Wacana redenominasi atau penyederhanaan nilai nominal rupiah telah menjadi polemik beberapa hari ini. Apalagi, wacana tersebut mengingatkan kembali pada pemotongan nilai rupiah atau sanering yang membawa kekacauan pada masa Soekarno. Meski makna redenominasi berbeda dengan sanering, namun protes sudah bermunculan, baik dari kalangan analis, ekonom dan pengusaha. Mereka menilai wacana itu menimbulkan keresahan masyarakat. Jika menilik kembali pada masa Presiden Soekarno berkuasa. Kebijakan sanering memang menimbulkan kekacauan gara-gara nilai mata uang diturunkan akibat inflasi sangat tinggi. Berdasarkan buku sejarah Bank Indonesia, kebijakan sanering dilakukan pada 25 Agustus 1959. Kebijakan itu adalah sebagai berikut:
- Penurunan nilai uang kertas Rp500 dan Rp1.000 menjadi Rp50 dan Rp100 (Perpu No.2 Tahun 1959, 24 Agustus 1959). Penukaran uang kertas ini harus dilakukan sebelum 1 Januari 1960 (Perpu No. 6 Tahun 1959, 25 Agustus 1959). Sedangkan untuk nilai uang yang hilang akibat pemberlakuan Perpu No. 2 di atas, tidak akan iperhatikan pada perhitungan laba maupun pajak (Perpu No. 5 Tahun 1959, 25 Agustus 1959).
- Pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank (giro dan deposito) sebesar 90% dari jumlah simpanan diatas Rp25.000, dengan ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi simpanan jangka panjang oleh Pemerintah (Perpu No.3 Tahun 1959 tanggal 24 Agustus 1959).
Kebijakan sanering ini kemudian membawa beberapa pengaruh di bidang moneter. Di saat masyarakat menderita kerugian gara-gara uangnya turun, sedangkan pemerintah malah untung Rp8.521 juta. Keuntungan pemerintah kemudian digunakan untuk mengurangi ketekoran kas pemerintah. Dampak lainnya adalah jumlah uang beredar berkurang dan turunnya tingkat likuiditas bank-bank. Akibatnya bank tidak bisa memberikan kredit kepada perusahaan untuk kegiatan ekspor, impor, produksi, dan distribusi. Buntutnya, harga barang dan biaya hidup malah semakin meningkat pada 1959. Kebijakan sanering yang dilancarkan oleh pemerintah bukannya menghambat laju inflasi, melainkan makin mempertinggi laju inflasi. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah uang beredar pada 1959 dan 1960 meningkat, yaitu Rp5.518 juta dan Rp12.953 juta jika dibandingkan dengan Rp10.453 juta pada tahun 1958. Tindakan sanering ini lantas dianggap gagal. Apalagi, dilakukan oleh pemerintah tanpa berkoordinasi dengan BI. "Gara-gara itu Gubernur BI pada waktu itu, Mr. Loekman Hakim, mengajukan pengunduran diri pada presiden Soekarno." sumber : Buku Sejarah Bank Indonesia, VIVAnews.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H