Roda Jaman Sidoarjo (Bag. 4- Habis)
Oleh : Jaludieko Pramono
Jika mengacu pada penulisan dalam buku sejarah Sidoarjo yang dihimpun Panitia Penggalian Sejarah Sidoarjo (PAPENSE) di tahun 1970 disebutkan bahwa nama awal Sidoarjo adalah Sidokare yang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Surabaya.
Kewilayahan secara administratif itu dimulai sejak tahun 1851. Dimana saat itu daerah Sidokare dipimpin seorang patih bernama R. Ng. Djojohardjo yang bertempat tinggal di kampung Pucang Anom.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, ia dibantu seorang wedana yaitu Bagus Ranuwiryo yang berdiam di kampung Pangabahan. Kondisi ini berjalan selama delapan tahun sebelum akhirnya Sidokare ditetapkan pemerintah kolonial Belanda sebagai kabupaten baru.
Penetapan ini didasarkan pada Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda no. 9/1859 tanggal 31 Januari 1859 Staatsblad No. 6. Dan sejak saat itu Sidokare tidak lagi menjadi daerah bagian dari Kabupaten Surabaya. Momentum inilah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari jadi Kabupaten Sidoarjo.
Sesuai dengan statusnya, juru pemerintahan tertinggi di Sidokare adalah Bupati. Dan bupati pertama adalah putera dari Bupati Surabaya yang bernama R. Notopuro yang bergelar RTP. Tjokronegoro yang saat itu berkedudukan di kampung Pandean. Sedangkan alun-alunnya berada di Pasar lama yang kini lebih dikenal warga Sidoarjo sebagai pertokoan Matahari di Jl Gajah Mada.
Empat bulan kemudian, tepatnya 28 Mei 1859 keluar lagi Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 10/1859 tanggal 28 Mei 1859. Dalam Staatsblad itu nama Kabupaten Sidokare diganti dengan Kabupaten Sidoarjo.
Sidoarjo saat itu dibagi menjadi 6 Kawedanan. Yaitu Kawedanan Gedangan, Kawedanan Sidoarjo, Kawedanan Krian, Kawedanan Taman Jenggolo, Kawedanan Porong Jenggolo dan Kawedanan Bulang.
Kala itu Bupati pertama Sidoarjo, memindahkan rumah dinasnya dari Pandean ke Kampung Pucang. Disini ia membangun masjid Jamik yang sekarang disebut Masjid Agung Sidoarjo, namun masih dalam bentuk yang sangat sederhana.
Sedang di sebelah Baratnya dijadikan areal pemakaman keluarga bupati yang dinamakan Pesarean Hing Pendem (Asri). Bahkan ia sendiri yang menjadi orang pertama yang dimakamkan disana di tahun 1862.
Setelah kematian R Notopuro, Belanda mengangkat kakak almarhum, Kanjeng Djimat Djokomono sebagai Bupati Sidoarjo yang bergelar R.T.A.A Tjokronegoro II yang sebelumnya menduduki jabatan serupa di Lamongan.
Pada masa pemerintahannya Bupati Tjokronegoro II banyak melakukan proses pembangunan wilayahnya. Antara lain, meneruskan pembangunan Masjid Jamik dan perbaikan Pesarean Pendem. Ia juga mendatangkan orang-orang Madura untuk membuka kawasan Magersari yang akhirnya bertempat tinggal disana.
Masa pemerintahan Tjokronegoro II berjalan selama 21 tahun hingga akhirnya ia dipensiunkan di tahun 1883. Tak lama kemudian iapun meninggal dunia dan dimakamkan di Pesarean Botoputih Surabaya.
Sebagai gantinya diangkat R.P Sumodiredjo pindahan dari Tulungagung tetapi hanya berjalan 3 bulan karena wafat pada tahun itu juga dan dimakamkan di Pesarean Pendem. Kedudukannya pun diisi RAAT. Tjondronegoro I.
Sejak dilantik, bupati ini banyak melakukan gebrakan-gebrakan. Diantaranya menyempurnakan bangunan Masjid Jamik. Rumah Ibadah itu diperluas dan diperindah dengan pemasangan marmer pada lantainya.
Pembangunan ini dimulai hari Jum'at Kliwon tanggal 26 Muharrom 1313 H, bertepatan dengan tahun Wawu 1825 dan tanggal 19 Juli 1895. Pesarean para Bupati serta keluarganya, para penghulu dan segenap ahlul masjid ditetapkan di pekarangan Masjid Jamik.
Ia memerintah hingga tahun 1906 dan digantikan RAAP. Tjondronegoro II yang menduduki jabatan tersebut hingga tahun 1924. Hampir tak ada catatan sejarah yang ditulis di masa itu. Setelah dua tahun mengalami kekosongan pimpinan, Kabupaten Sidoarjo kembali mendapat Bupati bernama Sumodiputro di tahun 1926 hingga 1932. Kekosongan jabatan kembali terjadi di tahun itu hingga 1933 saat Sidoarjo dipimpin RAA. Soejadi hingga tahun 1947.
Di tahun 1942, tepatnya 8 Maret terjadi perubahan konstelasi politik dunia. Dimana pada saat itu Jepang mampu tampil di depan dan menghegemoni kekuasaan negera-negara Eropa di Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Pada tanggal itu pemerintah kolonial Hindia Belanda di Indonesia berpindah tangan pada Kekaisaran Jepang. Pemerintahan Jepang sangat militeristik sehingga tidak sedikit para pemimpin dan Pamong Praja yang dianggap merintangi Pemerintahan Jepang menjadi korban Kempetai. Dimana-mana dibentuk Seinendan dan Keibondan dan (sebagai pembantu Polisi ), hingga ke desa-desa terpencil.
Namun kekuasaan ini tak berlangsung lama. Pasca dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, kekuasaan global pun kembali ke tangan Amerika, Inggris dan negera-negara sekutunya.
Masa transisi inilah yang kemudian dimanfaatkan politikus Indonesia untuk mengambil alih kekuasaan di Nusantara dengan dikumandangkannya Proklamasi oleh Soekarno – Hatta di tanggal 17 Agustus 1945.
Meski begitu, Belanda tak mau tinggal diam. Mereka tak mengakui kemerdekaan Indonesia dan tetap menganggap Indonesia sebagai wilayah jajahannya. Lantaran itulah di tahun-tahun tersebut hingga 1949, Belanda tetap melakukan serangan-serangan pada tentara Indonesia yang mereka sebut sebagai aksi polisionil melawan para pemberontak.
Perang pun kembali pecah diu seluruh wilayah Nusantara, tak terkecuali di Sidoarjo. 24 Desember 1946 Belanda mulai menyerang kota Sidoarjo yang dijalankan dari jurusan Tulangan.
Maka pada hari itu juga Daerah Sidoarjo jatuh ketangan Belanda. Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo dipindahkan lagi ke daerah Jombang. Dan mulai saat itu Sidoarjo berada dibawah pemerintahan Recomba yang berjalan hingga tahun 1949.
27 Desember 1949 Belanda menyerahkan kembali kekuasaan pada Pemerintahan Republik Indonesia, maka waktu itu juga Daerah Delta Brantas dengan sendirinya menjadi daerah Republik Indonesia.
Tidak lama sesudah penyerahan kembali Kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia, berdasarkan Undang-Undang No. 22/1948, R. Soeriadi Kertosoeprojo diangkat menjadi Bupati/Kepala Daerah di Kabupaten Sidoarjo.
Banyak kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo yang baru. Lebih-lebih karena Daerah Delta Brantas merupakan daerah penghubung antara kota Surabaya dengan daerah pedalamanan.
Kekacuauan- kekacuauan mulai timbul lagi di daerah-daerah terutama disebabkan dari usaha-usaha pengikut Belanda yang tidak mau tunduk dibawah Pemerintahan Republik Indonesia.
Diantara pengacau-pengacau itu ialah pengacau yang dipimpin oleh bekas Lurah desa Tromposari (Kecamatan Jabon) yaitu Imam Sidjono alias Malik. Didalam menjalankan kekacauan itu, Malik berusaha supaya lurah-lurah lainnya membantu dia. Tidak sedikit Pamong Desa dan Lurah lainnya yang menjadi alat Malik.
Senjata yang mereka gunakan ternyata bekas kepunyaan KNIL. Daerah kekuasaannya ialah daerah segitiga : Gempol - Bangil - Pandaan, dan daerah Kabupaten seluruhnya masuk daerah operasinya.
12 Mei 1951, berkat adanya kerja sama Pamong Praja, Polisi dan Tentara, kerusuhan reda dan Malik tertangkap di daerah Bangil. Operasi-operasi dijalankan terus dan baru pada permulaan Agustus 1951 keadaaan di daerah Delta Brantas dapat dikatakan aman dan terkendali.
Pemerintahan lambat laun berjalan lancar kembali sampai ke pelosok-pelosok desa. Sehingga jika dihitung dari terbitnya stanblad No 6 per tanggal 31 Januari 1859 hingga saat ini sudah ada 19 nama pemimpin Kabupaten Sidoarjo.
Mereka memerintah semasa Sidoarjo berada dalam kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, Jepang, Masa Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi dengan berbagai masalah dan tantangannya.
Kini Sidoarjo sudah menjelma menjadi Kabupaten dengan Pendapatan Asli Daerah tertinggi di Jawa Timur. Bahkan di tahun 2012 ini, kekuatan Anggaran Pendapatan dan Belanda Daerah (APBD) Sidoarjo mencapai Rp 1,3 triliun.
Sejarah panjang Sidoarjo dan kemajuan yang dialami saat ini membuat rakyat kota Delta berharap segera menemukan kondisi yang aman, nyaman, tentram dan makmur bagi semua kalangan masyarakat.(habis)
BUPATI SIDOARJO DARI MASA KE MASA
1. R.T. Tjokronegoro 1 1859-1863
2. R.T. Tjokronegoro 2 1863-1883
3. Sumodirejo 1883-(wafat 3 bulan kemudian)
4. R.A.A.P. Tjondronegoro 1 1883-1906
5. R.A.A.P. Tjondronegoro 2 1906-1924
6. Sumodiputro 1926-1932
7. - kosong 1932-1933
8. R.A.A. Soejadi 1933-1947
9. K.Ng. Soebakti Pusponoto 1947-1949
10. Soeharto 1949-1950
11. R. Soeriadi Kertoprojo 1950-1958
12. H.A. Choedori Amir 1958-1959
13. R.H.Samadikoen 1959-1964
14. H.R.Soedarsono 1965-1975
15. H. Soewandi 1975-1985
16. Soegondo 1985-1990
17. Edhi Sanyoto 1990-1995
18. Soedjito 1995-2000
19. Drs Win Hendrarso & H. Saiful Ilah SH 2000-2010
20. H. Saiful Ilah SH & Drs. H. MG Hadi Soecipto 2010 - sekarang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H