperti menjadi ajang "pamer" bagi masyarakat Indonesia khususnya kalangan remaja yang menganggap mental illness adalah sesuatu yang keren dan superior. Contoh penyakit yang sering menjadi "sasaran" yaitu bipolar (manic depression), gangguan kecemasan (anxiety), gangguan makan (eating disorder), dan depresi. Tak jarang alasan mereka melakukan self-diagnose tersebut demi mendapat perhatian dari orang sekitar. Padahal bagi tenaga medis sendiri butuh waktu yang lama untuk mengulik seluk-beluk suatu masalah kesehatan sebelum diagnosis pasiennya.

Dilansir dari detik.com, Retha Arjadi, seorang Psikolog Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya menuturkan, self diagnosis tentu akan membawa dampak yang berbahaya bagi diri sendiri. "Jika seseorang meyakini bahwa dia depresi, dapat merusak hubungan sama dirinya sendiri, serta orang lain, sehingga sangat tidak disarankan untuk menetapkan penyakit tanpa konsultasi, terlebih penyakit yang cenderung menjurus kesehatan mental," jelasnya. Dilansir dalam Nareza (2020, p. 5--14) juga, terdapat beberapa dampak negatif yang mungkin muncul setelah melakukan self-diagnose;

  • Salah diagnosis. Seperti yang kita ketahui, diagnose ditentukan berdasarkan analisis menyeluruh mulai dari gejala, riwayat kesehatan, faktor lingkungan, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang. Bahkan beberapa di antaranya membutuhkan berbagai pemeriksaan lanjutan serta observasi lebih lanjut untuk mengetahui jika terdapat masalah pada fisik maupun mental. Maka, jika dilakukan self-diagnose akan ada beberapa faktor penting yang terlewat dan terjadi false diagnose karena gejala yang dirasakan tidak dapat disimpulkan dengan hanya bergantung pada apa yang tercantum, namun harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
  • Salah penanganan. Kesimpulan diagnosa yang tidak tepat berkemungkinan besar akan membuat penanganan yang keliru. Obat-obatan yang diresepkan atau pengobatan yang dilakukan setelah self-diagnose dapat menimbulkan hal yang fatal. Setiap penyakit memiliki penanganan, jenis, dan pengobatan yang berbeda sehingga melakukan self-diagnose dapat memberikan efek samping yang tidak baik atau berbahaya.
  • Memicu kondisi kesehatan menjadi lebih parah. Mulai dari obat dan/atau pengobatan yang keliru, tidak menyembuhkan penyakit yang diderita namun malah memicu munculnya penyakit lain (komplikasi)

Menurut Annisa Poedji Pratiwi, Psikolog dari Pijar Psikologi, daripada melakukan self-diagnose yang belum tentu benar dan banyak dampak negatifnya, akan lebih baik jika kita fokus menjaga dan meningkatkan kesehatan mental kita. Masih mengenai Annisa Poedji Pratiwi, berikut beberapa hal yang menandakan sehat mental: mengenal kemampuan diri, mampu mengatasi stress sehari-hari, produktif, dan berkontribusi atau bersosialisasi di lingkungan sekitar. Self-diagnose sangat mungkin terjadi di sekitar kita bahkan diri kita sendiri, jadi perlu mawas diri, perlu kesadaran diri juga lebih skeptis dan lebih kritis terhadap informasi yang didapat. Jika merasa tidak enak atau ada yang salah dengan diri anda, segera hubungi atau berkonsultasi dengan ahlinya alih-alih menggali dan menerapkan informasi yang didapat via internet/sosial media, ya!

Nama : Jalya Azzalia

NIM : 202210230311143

Daftar Pustaka

Bipolar disorder - Symptoms and causes. Mayo Clinic. (2022). Retrieved 20 September 2022, from https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/bipolar-disorder/symptoms-causes/syc-20355955.

Darmadi, D. (2022). "Self Diagnosis" dan Pamer "Mental Illness". detiknews. Retrieved 20 September 2022, from https://news.detik.com/kolom/d-5886182/self-diagnosis-dan-pamer-mental-illness.

Bahaya Self Diagnosis Bagi Kesehatan Mental -- RDK FM UIN JAKARTA. Rdk.fidkom.uinjkt.ac.id. (2022). Retrieved 20 September 2022, from https://rdk.fidkom.uinjkt.ac.id/index.php/2019/12/16/bahaya-self-diagnosis-bagi-kesehatan-mental/.

Elibrary.unikom.ac.id. (2022). Retrieved 20 September 2022, from https://elibrary.unikom.ac.id/id/eprint/6048/8/4.%20UNIKOM_Siti%20Sadida_BAB%20II.pdf.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun