Mohon tunggu...
Moh JalilIhsan
Moh JalilIhsan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Autis dan Rahasia Tuhan

21 Maret 2017   23:37 Diperbarui: 21 Maret 2017   23:41 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap sore sudah kewajiban saya untuk mengajar di salah satu TPQ daerah Malang. Karena yang ngaji memang mayoritas anak kecil maka suasana canda tawa, ramai, itu semua sudah biasa. Di sisi lain sudah menjadi tabi’at semua anak kecil untuk memiliki sifat aktif seperti lari-lari, banyak ngomong, usil, dan lain sebagainya, justru kalau anak kecil yang pendiam yang kadang perlu kita waspadai dan perlu kita temukan permasalahannya.

Suatu ketika saya mendapati seorang anak yang menangis, setelah saya cari tau ternyata penyebabnya karena dia keliru nulis, saya mengintruksikan untuk menulis Surah Al-Falaq namun dia nulis Surah Al-‘Alaq. Kondisi seperti itu awalnya saya maklumi karena bagi saya wajar kalau anak kecil menangis. Namun, di sisi lain saya juga merasa heran dengan penyebab sepele dia sampai nangis karena di saat itu juga ada temannya yang juga salah nulis tapi dia tetap enjoy enjoy aja.

Di hari-hari selanjutnya saya pernah berhadapan langsung dengan dia karena kebetulan saya jadi mustami’nya (penyimak/pengkoreksi) pada saat dia baca Al-Qur’an. Karena suaranya sangat lirih, saya coba suruh keraskan sedikit. Akhirnya apa yang terjadi? Akhirnya yang keras adalah suara tangisan bukan suara Al-Qur’an. Nah, di saat itu saya bisa menyimpulkan tentang mental anak itu, ternyata anak itu mempunyai mental yang sedikit berbeda dengan teman-temannya yang lain. Setelah tangisnya usai, saya mencoba mendekati anak itu dan mencoba untuk memaparkan kepadanya sebuah cerita yang saya kira akan bisa merubah mentalnya yang rusak. Namun apalah daya, saya belum cerita pun dia sudah nangis lagi, weleh..weleh... piye iki. Akhirnya saya memutuskan untuk membiarkannya hidup dengan alamnya sendiri.

Kejadian seperti itu hampir membuat saya berprasangka buruk. Dalam benak saya sempat terpikirkan bahwa anak itu akan bodoh selama-lamanya, dan hidupnya juga akan terganggu oleh mentalnya sendiri. Dia tidak akan pintar karena dia tidak berani mencoba, tidak berani mengekspresikan idenya, semua prestasinya akan selalu digagalkan dengan rasa takut, itu hanya teori yang ada di pikiran kita.

Saya teringat salah satu teman SD saya, dia tidak pernah mendapatkan peringkat 10 besar di kelas, dari segi akademik lebih unggul saya, rajinnya juga masih lebih rajin saya, secara dhohir(nalar manusia) saya akan lebih sukses dari pada dia. Namun, setelah beberapa tahun berlalu saya bertemu dia pada saat saya sudah menduduki kelas 2 MAN, ternyata teman-teman yang lain sambil senyum memanggilnya dengan sebutan “Hafidh”, betapa terkejutnya saya di waktu itu, ternyata dia sudah berhasil menghafal Al-Qur’an sebelum lulus MTs, sungguh luar biasa. Sedangkan saya hanya sekolah biasa-biasa saja seperti halnya teman-teman yang lain, belum ada prestasi yang sangat mengejutkan, lalu kapan bisa membahagiakan orang tua seperti teman saya tadi. Inilah jika Takdir Allah berkata lain, lalu apalah daya kita??? Toh kita bisanya Cuma mengira-ngira saja kok, betul kan? إن بعض الظن إثم  (Sesungguhnya sebagian dari prasangka adalah dosa (QS-Al-Hujurat: 12))

Pesan yang dapat kita ambil dari cerita ini adalah kita harus selalu berhusnudhon (berprasangka baik) terhadap kehidupan orang lain, karena Rencana Allah di luar rencana kita. Dan yang pasti adalah:

لكل شيئ مزية  likkulli syay’in maziyyah(setiap sesuatu memiliki kelebihan tersendiri), mungkin saja kita mempunyai kelemahan di sisi yang ini tapi Allah lebihkan di sisi yang lain, begitu pun seterusnya.

والله أعلم

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun