Mohon tunggu...
Moh JalilIhsan
Moh JalilIhsan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yang Sarjana Juga Nganggur

3 Mei 2017   01:30 Diperbarui: 3 Mei 2017   01:54 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

               Tulisan ini berangkat dari timbulnya persepsi masyarakat pedalaman, yang sepertinya masih menjanggal di benak penulis. Mereka beranggapan bahwa kuliah itu tidak penting, dengan alasan realitasnya ada beberapa bahkan banyak lulusan kuliah yang masih kesusahan mencari lapangan kerja, sehingga tidak sedikit pula lulusan kuliah yang kerja tidak sesuai gelar kesarjanaannya seperti jaga warnet, kerja di bengkel, bahkan ada juga yang kerjanya serabutan (nek ono yomegawe, nek ga ono yo turu), hal ini istilah kerennya biasa kita sebut dengan “Pengangguran Intelektual”.

                Persepsi seperti ini mungkin tidak hanya terjadi di daerah penulis, mungkin saja juga terjadi di daerah lain. Kita sebagai objek gunjingan tersebut jangan cuma bisa tersinggung, namun juga harus memikirkan bagaimana cara meluruskan persepsi masyarakat terkait. Persepsi tersebut tentu sangat berpengaruh terhadap status/kondisi pendidikan masyarakat, dantentunya juga berpengaruh terhadap kondisi sosialnya. Semakin baik pendidikan suatu masyarakat maka semakin baik pula kondisi sosialnya, dan di situ pula letak batu loncatan Negeri ini untuk lebih maju. Akan tetapi sebaliknya, semakin buruk pendidikan di suatu masyarakat maka semakin buruk pula kondisi sosialnya, dan di sini pula awal kehancuran Negeri tercinta ini, na’udzubilLah...

                Sebenarnya rasionalisasinya sangat mudah untuk menjawab persepsi masyarakat seperti itu. Jika mereka mengatakan bahwa kuliah tidak kuliah sama saja karena pada realitasnya masih ada sarjana yang nganggur. Maka kita juga beri pernyataan kepada mereka, bahwaorang yang berkendara di tepi/pinggir sama saja dengan orang berkendara di tengah,karena pada realitasnya dua-duanya sama-sama pernah mengalami kecelakaan. Kita lihat tanggapan mereka, yang pasti mereka tidak sependapat dengan pernyataan kita. 

                Artinya adalah “hidup inirealistis saja”. Pikirkan yang mungkin-mungkin saja sesuai dengan kemampuan berpikir manusia pada umumnya. Jangan terlalu jauh berpikir sehingga terlalu kabur dari rasionalisasi manusia pada umumnya. 

                Premis positif dari sarjana yang kerja di bengkel (misalnya) adalah “untung dia kuliah, kuliah saja dia jadi tukang bengkel apalagi gak kuliah, mungkin saja dia jadi pencopet, begal, dan sebangsanya”. Jadi, kalau dia tidak kuliah, yang jelas kemungkinan besarnya dia akan lebih buruk dari keadaan yang sekarang. Untuk orang yang rasionya masih sehat pasti kerangka berpikirnya ke arah positif (premis popsitif), berbeda dengan orang yang rasionya sudah sedikit eror pasti kerangka berpikirnya ke arah negatif (premis negatif) terus.

                Semoga kita tergolong orang yang berpegang teguh pada premis positif, sehingga bisa meluruskan persepsi masyarakat nantinya.

 

 

Wallahu a’lam

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun